Friday, June 20, 2008

Snow

Snow, Orhan PamukJudul : Snow, Di Balik Keheningan Salju
Pengarang : Orhan Pamuk (2002)
Penerbit : Serambi
Penerjemah : Berliani M Nugrahani
Edisi : Cetakan I, April 2008, 729 hlm


Akhirnya berhasil juga aku menyelesaikan membaca salah satu karya Orhan Pamuk, sastrawan Turki yang memperoleh Nobel Sastra 2006 ini. Pertama kali mencoba baca "My Name Is Red", cuma bertahan hingga halaman belasan saja, karena keburu mabok mengikuti cerita absurd tentang "Aku" yang merah kuning hitam. Selanjutnya waktu dirilis terjemahan "The White Castle" yang jauh lebih tipis, tertarik lagi untuk sekali lagi mencoba memahami tulisan dari penulis berkelas Nobel. Namun setelah lewat separuh cerita, proses membaca mogok tersendat-sendat karena cerita berubah menjadi kisah yang bercampur-campur dengan fantasi.

Buku terjemahan ketiga karya Orhan Pamuk yang kembali diterbitkan oleh Serambi, adalah "Snow". Kali ini diterjemahkan oleh Berliani M Nugrahani, temen menyanyah dari gerombolan Kutubukugila. Awalnya agak tidak tertarik melihat nama Orhan Pamuk, terbayang cerita absurd yang berat bertele-tele. Apalagi judulnya "Snow"... terbayang dinginnya... :D Tapi membaca sinopsis ceritanya tentang konflik politik di sebuah kota kecil antara kelompok Islamis dan Sekuler yang melibatkan kasus bunuh diri gadis2 berjilbab, kok jadi pengen mencoba lagi untuk membaca karya Pamuk.

Dan akhirnya dalam rentang waktu 2 bulan setengah, berhasil juga aku menaklukkan salah satu karya Orhan Pamuk :D Dua minggu pertama sanggup baca sampai separuhnya. Tapi kemudian berhenti untuk mengambil nafas membaca buku2 lain yang agak lebih ringan. Baru minggu lalu datang lagi mood untuk meneruskan membaca dan bisa menyelesaikan sisa separuhnya dalam empat hari :D

Di Balik Keheningan Salju

Adalah Ka, seorang penulis puisi yang telah sekian tahun melarikan diri dari Turki dan tinggal di Jerman, melakukan perjalanan kembali ke Turki untuk sebuah tugas jurnalistik. Ia pergi ke Kars, sebuah kota kecil dari masa lalunya, untuk melakukan investigasi jurnalistik mengenai kasus bunuh diri gadis-gadis berjilbab di kota tersebut. Kasus tersebut terkait dengan politik sekuler yang diterapkan Turki yang melarang gadis2 muslim mengenakan jilbab di sekolah.

Selain melakukan peliputan seputar kasus tersebut, Ka memiliki misi pribadi dalam kunjungannya ke Kars. Ia ingin kembali menjalin hubungan dengan Ipek, wanita dari masa lalunya yang masih menetap di Kars. Ipek baru saja bercerai dengan Muhtar yang telah beralih ideologi menjadi pemimpin partai Islamis.

Kedatangan Ka bersamaan dengan hadirnya kelompok teater milik Sunay Zaim yang akan mengadakan pertunjukan teater di Kars yang pertama kalinya ditayangkan secara langsung oleh televisi setempat. Dalam pertunjukan itu Ka juga diminta tampil untuk membacakan puisinya. Namun pertunjukan itu menjadi kacau balau, ketika tentara yang oleh sebagian penonton dianggap sebagai pelakon dalam teater mulai menembakkan senapan berisi peluru tajam ke arah penonton. Beberapa orang tewas.

Kota Kars yang sedang dilanda badai salju sehingga terisolasi selama beberapa hari dari dunia luar itu pun semakin kacau karena peristiwa di pertunjukan teater tersebut. Jam malam diberlakukan. Madrasah Aliyah yang dianggap sebagai gudangnya pemuda Islamis diserbu tentara, dan sebagian muridnya ditahan di kantor polisi.

Ka tidak bisa menghindar ikut terlibat dalam berbagai masalah. Selain diinterogasi oleh pihak polisi, ia juga harus menghadapi tokoh Islamis yang sedang dalam persembunyian. Tokoh tersebut mempertanyakan tujuan Ka melakukan investigasi atas kasus bunuh diri gadis2 berjilbab. Di sisi lain, Ka juga terbelit oleh gejolak asmaranya terhadap Ipek.

Perlu Kesabaran Tinggi Membacanya

Membaca karya Orhan Pamuk memang perlu kesabaran tinggi. Namun untuk "Snow" ini kebetulan lebih mudah dicerna dan dipahami dari pada "My Name is Red". Bisa jadi karena dalam "Snow" Pamuk bercerita secara lebih realistis, bisa jadi juga karena terjemahannya enak dan mengalir gampang dipahami meskipun tetap melingkar-lingkar (kedip2 ke penerjemah Snow, demi kebagian buntelan selanjutnya :D ).

Meskipun begitu, membaca "Snow" tetap perlu kesabaran dan ketekunan. Karena Pamuk lumayan cerewet dalam membuat pemaparan tentang detil cerita. Banyak hal yang sebenarnya tidak terlalu penting ia jabarkan panjang lebar dalam satu atau beberapa paragraf yang panjangnya lebih dari sepuluh baris. Memang sih dengan cara seperti itu pembaca bisa mendapatkan gambaran yang amat sangat lengkap dari berbagai sisi. Aku kagum juga dengan kemampuan Pamuk mereka-reka suatu latar belakang cerita yang lengkap untuk setiap tokoh dan kejadian. Tapi yah, ketika semuanya diceritakan dengan begitu panjang dan kadang bertele-tele, pembaca yang tidak terlalu bisa menikmati keindahan kalimat akan mudah jatuh bosan.

Mencari Posisi Netral

Untuk penokohan, dengan kemampuan Pamuk membuat detail, jelas ia mampu membuat suatu karakter yang kuat. Dari semua tokoh yang ada, ada satu hal yang bisa ditarik sebagai benang merah di antara mereka. Nyaris semua tokoh itu berada dalam posisi bimbang dan labil. Pendirian mereka bisa tiba-tiba saja berubah. Ka yang mengaku atheis, menjadi mulai percaya kembali akan adanya Tuhan. Sementara Necip siswa madrasah yang tekun beribadah tiba-tiba ragu apakah dirinya sebenarnya atheis. Bahkan Lazuardi sang tokoh Islam radikal tiba tiba bisa dengan mudah diajak berkompromi.

Tentang jalan ceritanya sendiri, Pamuk memposisikan dirinya pada kotak yang netral pada konflik ini. Karakter dari tokoh utamanya yang atheis namun tidak menyerang bahkan malah berteman dengan kelompok Islamis menunjukkan posisi yang diambil Pamuk. Di novel ini tampaknya Pamuk hanya ingin menyajikan fakta, bahwa di tengah konflik itu selain ada orang-orang yang memang benar tulus dan berkomitmen terhadap pendiriannya, juga ada orang-orang yang moderat mencari selamat dengan tidak memihak, bahkan ada juga para opportunis yang mencari kesempatan untuk berkuasa.

Mana Puisinya?

Pamuk tampaknya juga lihai dalam berkelit menghindari suatu hal yang ia tidak begitu menguasai :D Satu yang paling jelas adalah tokoh Ka dalam novel ini adalah seorang penulis puisi, namun Pamuk sama sekali tidak pernah menuliskan puisi hasil karya Ka dalam novel ini kecuali satu bait pendek saja. Berkali2 Ka selama di Kars dikisahkan tiba-tiba mendapat ilham untuk menulis puisi yang semuanya tertulis dalam buku catatan berwarna hijau, tapi kemudian Pamuk dengan enaknya bilang bahwa buku itu hilang tanpa jejak sehingga tidak perlu repot2 menunjukkan puisi2 itu dalam novel ini :D

Hal yang lain, tampaknya Pamuk tidak begitu memahami secara mendalam tentang nilai-nilai yang dianut golongan Islamis sehingga argumen2 dari golongan itu seringkali terasa dangkal. Bahkan kadang malah dibelokkan ke arah yang sama sekali tidak penting, seperti saat Lazuardi (Blue) bertanya tentang taplak dan tirai rumah seseorang kepada Ka. Entah lagi kalau hal ini adalah cara Pamuk agar novel ini lebih mudah diterima oleh dunia barat.

Intinya, ini novel dengan tema yang menarik, panjang tapi mudah dicerna. Hanya saja perlu kesabaran tersendiri untuk menyelesaikannya :D