Monday, November 01, 2004
Beban menasehati
Nggak pernah terpikir sebelumnya bahwa aku akan jadi orang yang berada di posisi menasehati orang lain. Dimana aku harus memberikan saran-saran, petuah yang "bijak bestari" (meminjem dari kosa kata ajaibnya si Irvan) kepada seseorang yang sedang kebingungan dengan jalan hidupnya.
Jelas nggak pernah terpikir, karena aku adalah anak bungsu yang lebih banyak meminta, menuntut dan bertanya daripada sebagai pemecah masalah dan tempat bertanya. Di keluarga, mana pernah aku terkondisi untuk bersikap bijak menghadapi orang lain, yang ada malah saudara2 ku yang harus bisa bersikap baik dan mengalah terhadap aku :)
Di luar rumah, aku juga bukanlah orang yang banyak makan asam garam kehidupan yang bisa dibagi sebagai "chicken soup" bagi orang lain. Ya gimana bisa dapet asem garem kalo lebih banyak berada di rumah, yang ada juga asem garem di dapur... hehehe.
Dan ketika antara sengaja dan tidak, antara sadar dan tidak, tahu tahu aku berada di posisi seperti yang aku bilang tadi. Harus menyediakan saran-saran, nasehat jika ada orang yang bertanya tentang kehidupan. Rada kagok juga aku. Selama ini masih melekat di benakku kalau aku ini adalah anak bungsu yang manja. Jika kemudian tiba-tiba harus menasehati orang, jelas saja kalau aku serasa berada di dunia lain.
Memberikan nasehat tentang kehidupan itu memang gampang-gampang susah. Gampang karena bisa tinggal nyomot dari kalimat-kalimat bijak yang sudah mendunia, atau cari2 lagi dari buku para arif-bijaksana. Atau jika itu menyangkut dengan keagamaan, tinggal mencari dalil2 yang bersesuaian. Kemudian dirangkai menjadi suatu runtutan pemikiran yang logis dan sesuai dengan permasalahan yang diajukan.
Yang susah adalah, bagaimana itu semua bukan sekedar sebagai rangkaian kalimat retorik normatif yang indah dan menggugah, tetapi juga bagaimana rangkaian kalimat2 itu bisa diterapkan secara nyata pada permasalahan yang ada.
Dan kemudian yang menjadi beban adalah, setelah menasehati orang lain tu, rasanya kadang seperti orang yang paling bener sendiri... padahal betapa masih banyak gajah yang bertengger di pelupuk mataku... :(
Memang sih, kalau untuk saling menasehati itu harus menjadi manusia sempurna dulu, mungkin nggak akan ada yang berani memberi nasehat. Padahal sudah nggak ada lagi Nabi yang bisa dijadikan panutan tempat meminta nasehat. Jadi ya memang harus antar sesama manusialah mereka saling menasehati.
Yah paling nggak, nasehat yang diberikan kepada orang lain itu, seharusnya juga menjadi nasehat bagi diri sendiri.
Jelas nggak pernah terpikir, karena aku adalah anak bungsu yang lebih banyak meminta, menuntut dan bertanya daripada sebagai pemecah masalah dan tempat bertanya. Di keluarga, mana pernah aku terkondisi untuk bersikap bijak menghadapi orang lain, yang ada malah saudara2 ku yang harus bisa bersikap baik dan mengalah terhadap aku :)
Di luar rumah, aku juga bukanlah orang yang banyak makan asam garam kehidupan yang bisa dibagi sebagai "chicken soup" bagi orang lain. Ya gimana bisa dapet asem garem kalo lebih banyak berada di rumah, yang ada juga asem garem di dapur... hehehe.
Dan ketika antara sengaja dan tidak, antara sadar dan tidak, tahu tahu aku berada di posisi seperti yang aku bilang tadi. Harus menyediakan saran-saran, nasehat jika ada orang yang bertanya tentang kehidupan. Rada kagok juga aku. Selama ini masih melekat di benakku kalau aku ini adalah anak bungsu yang manja. Jika kemudian tiba-tiba harus menasehati orang, jelas saja kalau aku serasa berada di dunia lain.
Memberikan nasehat tentang kehidupan itu memang gampang-gampang susah. Gampang karena bisa tinggal nyomot dari kalimat-kalimat bijak yang sudah mendunia, atau cari2 lagi dari buku para arif-bijaksana. Atau jika itu menyangkut dengan keagamaan, tinggal mencari dalil2 yang bersesuaian. Kemudian dirangkai menjadi suatu runtutan pemikiran yang logis dan sesuai dengan permasalahan yang diajukan.
Yang susah adalah, bagaimana itu semua bukan sekedar sebagai rangkaian kalimat retorik normatif yang indah dan menggugah, tetapi juga bagaimana rangkaian kalimat2 itu bisa diterapkan secara nyata pada permasalahan yang ada.
Dan kemudian yang menjadi beban adalah, setelah menasehati orang lain tu, rasanya kadang seperti orang yang paling bener sendiri... padahal betapa masih banyak gajah yang bertengger di pelupuk mataku... :(
Memang sih, kalau untuk saling menasehati itu harus menjadi manusia sempurna dulu, mungkin nggak akan ada yang berani memberi nasehat. Padahal sudah nggak ada lagi Nabi yang bisa dijadikan panutan tempat meminta nasehat. Jadi ya memang harus antar sesama manusialah mereka saling menasehati.
Yah paling nggak, nasehat yang diberikan kepada orang lain itu, seharusnya juga menjadi nasehat bagi diri sendiri.
<< Home