Monday, September 28, 2009

Negeri 5 Menara

Negeri 5 Menara, A FuadiJudul : Negeri 5 Menara
Penulis : A. Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama,
Edisi : Cetakan I, Agustus 2009, 432 hlm


Judulnya unik dan mengundang rasa ingin tahu. Gambar sampulnya menggambarkan 5 buah menara yang berbeda-beda – monas, bigben di London, monumen Washington, dan 2 buah menara masjid yang aku belum tahu masjid mana - semakin membuat bertanya-tanya, "Cerita tentang negeri apakah ini?". Deskripsi di sampul belakang kemudian menjelaskan lebih jauh tentang isi novel ini. Kisah dari dunia pesantren. Dunia yang dekat dengan masa kecilku tapi belum pernah aku masuki dengan sepenuhnya.

Aku pun ingin tahu lebih dalam, sejauh mana dunia itu bisa ditampilkan secara menarik dalam sebuah novel. Dengan embel-embel sekian banyak endorsement positif dari tokoh-tokoh terkenal, dari mantan presiden hingga artis, tampaknya novel ini cukup dijagokan oleh penerbitnya.

Sahibul Menara

Alif Fikri adalah seorang putra Minangkabau asal desa Bayur di pinggir danau Maninjau, Bukittinggi yang baru saja lulus dari madrasah Tsanawiyah. Dengan kecerdasannya ia ingin melanjutkan ke sekolah umum agar bisa mengejar cita-citanya menjadi seperti Habibie. Namun ternyata orang tuanya berkeinginan ia tetap di jalur sekolah agama agar ia menjadi seperti Buya Hamka. Dalam tekanan dan kebimbangan akhirnya Alif memutuskan untuk mengikuti kemauan orang tuanya tetap di sekolah agama, asal tidak di Bukittinggi. Ia memilih untuk menjadi santri di Pondok Madani (PM) di Ponorogo, Jawa Timur.

Di PM yang dikenal sebagai "pondok modern" Alif menemukan kehidupan pesantren yang berbeda dari kesehariannya dan juga sedikit berbeda dari tipikal pesantren pada umumnya. Selain dituntut ketekunan dan kemandirian, PM juga menuntut kedisiplinan tinggi. Peraturan Qanun dengan 13 butir aturan sehari-hari yang harus dihafal luar kepala dengan jadwal harian ketat yang diatur oleh bunyi lonceng mengendalikan kegiatan setiap penghuni PM. Penghuni baru PM juga harus bisa segera menguasai bahasa Arab dan Inggris dalam 3 bulan, karena setelah itu sama sekali tidak boleh menggunakan bahasa Indonesia lagi.

Di hari-hari pertamanya, Alif sudah harus terkena hukuman karena terlambat ke masjid bersama 5 orang teman seasramanya. Berenam mereka akhirnya menjadi semakin akrab meskipun berbeda latar belakang. Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Berenam menemukan tempat beristirahat bersama di bawah menara masjid dan memutuskan tempat itu menjadi markas bersama. Hingga akhirnya mereka terkenal sebagai pasukan "Sahibul Menara", dengan masing-masing mendapat julukan sebagai menara 1 hingga menara 6.

Selanjutnya cerita mengalir tentang kehidupan mereka di pesantren. Keharusan hidup mandiri dalam kesederhanaan. Tuntutan tugas dan hafalan yang harus dikejar setiap hari. Kebersamaan dan kesetiakawanan di antara mereka berenam sembari berbagi mimpi dan semangat. Serunya kompetisi sepakbola antar asrama dengan Said sebagai jagoan baru. Keberhasilan Dulmajid membujuk ustad untuk mengadakan nonton bareng semifinal Thomas Cup di Aula padahal televisi sebelumnya adalah hal terlarang. Hadirnya putri seorang ustadz yang membuat heboh seluruh pondok. Kegamangan Alif yang sering tergoda oleh surat-surat dari temannya yang menempuh pendidikan SMA umum. Ketegangan mereka saat menghadapi ujian akhir di kelas 6. Hingga akhirnya saat mereka bertemu kembali belasan tahun kemudian.

Perspektif Baru Tentang Pesantren

Membaca novel ini yang paling berkesan adalah terbukanya sebuah cara pandang baru tentang tempat pendidikan yang berlabel 'pondok pesantren'. Ternyata pesantren tidaklah identik dengan pendidikan bergaya kolot dan konservatif, yang tidak flexible menghadapi perubahan jaman, yang lebih sering menjadi tempat pembuangan bagi anak-anak bermasalah.

Pesantren Madani di novel ini – yang sebenarnya merupakan gambaran riil dari Pondok Modern Gontor – memang patut berjuluk 'pondok modern'. Bukan hanya fokus pada pendalaman ilmu agama Islam, tetapi juga mempersiapkan setiap santrinya untuk siap berlaga di dunia global dari segi ilmu, bahasa, kemampuan berorasi, disiplin, hingga kepercayaan diri. Tontonan televisi memang dilarang, tapi buku dan majalah-majalah luar negeri yang bermanfaat bebas mengalir.

Penulis secara detail menjabarkan bagaimana sistem yang diterapkan di pesantren ini. Bagaimana kedisiplinan bisa dijaga dan mendarah daging pada setiap penghuni pondok. Bagaimana proses pendidikan bahasa dijalankan setiap saat agar dalam 3 bulan sudah mahir berbahasa asing. Bagaimana setiap murid dibentuk menjadi orator dan pembicara yang tangguh. Bagaimana masa ujian dikondisikan seperti sebuah perayaan tahunan yang penuh semangat belajar. Bagaimana bakat dan kreativitas setiap murid diakomodasi dan diarahkan menjadi lebih terasah. Bagaimana para pengajar dan para senior terus menerus memotivasi dan membangkitkan semangat dengan berbagai cara. Benar-benar suatu tempat yang dipersiapkan untuk melahirkan insan-insan unggulan.

Memang, sistem tersebut tidak diterapkan secara umum di semua pesantren, hanya di pesantren-pesantren tertentu yang mengaplikasikan sistem 'pondok modern'. Tapi paling tidak bisa membuka wawasan masyarakat umum bahwa pesantren bukan berarti tempat pendidikan kelas dua, atau tempatnya orang-orang 'garis keras'.

Bacaan yang Renyah Bergizi

Ahmad Fuadi, penulis buku ini, menjadikan kisah hidupnya sendiri selama di Pondok Modern Gontor sebagai inspirasi utama untuk menghidupkan novel ini menjadi sebuah memoar yang memikat. Romantika hidup dalam keterbatasan bisa ditampilkan tetap dengan penuh optimisme tanpa pernah mengasihani diri. Mencoba menularkan nilai-nilai kejujuran, ketekunan, kebersamaan, kegigihan, dan semangat untuk terus maju tanpa berkesan menggurui.

Dengan kemampuan jurnalistiknya Fuadi memberikan detail-detail yang bisa membangun imajinasi pembaca. Dialog dan narasinya mengalir mudah diikuti tanpa perlu mengerutkan kening. Pembaca juga akan dengan mudah meleburkan diri dalam sosok Alif Fikri dengan segala kekuatan dan kelemahannya.

Namun agak sedikit disayangkan adanya salah ketik di beberapa tempat yang terasa mengganggu konsentrasi membaca.

Kabarnya buku ini adalah bagian dari sebuah trilogi. Karena di akhir buku ini keenam sahabat itu telah menyelesaikan pendidikannya di PM, dan baru bertemu lagi belasan tahun kemudian, lalu apa yang akan dikisahkan pada buku lanjutannya? ... Ya, kita tunggu saja.