Thursday, May 22, 2008

20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008

20 Cerpen Indonesia Terus terang aku tidak terlalu menggemari cerita pendek. Entah itu yang disaji oleh suratkabar, ataupun yang sudah dibundel menjadi sebuah buku kumpulan cerpen. Masalahnya bukan apa apa, tapi sepertinya terjadi sedikit trauma bahwa cerpen-cerpen yang ada di koran dan dalam sebuah kumpulan cerpen adalan cerpen-cerpen berat yang sangat sastrawi. Untuk bisa memahami dan menikmatinya harus memiliki suatu kepekaan tertentu untuk menangkap keindahan cerita atau situasinya yang dipaparkan dengan berbunga-bunga atau berlambang-lambang. Sering kali setelah membaca cerpen semacam itu bukannya terhibur, tetapi malah sakit kepala :D

Namun waktu melihat sebuah buku bertajuk "20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008" terbitan Gramedia Pustaka Utama, Februari 2008, aku tertarik untuk membacanya. Ingin tahu seperti apa cerita-cerita pendek yang dianggap terbaik oleh para sastrawan terkemukan. Apakah aku akan mampu mencerna dan menikmatinya?

Keduapuluh cerita pendek yang ada dalam buku ini adalah hasil pilihan dari 7 orang juri yang selama setahun dari 1 Nopember 2006 hingga 31 Oktober 2007 memantau belasan surat kabar terkemuka yang rutin menyajikan karya-karya cerpen dari para penulis Indonesia. Pemilihan ini adalah dalam rangka Anugerah Sastra PENA KENCANA untuk sastra koran di Indonesia. Selain cerpen, telah terpilih juga 100 buah puisi Indonesia Terbaik 2008 yang pernah muncul di koran Indonesia.

Keduapuluh Cerita Pendek Itu

  1. Tentang Seorang yang Mati Tadi Pagi, karya Agus Noor – Koran Tempo, 8 April 2007
    Cerita tentang seorang laki-laki yang mengetahui waktu kematiannya sehingga sudah mempersiapkan segalanya ketika waktu itu menjelang.
  2. Paragraf Terakhir, karya Antoni – Suara Merdeka, 26 November 2006
    Sepotong kisah perjalanan ke Toraja untuk memburu sebuah paragraf terakhir dari suatu rahasia kemampuan super.
  3. Sumur Keseribu Tiga, karya AS Laksana – Koran Tempo, 6 Mei 2007
    Kisah penggali sumur yang sudah menggali seribu buah sumur, dan berharap siapa tahu pada sumur ke seribu tiga ia akan menemukan harta karun.
  4. Hikayat Kura-Kura Berjanggut, karya Azhari – Koran Tempo, 4 Maret 2007
    Ketika lautan di sekitar Bandar Lamuri sedang dikuasai Perompak Lamuri, para pelaut enggan pergi berlayar dan berhenti di pelabuhan Bandar Lamuri. Sambil menunggu mereka mendengarkan berbagai kisah yang dituturkan oleh Tukang Cerita.
  5. Sinai, karya Dewi Ria Utari – Kompas, 17 Juni 2007
    Sinai seorang gadis cantik menawan yang gemar menghabiskan waktunya di klub malam. Malam itu seseorang mengamatinya hingga Sinai kembali ke rumah untuk melakukan penyucian terhadap gadis itu.
  6. La Cage Aux Folles, karya Eka Kurniawan – Koran Tempo, 15 Juli 2007
    Sebuah restoran di California bernama La Cage Aux Folles memiliki sebuah pertunjukan andalan bagi pengunjungnya. Penyanyi-penyanyi cantik yang wajahnya sangat mirip dengan para pesohor dunia. Salah satunya berasal dari Indonesia bernama Martha yang wajahnya mirip dengan seorang bintang film porno. Satu hal, penyanyi-penyanyi cantik itu adalah waria yang telah menjalani operasi plastik.
  7. Bukan Yem, karya Etik Juwita – Jawa Pos, 10 Juni 2007
    Kronik kejadian ketika sejumlah TKW dalam perjalanan pulang ke kampung masing-masing. Saling bercerita tentang pengalaman masing-masing dengan majikannya.
  8. Betaljemur, karya Gunawan Maryanto – Suara Merdeka, 26 Agustus 2007
    Kisah yang diangkat dari potongan sejarah masa lalu, tentang Betaljemur yang membalas dendam ayahnya yang dibunuh oleh saudara angkatnya Eklaswajir demi setumpuk harta karun.
  9. Kami Lepas Anak Kami, karya Gus tf Sakai – Suara Merdeka, 29 Januari 2007
    Seperti biasa Gus tf Sakai merangkai kata dalam susunan kisah surealis. Kali ini tentang seorang ayah dan ibu yang setiap pagi harus melepas anaknya yang mulai bersekolah.
  10. Tiurmaida, karya Hasan Al Banna – Kompas, 3 Juni 2007
    Anak mereka meninggal pada usia dua tahun, Marsius tak mampu menahan dukanya hingga akhirnya menjadi gila dan mengganggu warga. Tiurmaida istrinya akhirnya harus memasung Marsius di rumah, dan kini ia sendiri yang harus mencari nafkah sebagai kuli batu.
  11. Saleha di Tengah Badai Salju, karya Ida Ahdiah – Suara Mereka, 20 Agustus 2007
    Kontrak kerja Saleha di negeri orang telah habis, tapi ia tak ingin pulang menemui suaminya yang berkhianat. Ia pun bekerja sebagai pekerja gelap dengan bayaran minimum, yang bahkan di tengah badai salju pun ia harus tetap berangkat bekerja.
  12. Kupu-Kupu Ibu, karya Komang Ira Puspitaningsih – Media Indonesia, 26 November 2006
    Gadis kecil bernama Ning sering melihat dan memperhatikan seorang wanita tua yang duduk di taman ditemani dua ekor kupu-kupu cantik. Ning kadang ikut bermain dengannya. Hingga satu saat wanita dan kupu-kupu itu tak muncul lagi.
  13. Dua Perempuan, karya Lan Fang – Suara Merdeka, 12 November 2006
    Di sebuah penginapan tinggal dua orang perempuan pada kamar yang bersebelahan. Perempuan di kamar A5 seorang wanita muda yang menjadi istri kedua dari lelaki tua kaya raya. Perempuan di kamar A6 juga mencintai suami orang, hanya saja si lelaki terlalu takut terhadap istri pertamanya.
  14. Mawar di Kanal Macan, karya M. Iksaka Banu – Koran Tempo, 12 Agustus 2007
    Letnan Dapper kembali ke Batavia. Nyonya Adelheid Ewald, sang kekasih gelapnya, langsung menemuinya dalam samaran. Letnan Dapper telah membuat keputusan, tapi Adelheid Ewald juga bisa melakukan sesuatu.
  15. Sebelum ke Takao, karya Naomi Srikandi – Suara Merdeka, 6 Mei 2007
    Percakapan di sebuah kedai kopi di India [yang terus terang aku belum tahu juga apa maksud dan tujuannya :p]
  16. Seri Perjalanan, karya Nukila Amal – Koran Tempo, 24 Juni 2007
    Perjalanan Gulliver, perjalanan kupu-kupu, hingga tentang pengharum di dalam taksi [hubungannya? entahlah :p]
  17. Di Sini Dingin Sekali, karya Puthut EA – Kompas, 26 November 2006
    Kisah tentang sebuah keluarga selepas bencana gempa yang menghancurkan rumah mereka. Sang Ayah harus ikut kerja bakti membangun kampung, Ibu memasak dengan bahan makanan seadanya, kakak laki-laki sibuk melakukan demonstrasi, kakak perempuan menjadi relawan, dan si anak kecil harus mengasuh adik kecilnya diantara segala keterbatasan.
  18. Sepotong Tangan, karya Ratih Kumala – Republika, 5 Agustus 2007
    Kisah tragis-romantis saat seorang wanita tua tidak terbangun lagi dari tidurnya. Suaminya yang sangat menyayanginya tak tahu harus berbuat apa terhadap jasad istrinya.
  19. Cinta di Atas Perahu Cadik, karya Seno Gumira Ajidarma – Kompas, 10 Juni 2007
    Di suatu kampung nelayan, Hayati dan Sukab menjalin hubungan cinta terlarang, karena mereka masing-masing telah memiliki pasangan resmi. Satu saat mereka berlayar menggunakan cadik berdua saja hingga ke tengah lautan.
  20. Cahaya Sunyi Ibu, karya Triyanto Triwikromo – Jawa Pos, 21 Oktober 2007
    Dua saudara mengkhawatirkan ibu mereka yang tinggal di panti wreda. Sang Ibu sedang sangat terpukul atas kematian teman karib wanitanya. Berbagai isu tak sedap muncul seputar hubungan Ibu mereka dengan wanita itu.


Beragam Ide dan Cerita

Beragam ide dan cara penulisan ditawarkan dalam keduapuluh cerita pendek tersebut. Sebuah pengalaman membaca yang akan memperkaya kita dengan beragam kisah hanya dalam satu buku. Beberapa kisah memiliki latar belakang budaya dan sejarah, seperti budaya Toraja (Paragraf Terakhir), sejarah Batavia (Mawar di Kanal Macan), seputar kehidupan pelaut Malaya (Hikayat Kura-kura Berjenggot), atau mengambil dari sejarah tanah Jawa (Betaljemur). Kisah yang lain mencurahkan imajinasi seputar kejadian aktual, antara lain tentang keluarga korban gempa (Disini Dingin Sekali), tentang tenaga kerja wanita (Bukan Yem, dan Saleha di Tengah Badai Salju), dan tentang sistem pendidikan kita (Kami Lepas Anak Kami). Kesengsaraan wanita masih menjadi topik yang menarik untuk tetap diangkat dalam Tiurmaida, Dua Perempuan, Bukan Yem, dan Saleha di Tengah Badai Salju. Dan tak ketinggalan rumitnya kisah cinta di cerpen Cinta di Atas Perahu Cadik, Dua Perempuan, dan Sepotong Tangan. Hampir semuanya menggunakan plot linier tanpa variasi aneh-aneh, kecuali "Dua Perempuan" karya Lan Fang yang menyajikan kisah dengan dua orang narator secara bergantian.

Beberapa cerita bisa dengan mudah diikuti dan dipahami jalan ceritanya, sementara beberapa lagi aku bisa mencerna jalan ceritanya tetapi tidak mengerti tujuannya, bahkan beberapa lagi aku sama sekali tidak tahu maksudnya.

Dalam pengantar buku ini, sastrawan terkemuka Budi Darma mengutip:
"...dalam sebuah obrolan tidak resmi di Jakarta pada tanggal 28 Juni 2005, pengarang cerpen Agus Noor, yang cerpennya juga dimuat dalam kumpulan cerpen ini, menyatakan bahwa sastra sekarang, antara lain cerpen, hanya merupakan permainan kata-kata yang indah, namun kalau dikejar lebih jauh ternyata tidak ada apa-apanya. Mayoritas pengarang cerpen dalam kumpulan ini tetap percaya, bahwa cerpen bukan hanya permainan kata, tapi sebuah medium untuk menyampaikan makna."

Rupanya pak Budi Darma pun menilai bahwa sebagian cerpen dalam kumpulan ini juga suatu cerpen yang hanya berisi permainan kata... dan untuk cerpen semacam itu, aku tidak tahu dimana bagusnya :p

Pilihan Akhir di Tangan Pembaca

Cerpen dalam dunia sastra Indonesia saat ini memang lebih banyak sebagai karya sastra tulis yang dimaksudkan untuk dimuat di suratkabar. Sehingga muncullah istilah "Sastra Koran". Tapi memang suratkabar Indonesia telah menjadi sebuah media publik yang mampu memberikan ruang dan apresiasi bagi karya cerpen dan puisi lebih baik daripada media lain. Itulah mengapa Anugerah Sastra Pena Kencana ini mengkhususkan diri untuk karya sastra yang dimuat di surat kabar. Setelah Khatulistiwa Literary Award yang memberikan penghargaan tahunan untuk buku berupa novel, kumpulan cerpen dan kumpulan puisi, adanya Pena Kencana ini mestinya akan menumbuhkan lagi semangat berkarya para penulis Indonesia karena hadiah utamanya lumayan menarik.

Cara pemilihan karya terbaik pun terbilang unik. Setelah terpilih 20 cerpen terbaik dan 100 puisi terbaik dalam rentang waktu setahun, karya terpilih itu dibukukan. Lalu yang menjadi juri selanjutnya adalah pembaca. Dengan cara bagaimana?... tentunya dengan sistem yang sedang trend saat ini... dalam rentang waktu antara 15 Februari 2008 hingga 15 Agustus 2008 pembaca dipersilakan untuk mengikuti... VOTING via SMS.

Beberapa pihak memang mencibir sistem ini. Ada yang bilang sastra kok dibikin kayak Idol-Idolan. Awalnya aku berpikir, sah-sah saja lah sistem seperti ini untuk menentukan karya favorit pilihan masyarakat. Apalagi ternyata di setiap buku dicantumkan nomer seri berbeda yang harus disertakan dalam pengiriman vote.

Tapi... aku jadi agak kecewa ketika membaca tata cara voting lebih detil. Ternyata setiap pemilik buku diperkenankan mengirimkan sms sebanyak-banyaknya! Wah... berarti penulis yang punya modal kuat punya peluang lebih besar dong? Dan lagi, biaya voting sms nya menggunakan harga sms premium...

Yaaaah, kok gitu...