Saturday, November 06, 2004

Kisah gelembung udara :)

Tau nggak,
Aku tuh sering punya masalah dengan perut. Nggak terlalu parah sih, tapi sering kali mengganggu. Setiap pagi sebelum berangkat ngantor, nggak jarang aku harus dua kali ke toilet biar perut ku bisa lebih tenang dan tidak bergejolak selama dalam perjalanan ke kantor. Bukan diare, tapi memang sering harus dua kali, karena yang pertama rasanya nggak tuntas.

Sebenernya ini sudah aku alami sejak masih SD. Setiap mau berangkat sekolah sering harus balik ke toilet lagi karena tiba-tiba ada dorongan alamiah yang perlu diserahkan kepada bumi. Apalagi jika itu diperparah dengan pikiran yang stress karena ada ujian, atau hari itu ada pelajaran yang gurunya menyeramkan. Semakin ruwetlah kondisi perutku.

Tau nggak,
Ada satu lagi situasi rutin yang suka dihiasi oleh keadaan perut yang ruwet. Saat shalat Jumat :(

Duduk bersila di lantai masjid yang seringkali terbuat dari marmer atau keramik yang dingin, bisa menyalurkan energi ke dalam perut untuk mempercepat metabolismeku. Akan lebih bagus lagi jika ada hembusan angin yang cukup keras dari kipas angin di dekat-dekat situ. Dan keharusan agar tetap dalam keadaan punya wudlu, memberikan tambahan tekanan mental yang jelas memperburuk keadaan. Apalagi jika memang dari pagi sudah diawali dengan kondisi perut yang ruwet.

Tau nggak,
Di saat shalat Jumat, sering aku digelisahkan gejolak di dalam perut. Ada gelembung-gelembung udara yang tiba-tiba minta dibebaskan dari penjara di dalam tubuhku. Untuk memberikan exit permit tentu tidak bisa sembarangan, karena aku lagi berada di tengah-tengah orang banyak. Takutnya gelembung itu membawa sisa-sisa aroma hasil fermentasi berbagai jenis makanan yang sempat singgah di perutku, yang bisa membuyarkan kekhusyukan majelis yang sedang mendengarkan khotbah dan akan berabe jika kemudian bisa-bisa malah membangkitkan emosi. Selain itu juga karena takut jangan-jangan gelembung itu akan terbang lepas dengan ditingkahi nada-nada perpisahan yang mengharukan. Fakta bahwa kecepatan suara yang lebih tinggi daripada kecepatan aroma, dan kemampuan indera manusia untuk mendeteksi lokasi sumber suara bikin aku mikir2 tujuh kali sebelum merelakan mereka pergi.

Kadang aku beranjak berdiri saja, dan pergi ke tempat yang lebih layak untuk melepaskan mereka. Tapi kadang aku mencoba bertahan, karena untuk pergi kesana aku harus melompati sekian banyak orang, belum lagi kemungkinan kehilangan tempat karena masjid sudah penuh jamaah. Apalagi kadang di beberapa masjid tidak ada tempat untuk itu.

Tau nggak,
Saat yang paling menyiksa adalah saat berdiri untuk sholat yang sebenarnya hanya dua rakaat itu. Karena tidak seperti pada saat duduk, dimana aku bisa memanfaatkan lantai untuk lebih rapat menutup pintu, pada saat berdiri aku hanya bisa mengandalkan kekuatan otot-otot penjaga pintu. Jadilah jika gangguan itu datang, saat berdiri shalat Jumat adalah perjuangan tersendiri.

Pernah sekali dua kali aku gagal juga berjuang, dan untungnya mereka cukup sopan ketika pergi membebaskan diri. Jika seperti itu, terpaksalah aku nanti harus sholat lagi sendirian di rumah. Meski aku pernah dengar juga bahwa bagi mereka yang dalam kondisi mempunyai hadats yang terus-menerus, hal seperti itu akan dimaafkan.

Tau nggak,
In the other hand, aku sering dengar mengenai waktu-waktu yang makbul untuk berdo’a. Di antaranya adalah saat dua pertiga malam, antara adzan dan iqamat, ketika berbuka puasa, dan juga pada waktu shalat jumat di antara dua khotbah.

Dan pada suatu waktu, di samping memanjatkan do’a untuk kehidupan dunia dan akhirat yang lebih baik, pada kesempatan di antara dua khotbah aku selipkan doa agar aku bisa terbebas dari siksaan perut selama sholat dua rakaat nanti agar aku bisa menyelesaikan ibadah Jumat itu dengan sempurna. Hanya sebuah doa sederhana dan tidak muluk-muluk.

Dan tau nggak,
IT’S WORK!!

Kalau cuma sekali dua kali mungkin aku tidak seyakin ini. Tapi ini sudah sering terjadi, maka aku bisa bilang “It’s work!”. Padahal kadang kondisinya cukup parah, hingga aku hampir mengambil keputusan untuk menyerah pada saat-saat yang tepat, saat dimana suara lirih menyayat hati akan ter-overimposed oleh suara lain yang lebih bergemuruh.

Kadang memang terasa ada rasa hangat yang mengalir di perutku dan menyingkirkan semua kegelisahan itu. Tapi lebih sering, mereka pergi menghilang begitu saja dengan sukarela tidak mau mengganggu lagi. Akupun hanya bisa mengucap Alhamdulillah ketika sampai aku bersalam ke kanan dan ke kiri semuanya berlangsung lancar.

Tau nggak,
Dari situ aku pun belajar dan mencoba memahami, bahwa sebenarnya Allah memang selalu mendengarkan doa umatnya. Namun memang untuk mengabulkannya, Allah yang lebih tahu mana yang perlu dikabulkan pada saat itu juga, mana yang sebaiknya ditunda, dan mana yang tidak perlu dikabulkan.

Do not despair of the Comfort of Allah.
Jangan berputus asa akan Rahmat Allah.