Monday, September 29, 2008

Negeri Bahagia

Negeri Bahagia, Dominique LapierreJudul : Negeri Bahagia
Judul Asli : City of Joy
Penulis : Dominique Lapierre (1985)
Penerjemah : Wardah Hafidz
Penerbit : Bentang
Edisi : Cetakan I, Juni 2008, 767 hlm


"Menggetarkan....". Satu kata yang merupakan kutipan review media internasional ini diletakkan di tengah-tengah sampul novel edisi terjemahan bahasa Indonesia terbitan Bentang. Hanya satu kata saja, tapi benar-benar mewakili perasaan yang muncul saat membaca buku ini. Rasa miris, prihatin, ngeri, jijik, haru, marah bercampur aduk yang akan membuat jiwa anda tergetar. Bertanya-tanya, benarkah ada kehidupan yang begitu menyedihkan seperti yang digambarkan dalam buku ini?

"City of Joy", karya Dominique Lapierre, merupakan hasil dari penelitian penulis yang selama setahun penuh terjun di daerah kumuh di Calcutta, India sekitar tahun 1980-an. Dari dua ratus hasil wawancara panjang dengan para penghuni Anand Naghar, akhirnya penelitian itu disusun dalam bentuk novel ini untuk dipublikasikan kepada umum. Jadi ini sebenarnya adalah memoar kehidupan orang2 di perkampungan Anand Naghar, Calcutta. Sebuah kisah nyata.

Diterbitkan pertama kali sudah lebih dari duapuluh tahun yang lalu, tapi tidak menutup kenyataan bahwa pada masa sekarangpun mungkin masih ada orang2 yang hidup dalam kondisi yang tidak jauh berbeda di perkampungan kumuh di salah satu sudut dunia.

Edisi bahasa Indonesianya diterjemahkan oleh Wardah Hafidz, yang juga kita kenal sebagai ketua Konsorsium Rakyat Miskin Kota (Urban Poor Consortium). Sejalan sekali dengan aktifitasnya yang memperjuangkan rakyat miskin. Kualitas terjemahannya cukup baik, meskipun masih ada beberapa gangguan di beberapa bagian.

Novel ini telah difilmkan pada tahun 1992 dengan judul yang sama, disutradarai oleh Roland Joffé, dengan Patrick Swayze sebagai Max Loeb dan Om Puri sebagai Hasari Pal.

Negeri Bahagia yang Membuat Miris

Anand Nagar, ironis dengan artinya yaitu "Negeri Bahagia", adalah nama sebuah perkampungan kumuh di pinggir kota Calcutta. Luasnya tidak lebih dari dua lapangan sepak bola, tapi penghuninya lebih dari tujuh puluh ribu orang. Mereka tinggal berdesakan dalam rumah2 petak yang luasnya tak lebih dari tiga meter persegi. Dalam kemiskinan yang ekstrem, sembilan dari sepuluh penghuninya tak mampu membeli bahkan seperempat kilo beras seharga satu rupee setiap harinya. Namun dalam keadaan seperti itu mereka bisa hidup saling membantu berdampingan dalam perbedaan suku dan agama. Hanya satu golongan yang mereka kucilkan di sudut terburuk Anand Nagar, para penderita Lepra.

Ada tiga tokoh utama dalam novel ini. Hasari Pal, seorang petani Hindu berusia 32 tahun dari Benggala yang karena gagal panen akhirnya nekat membawa keluarganya mengais sebutir rejeki menjadi penarik angkong di Calcutta. Stephan Kovalski, pastor Katolik dari Polandia berusia 32 tahun yang ingin tinggal bersama kaum miskin untuk memberikan pelayanan. dan Max Loeb, dokter muda Yahudi berusia 25 tahun asal Miami Amerika yang tertarik tawaran Stephan untuk membantu balai pengobatan di daerah kumuh Calcutta.

Hasari Pal demi menghidupi istri dan empat orang anaknya harus rela menjadi kuda beban, menarik angkong (rickshaw) berlarian menerobos lalu lintas kota Calcutta yang sangat semrawut. Menjadi penarik angkong tidak hanya berhadapan dengan beban penumpang, tetapi juga berhadapan dengan polisi, majikan, dan pemerintah kota. Kondisinya yang kurang gizi tetap dipaksa bekerja demikian keras. Hasari punya satu harapan besar, ia ingin segera menikahkan anak perempuannya. Untuk itu ia harus mengumpulkan ribuan rupee untuk menebus pengantin pria. Segala cara rela ia tempuh, bahkan menjual darah hingga tubuh keringnya...

Stephan Kovalski meskipun telah membulatkan tekad untuk hidup bersama kaum miskin, ikut merasakan kesengsaraan mereka, tetap harus terkejut-kejut dengan berbagai kejadian miris yang ditemuinya di Anand Nagar. Begitu juga dengan Max Loeb, anak muda yang terbiasa hidup mewah itu, dituntut bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sangat kotor.

Kuatkan Hati Saat Membacanya

Mencermati bab demi bab dalam buku ini, pembaca akan digiring untuk membayangkan sebuah pemukiman padat yang sebenarnya sangat tidak layak huni. Pemukiman dimana penghuninya setiap pagi membuang kotoran di got-got, tinggal di rumah-rumah petak yang dihuni banyak tikus dan berbagai serangga dan sanitasi yang memprihatinkan, serta ditemani tetangga2 yang penyakitan.

Itu belum seberapa, pada bab tertentu juga diceritakan saat Stephan dan Max harus berkunjung ke pemukiman para penderita lepra yang dikucilkan. Digambarkan bahwa tempat itu diselimuti oleh bau daging busuk dari luka para penghuninya. Ditambah lagi dengan wujud para penghuninya yang rata-rata sudah tidak utuh lagi, tangan dan kaki buntung, hidung growong, dan luka-luka lain akibat digerogoti lepra. Mual memang membayangkannya... Pembaca yang tidak sanggup membaca detil-detil itu mungkin akan cepat menyerah dan tidak ingin melanjutkan membaca.

Kehidupan keseharian yang sudah sulit itu masih diperparah dengan berbagai bencana yang silih berganti menyerbu kampung Anand Nagar. Dari musim kering yang amat sangat panas hingga 50 derajat celcius yang melumpuhkan segala kegiatan, banjir monsun akibat hujan lebat tiga hari yang menggenangi kampung dengan lumpur hitam kotor, hingga angin topan yang meluluh lantakkan semua rumah semi permanen di Anand Nagar. Sungguh kehidupan yang sangat rapuh...

Kehidupan Yang Amat Berat

Lebih miris lagi, mengikuti penuturan bahwa orang-orang yang sangat tidak beruntung itu ternyata masih menjadi sumber pemerasan oleh orang-orang yang tidak mempunyai hati. Para pemeras itu selalu mencari kesempatan untuk dapat memperoleh lembar2 rupee tambahan dari orang2 miskin yang sudah kesulitan untuk sekedar mendapat sesuap nasi. Dari para mafia dan preman yang sok berkuasa, para polisi yang mencari-cari peluang, hingga para majikan yang menginginkan keuntungan sebesar-besarnya.

Kaum miskin itu juga kian terkuras hartanya yang tidak seberapa itu oleh tuntutan adat mereka sendiri. Untuk mendapatkan doa dari bhiksu, ketika ada yang sakit atau membutuhkan dukungan spiritual, mereka harus membayar sekian puluh rupee. Saat menikahkan anak perempuan, mereka harus menyediakan sekian ribu rupee untuk mas kawin ke pihak laki-laki dan untuk pesta. Saat ada keluarga yang meninggal, perlu sekian ratus rupee lagi untuk melakukan upacara kremasi... Dan mereka selalu memaksakan diri untuk bisa memenuhi semua biaya itu.

Masih Ada Senyuman di Negeri Bahagia

Namun hebatnya, penulis selalu bisa membuat bab demi bab itu bukan sebagai lagu sedih meratapi takdir. Selalu ada antusiasme, selalu ada setitik nyala semangat hidup dari para penghuni Anand Nagar. Selalu ada senyum atas sedikit kebahagiaan yang mereka dapatkan dalam keterbatasan itu.

Tengoklah Sabia, tetangga muslim Stephan. Anak belasan tahun yang mengidap penyakit pernafasan parah itu setiap malam selalu merintih kesakitan. Namun ketika Stephan menjenguknya, Sabia tersenyum lebar menyambut kedatangan Stephan. Tengoklah Anouar, pria penderita lepra yang tangannya telah buntung. Betapa bahagianya dia pada pesta pernikahannya dengan Metta, sesama penderita Lepra. Tengoklah pula kelegaan Hasari Pal, ketika akhirnya dia mampu menyelenggarakan pesta pernikahan untuk anak perempuan satu-satunya.

Dan jika datang hari raya keagamaan, kampung kumuh itu akan tiba-tiba menjelma sebagai Negeri Bahagia yang sesungguhnya. Orang-orang akan berpesta dalam kegembiraan, dalam pakaian2 mereka yang terbagus. Entah itu hari raya umat Hindu, Sikh, Kristen, ataupun Islam, semuanya dirayakan dengan meriah dan penuh toleransi dalam kebahagiaan.

***

Bukan sebuah bacaan yang ringan. Karena setiap saat pembaca mungkin akan menghela nafas, mengernyitkan dahi, mengelus dada, ketika menyusuri kepapaan para penghuni Anand Nagar. Apalagi saat menyadari bahwa semua kisah itu dituturkan dari kisah yang benar-benar terjadi. Dari situ, kita akan diajak untuk bercermin dan membuka hati. Sudahkah kita cukup bersyukur atas segala yang kita punya? Dan sudahkah kita cukup berbuat untuk memberi jalan kepada mereka yang tidak beruntung itu?