Thursday, May 01, 2008
Tahun 69
Judul : Tahun 69
Penulis : Ryu Murakami (1987)
Penerjemah : Widati Utami
Penerbit : TransMedia Pustaka, 2008
Edisi : Cetakan I, 268 halaman
Desain sampulnya berkesan lucu, sekaligus retro abis. Angka "69" yang besar dan mendominasi dengan bentuk yang kekanak2an langsung menarik perhatian. Sementara latar belakangnya yang bergambar sosok berkacamata lebar dengan rambut gondrong awut-awutan plus sebuah gitar berhasil memberikan suasana retro dari akhir tahun 60-an. Pilihan font-nya juga lucu.
Dan setelah membaca isinya. Sampul ini menurutku sangat cocok dengan jalan ceritanya. Tentang hiruk pikuk kehidupan seorang anak muda dari kota kecil di Jepang yang sedang mencari jati diri di tengah serbuan budaya barat. Kisah tentang sekolah, pemberontakan, seni, kebebasan dan wanita.
RINGKASAN
Sebagaimana judulnya, setting novel ini adalah tahun 1969 di sebuah kota kecil bernama Sasebo, Jepang. Kensuke Yazaki atau lebih suka dipanggil Ken, adalah remaja berusia 17 tahun yang sedang menjalani tahun terakhirnya di "SMA Kita". Ken awalnya bukanlah remaja yang menonjol di sekolahnya, tidak di akademik, tidak juga di olahraga. Tapi Ken punya banyak energi dan optimisme untuk mewujudkan berbagai macam ide liar yang ada di kepalanya.
Ken adalah anak muda yang sangat mengagumi dan menjadi pengikut setia dari budaya barat yang digelontorkan oleh media ke seluruh pelosok dunia. Ia memuja grup-grup musik barat seperti Beatles, Rolling Stones, hingga Simon and Garfunkel. Juga film, buku, filsuf, hingga tokoh2 pergerakan dari dunia barat. Bahkan ia menjadi penentang keras perang Vietnam, dan berusaha meyakinkan banyak orang tentang hal itu, meskipun Jepang sama sekali tidak terlibat dalam perang tersebut.
Satu saat Ken bersama teman akrabnya Adama dan Iwase mendapat ide hebat tentang proyek pembuatan film. Dari ide awal membuat film, angan mereka berkembang untuk membuat sebuah festival untuk menampilkan film hasil buatan mereka tersebut. Dalam festival itu akan ada pemutaran film, panggung drama, dan pertunjukan musik. Bertiga merekapun merencanakan semuanya.
Sebagai bintang dalam film yang akan mereka buat, Ken mengincar gadis tercantik di sekolah bernama Kazuko Matsui. Ken menjulukinya sebagai "Lady Jane", mengambil dari judul lagu milik Rolling Stones. Dalam pendekatannya kepada Lady Jane, Ken menangkap kesan bahwa gadis itu mengagumi tokoh2 luar di berita TV yang berani melakukan demonstrasi dan barikade untuk menyuarakan aspirasinya.
Tanpa pikir panjang Ken langsung mengajak teman2nya untuk merencanakan membuat barikade di "SMA Kita". Pada malam yang ditentukan mereka akan memasang spanduk besar, mengecat dinding sekolah dengan slogan-slogan tertentu, membuat kekacauan di seluruh penjuru sekolah, lalu menghubungi media. Dan esok paginya saat murid dan guru SMA Kita datang, mereka akan terbengong-bengong melihat kejutan itu, dan media telah siap meliputnya.
Berhasilkah barikade itu? apa yang akan terjadi pada Ken dan teman2nya akibat tindakan liar tersebut? Lalu bagaimana dengan rencana pembuatan Film dan Festival? Dan mampukah pada akhirnya Ken menaklukkan hati Kazuko Matsui setelah segala usahanya itu?
REVIEW
Mungkin perlu diingatkan bahwa Ryu Murakami tidak memiliki hubungan apapun dengan Haruki Murakami yang terkenal dengan "Norwegian Wood" dan "Kafka on the Shore", kecuali sama-sama orang Jepang. Karya Ryu Murakami lainnya yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia antara lain adalah "In The Miso Soup". Selain menulis novel, ia juga terkenal sebagai pembuat film. Novel "69" ini yang ditulis berdasarkan kehidupan masa remaja Ryu Murakami sendiri juga sudah difilmkan dengan judul yang sama.
Pemberontak yang Penuh Ide dan Kocak
Membaca novel ini yang memakai narator seorang remaja lelaki pemberontak dengan segala pemikiran liarnya, sedikit banyak mengingatkanku pada novel legendaris "Catcher in The Rye". Hanya saja tokoh Ken dalam novel ini tidak bersikap sinis dan mengalami depresi seperti Holden Caulfield dalam "Catcher in The Rye". Jika Holden membuatku lelah dengan segala makiannya di sepanjang cerita, Ken malah membuatku tersenyum dan tertawa dengan celetukan segar dan pikiran2 konyol nya meskipun sama2 pemberontak.
Entah sejauh mana porsi fiksi dalam novel ini dibandingkan dengan masa remaja Ryu Murakami yang sebenarnya, yang jelas cerita di dalamnya sangatlah seru. Perayaan ide untuk mendemonstrasikan harapan akan kebebasan ala barat yang dilakukan Ken dan teman-temannya. Dan memang, novel ini amat kental nuansa kebarat2annya. Suasana Jepangnya akan sama sekali hilang jika saja tokoh dan settingnya bukanlah nama2 Jepang. Acuan hidup Ken semuanya adalah dari barat, barat dan barat. Bahkan judul2 bab dalam buku ini nyaris semuanya dinamai berdasarkan ikon-ikon dari barat, entah itu dari nama tokoh atau judul lagu. Mungkin memang itulah yang terjadi pada anak muda di Jepang pada kisaran tahun 1969 itu.
Di awal-awal mungkin perlu menyesuaikan diri dulu dengan pola berpikir Ken yang seringkali melompat-lompat, kadang juga terlalu hiperbolis atau mendramatisasi yang terlalu berlebihan saat menggambarkan suatu kejadian. Namun lama-lama pembaca akan bisa menikmati dan mengikuti gaya sok dewasa Ken yang kadang konyol itu. Hanya saja buat mereka yang tidak begitu memahami tentang tokoh2, artis, dan kejadian di sekitar tahun 1969 harus menelan mentah-mentah semua celotehan Ken tentang itu.
Seru, Segar dan Menghibur
TransMedia penerbit edisi terjemahan ini memberikan label "Fiksi-Novel Komedi" untuk buku ini. Meskipun aku tidak terlalu setuju dengan label "komedi" pada novel ini, karena kesannya adalah cerita konyol2an yang kemana-mana pokoknya asal lucu. Sementara novel ini sebenarnya ceritanya terarah dan cukup cerdas sampai batasan tertentu, hanya saja disajikan dalam bahasa yang ringan yang khas dan pas untuk penuturnya yang masih remaja tapi sok dewasa.
Sedikit muncul pertanyaan mengenai kalimat-kalimat tertentu yang dicetak tebal dan lebih besar bertebaran di beberapa halaman buku ini. Kadang memang itu adalah kalimat yang perlu penekanan untuk memberikan efek dramatis, tapi di beberapa tempat ada kalimat yang nggak penting2 amat tapi ditebalkan font-nya.
Satu hal lain yang disesalkan adalah mengapa TransMedia harus mengutip salah satu kejadian paling konyol di novel ini untuk ditulis lengkap di sampul belakang? Ketika sampai pada bagian yang sama di dalam novelnya, hilanglah sama sekali kekonyolannya.
Bacaan yang sangat menghibur di waktu luang, anda akan bisa tersenyum, tertawa dan geleng-geleng kepala mengikuti kegilaan Ken dan teman-temannya. Terjemahannya mengalir dengan lancar enak dibaca. Bercerita tentang serunya masa lalu, tapi mungkin tidak membangkitkan kenangan bagi semua orang, karena pengalaman Ken disini terlalu 'maju' untuk ukuran orang Indonesia pada umumnya.
Penulis : Ryu Murakami (1987)
Penerjemah : Widati Utami
Penerbit : TransMedia Pustaka, 2008
Edisi : Cetakan I, 268 halaman
Desain sampulnya berkesan lucu, sekaligus retro abis. Angka "69" yang besar dan mendominasi dengan bentuk yang kekanak2an langsung menarik perhatian. Sementara latar belakangnya yang bergambar sosok berkacamata lebar dengan rambut gondrong awut-awutan plus sebuah gitar berhasil memberikan suasana retro dari akhir tahun 60-an. Pilihan font-nya juga lucu.
Dan setelah membaca isinya. Sampul ini menurutku sangat cocok dengan jalan ceritanya. Tentang hiruk pikuk kehidupan seorang anak muda dari kota kecil di Jepang yang sedang mencari jati diri di tengah serbuan budaya barat. Kisah tentang sekolah, pemberontakan, seni, kebebasan dan wanita.
RINGKASAN
Sebagaimana judulnya, setting novel ini adalah tahun 1969 di sebuah kota kecil bernama Sasebo, Jepang. Kensuke Yazaki atau lebih suka dipanggil Ken, adalah remaja berusia 17 tahun yang sedang menjalani tahun terakhirnya di "SMA Kita". Ken awalnya bukanlah remaja yang menonjol di sekolahnya, tidak di akademik, tidak juga di olahraga. Tapi Ken punya banyak energi dan optimisme untuk mewujudkan berbagai macam ide liar yang ada di kepalanya.
Ken adalah anak muda yang sangat mengagumi dan menjadi pengikut setia dari budaya barat yang digelontorkan oleh media ke seluruh pelosok dunia. Ia memuja grup-grup musik barat seperti Beatles, Rolling Stones, hingga Simon and Garfunkel. Juga film, buku, filsuf, hingga tokoh2 pergerakan dari dunia barat. Bahkan ia menjadi penentang keras perang Vietnam, dan berusaha meyakinkan banyak orang tentang hal itu, meskipun Jepang sama sekali tidak terlibat dalam perang tersebut.
Satu saat Ken bersama teman akrabnya Adama dan Iwase mendapat ide hebat tentang proyek pembuatan film. Dari ide awal membuat film, angan mereka berkembang untuk membuat sebuah festival untuk menampilkan film hasil buatan mereka tersebut. Dalam festival itu akan ada pemutaran film, panggung drama, dan pertunjukan musik. Bertiga merekapun merencanakan semuanya.
Sebagai bintang dalam film yang akan mereka buat, Ken mengincar gadis tercantik di sekolah bernama Kazuko Matsui. Ken menjulukinya sebagai "Lady Jane", mengambil dari judul lagu milik Rolling Stones. Dalam pendekatannya kepada Lady Jane, Ken menangkap kesan bahwa gadis itu mengagumi tokoh2 luar di berita TV yang berani melakukan demonstrasi dan barikade untuk menyuarakan aspirasinya.
Tanpa pikir panjang Ken langsung mengajak teman2nya untuk merencanakan membuat barikade di "SMA Kita". Pada malam yang ditentukan mereka akan memasang spanduk besar, mengecat dinding sekolah dengan slogan-slogan tertentu, membuat kekacauan di seluruh penjuru sekolah, lalu menghubungi media. Dan esok paginya saat murid dan guru SMA Kita datang, mereka akan terbengong-bengong melihat kejutan itu, dan media telah siap meliputnya.
Berhasilkah barikade itu? apa yang akan terjadi pada Ken dan teman2nya akibat tindakan liar tersebut? Lalu bagaimana dengan rencana pembuatan Film dan Festival? Dan mampukah pada akhirnya Ken menaklukkan hati Kazuko Matsui setelah segala usahanya itu?
REVIEW
Mungkin perlu diingatkan bahwa Ryu Murakami tidak memiliki hubungan apapun dengan Haruki Murakami yang terkenal dengan "Norwegian Wood" dan "Kafka on the Shore", kecuali sama-sama orang Jepang. Karya Ryu Murakami lainnya yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia antara lain adalah "In The Miso Soup". Selain menulis novel, ia juga terkenal sebagai pembuat film. Novel "69" ini yang ditulis berdasarkan kehidupan masa remaja Ryu Murakami sendiri juga sudah difilmkan dengan judul yang sama.
Pemberontak yang Penuh Ide dan Kocak
Membaca novel ini yang memakai narator seorang remaja lelaki pemberontak dengan segala pemikiran liarnya, sedikit banyak mengingatkanku pada novel legendaris "Catcher in The Rye". Hanya saja tokoh Ken dalam novel ini tidak bersikap sinis dan mengalami depresi seperti Holden Caulfield dalam "Catcher in The Rye". Jika Holden membuatku lelah dengan segala makiannya di sepanjang cerita, Ken malah membuatku tersenyum dan tertawa dengan celetukan segar dan pikiran2 konyol nya meskipun sama2 pemberontak.
Entah sejauh mana porsi fiksi dalam novel ini dibandingkan dengan masa remaja Ryu Murakami yang sebenarnya, yang jelas cerita di dalamnya sangatlah seru. Perayaan ide untuk mendemonstrasikan harapan akan kebebasan ala barat yang dilakukan Ken dan teman-temannya. Dan memang, novel ini amat kental nuansa kebarat2annya. Suasana Jepangnya akan sama sekali hilang jika saja tokoh dan settingnya bukanlah nama2 Jepang. Acuan hidup Ken semuanya adalah dari barat, barat dan barat. Bahkan judul2 bab dalam buku ini nyaris semuanya dinamai berdasarkan ikon-ikon dari barat, entah itu dari nama tokoh atau judul lagu. Mungkin memang itulah yang terjadi pada anak muda di Jepang pada kisaran tahun 1969 itu.
Di awal-awal mungkin perlu menyesuaikan diri dulu dengan pola berpikir Ken yang seringkali melompat-lompat, kadang juga terlalu hiperbolis atau mendramatisasi yang terlalu berlebihan saat menggambarkan suatu kejadian. Namun lama-lama pembaca akan bisa menikmati dan mengikuti gaya sok dewasa Ken yang kadang konyol itu. Hanya saja buat mereka yang tidak begitu memahami tentang tokoh2, artis, dan kejadian di sekitar tahun 1969 harus menelan mentah-mentah semua celotehan Ken tentang itu.
Seru, Segar dan Menghibur
TransMedia penerbit edisi terjemahan ini memberikan label "Fiksi-Novel Komedi" untuk buku ini. Meskipun aku tidak terlalu setuju dengan label "komedi" pada novel ini, karena kesannya adalah cerita konyol2an yang kemana-mana pokoknya asal lucu. Sementara novel ini sebenarnya ceritanya terarah dan cukup cerdas sampai batasan tertentu, hanya saja disajikan dalam bahasa yang ringan yang khas dan pas untuk penuturnya yang masih remaja tapi sok dewasa.
Sedikit muncul pertanyaan mengenai kalimat-kalimat tertentu yang dicetak tebal dan lebih besar bertebaran di beberapa halaman buku ini. Kadang memang itu adalah kalimat yang perlu penekanan untuk memberikan efek dramatis, tapi di beberapa tempat ada kalimat yang nggak penting2 amat tapi ditebalkan font-nya.
Satu hal lain yang disesalkan adalah mengapa TransMedia harus mengutip salah satu kejadian paling konyol di novel ini untuk ditulis lengkap di sampul belakang? Ketika sampai pada bagian yang sama di dalam novelnya, hilanglah sama sekali kekonyolannya.
Bacaan yang sangat menghibur di waktu luang, anda akan bisa tersenyum, tertawa dan geleng-geleng kepala mengikuti kegilaan Ken dan teman-temannya. Terjemahannya mengalir dengan lancar enak dibaca. Bercerita tentang serunya masa lalu, tapi mungkin tidak membangkitkan kenangan bagi semua orang, karena pengalaman Ken disini terlalu 'maju' untuk ukuran orang Indonesia pada umumnya.
<< Home