Monday, August 04, 2008
Niskala
Judul : Niskala
Subjudul : Gajah Mada Musuhku
Penulis : Hermawan Aksan
Penerbit : Bentang Pustaka
Edisi : Cet I, Juli 2008, 292 hlm
Novel ini adalah kelanjutan dari novel "Dyah Pitaloka" dari penulis yang sama. "Dyah Pitaloka" berkisah tentang putri kerajaan Sunda yang hendak dipersunting oleh Hayam Wuruk sang Raja Majapahit. Namun akhirnya prosesi agung itu malah berubah menjadi ajang pembantaian di Tegal Bubat, gara-gara ambisi pribadi Mahapatih Gajah Mada. Kisah yang mencoba memandang sang tokoh besar pemersatu Nusantara bernama Gajah Mada dari sisi yang lain. Sisi orang-orang yang dijadikan korban demi kemasyhuran.
Jika "Dyah Pitaloka" mengambil episode sebelum hingga saat terjadinya banjir darah dalam Perang Bubat, yang garis besar ceritanya telah banyak didengar oleh khalayak ramai, maka novel "Niskala" ini setting waktunya adalah beberapa tahun setelah Perang Bubat. Satu episode yang belum banyak diceritakan. Judul Niskala diambil dari gelar adik kandung Dyah Pitaloka yang memendam dendam terhadap Gajah Mada. Dan novel ini dengan jelas menyatakan posisi karakter utamanya dengan menampilkan subjudul "Gajah Mada Musuhku".
Anggalarang Memburu Gajah Mada
Anggalarang, nama kecil dari Prabu Anom Niskala Wastukancana, masih menyimpan jelas ingatan saat-saat kakaknya Dyah Pitaloka mengusap kepalanya sembari berpamitan menuju hari bahagia yang indah di tanah Majapahit. Dan meskipun ia tidak pernah mendapatkan penjelasan lengkap apa yang terjadi saat rombongan pengantin perempuan itu sampai di Majapahit, ia tahu pasti bahwa harga diri kerajaan Sunda telah diinjak-injak disana. Raja Sunda dan putrinya serta perwira-perwira terbaiknya dibantai tanpa persiapan perang. Anggalarang menyimpan dendam membara atas kejadian itu. Dendam terutama kepada Gajah Mada yang telah berbuat licik.
Tujuh tahun setelah peristiwa itu, pada usianya yang ke-enambelas, Anggalarang harus mempersiapkan diri untuk menjadi Raja Kerajaan Sunda. Untuk itu ia harus menjalani ritual pengembaraan ke seluruh tanah Sunda selama paling tidak setahun penuh untuk mengenal rakyatnya dari dekat. Bunisora, paman Anggalarang yang sementara menjabat sebagai pemimpin Kerajaan Sunda, tahu akan dendam yang disimpan Anggalarang. Anggalarang tidak akan berkeliling Sunda, dia akan langsung menuju ke timur ke Majapahit untuk menuntaskan dendamnya. Karena itu Bunisora tidak akan membiarkan Anggalarang, sang penerus tahta Kerajaan Sunda, berjalan sendiri membahayakan jiwa.
Perjalanan Anggalarang ke Majapahit ternyata berbarengan dengan perjalanan sejumlah pendekar dari berbagai penjuru yang hendak memburu kitab milik Gajah Mada. Kitab rahasia yang katanya memuat semua rahasia kesaktian Gajah Mada. Walaupun sadar bahwa kemampuannya belum menyamai kesaktian Gajah Mada, Anggalarang tidak menginginkan kitab itu. Hanya satu hal yang ia kejar, membayar sakit hatinya dan sakit hati seluruh rakyat Sunda terhadap Gajah Mada.
Antara Fiksi dan Sejarah
Menulis fiksi sejarah tampaknya bukan hal yang mudah. Riset mendalam harus dilakukan terlebih dahulu untuk mendapatkan data2 sejarah yang akurat. Plot yang telah tertulis dalam sejarah itu harus tetap diikuti dengan setia. Pengembangan cerita untuk menyinambungkan antar peristiwa harus terjaga alur logikanya. Tidak bisa sembarangan membuat reka-reka sejarah.
Dalam novel ini, penulis tampak sangat berhati-hati mengembangkan cerita. Karena data sejarah yang sepertinya minim untuk periode setelah perang Bubat, maka penulis mencoba mereka sendiri beberapa peristiwa pada periode tersebut hingga saat kematian Gajah Mada. Peristiwa itu diusahakan tidak terlalu penting agar tidak mengotak-atik sejarah terlalu jauh. Dan yang muncul memang adalah cerita-cerita tambahan yang terasa sebagai tempelan untuk meramaikan perjalanan Anggalarang dari Sunda ke Majapahit.
Cerita Puitis Dihiasi Persilatan
Novel ini menyajikan bahasa yang indah agak puitis. Penggambaran alam dan suasana hati Anggalarang dituturkan panjang lebar dalam bahasa yang indah.
Di antara penuturan puitis itu muncul adegan-adegan ala cerita silat di beberapa bagian novel ini. Pertemuan Anggalarang dengan beberapa pendekar yang hendak memburu kitab Gajah Mada sempat menimbulkan konflik yang mengharuskan Anggalarang mengeluarkan kemampuan kanuragannya. Selain itu selama perjalanan Anggalarang harus terus menerus waspada karena ada penguntit yang sewaktu-waktu menyerangnya ketika sedang lengah.
Namun tampaknya penulis tidak ingin novel ini menjadi semacam cerita-cerita silat yang banyak beredar. Detil detil yang diberikan bukan ala cerita silat, tetapi ala novel yang lebih berbobot sastra. Tidak ada nama2 jurus andalan, tidak ada proses pengembangan jurus yang berangsur-angsur menjadi semakin hebat, juga tidak ada musuh bebuyutan. Kondisi seperti itu menjadikan adegan2 perkelahian ala cerita silat di novel ini tidak meninggalkan kesan yang menyatu dengan jalan cerita.
Banyak Pengulangan
Membaca novel ini pembaca akan beberapa kali merasakan 'dejavu'. Peristiwa-peristiwa yang mirip diulang dengan tokoh yang berbeda. Bahkan kadang dituliskan dengan kata-kata yang tidak jauh berbeda. Anggalarang berkali-kali harus menghadapi penguntit. Anggalarang beberapa kali bertemu dengan orang yang ternyata adalah keluarga dari perwira andalan yang ikut tewas dalam pembantaian di Tegal Bubat.
Anggalarang juga beberapa kali dengan mudahnya jatuh hati kepada setiap wanita muda yang ditemuinya, dan setiap wanita itu memberikan tanda mata yang disimpan dengan hati-hati oleh Anggalarang. Terlalu mudah jatuh hati, sehingga tidak jelas kepada siapakah Anggalarang melabuhkan hatinya.
Lambat tapi Endingnya Menarik
Penulis banyak menjabarkan detil-detil seputar nama orang dan tempat yang tercetak dalam data sejarah. Ada daftar panjang nama perwira kerajaan Sunda yang mendampingi Raja Linggabuana hingga akhir hayat mereka dalam Perang Bubat. Dalam perjalanan Anggalarang dari Sunda ke Majapahit, selalu dituliskan dengan lengkap rute nama2 daerah pada masa itu yang dilewati oleh Anggalarang. Kadang jadi terkesan sebagai kisah perjalanan.
Dalam novel ini juga diselipkan kisah tambahan yang dapat menambah wawasan pembaca mengenai sejarah Jawa. Cerita tentang orang-orang pelarian dari sisa-sisa kerajaan Daha yang membangun kampung kecil di wilayah Majapahit. Juga kisah tentang sejarah Borobudur, yang pada masa itu masih terbengkalai tertutup tanah.
Dan setelah merasa agak terseret dalam plot yang lambat tanpa kejutan berarti, akhirnya sebuah ending yang menarik menutup novel ini dengan baik. Tidak terlalu wah dengan adegan persilatan hebat, tetapi mampu memberikan pelajaran yang bisa diserap hikmahnya.
Subjudul : Gajah Mada Musuhku
Penulis : Hermawan Aksan
Penerbit : Bentang Pustaka
Edisi : Cet I, Juli 2008, 292 hlm
Novel ini adalah kelanjutan dari novel "Dyah Pitaloka" dari penulis yang sama. "Dyah Pitaloka" berkisah tentang putri kerajaan Sunda yang hendak dipersunting oleh Hayam Wuruk sang Raja Majapahit. Namun akhirnya prosesi agung itu malah berubah menjadi ajang pembantaian di Tegal Bubat, gara-gara ambisi pribadi Mahapatih Gajah Mada. Kisah yang mencoba memandang sang tokoh besar pemersatu Nusantara bernama Gajah Mada dari sisi yang lain. Sisi orang-orang yang dijadikan korban demi kemasyhuran.
Jika "Dyah Pitaloka" mengambil episode sebelum hingga saat terjadinya banjir darah dalam Perang Bubat, yang garis besar ceritanya telah banyak didengar oleh khalayak ramai, maka novel "Niskala" ini setting waktunya adalah beberapa tahun setelah Perang Bubat. Satu episode yang belum banyak diceritakan. Judul Niskala diambil dari gelar adik kandung Dyah Pitaloka yang memendam dendam terhadap Gajah Mada. Dan novel ini dengan jelas menyatakan posisi karakter utamanya dengan menampilkan subjudul "Gajah Mada Musuhku".
Anggalarang Memburu Gajah Mada
Anggalarang, nama kecil dari Prabu Anom Niskala Wastukancana, masih menyimpan jelas ingatan saat-saat kakaknya Dyah Pitaloka mengusap kepalanya sembari berpamitan menuju hari bahagia yang indah di tanah Majapahit. Dan meskipun ia tidak pernah mendapatkan penjelasan lengkap apa yang terjadi saat rombongan pengantin perempuan itu sampai di Majapahit, ia tahu pasti bahwa harga diri kerajaan Sunda telah diinjak-injak disana. Raja Sunda dan putrinya serta perwira-perwira terbaiknya dibantai tanpa persiapan perang. Anggalarang menyimpan dendam membara atas kejadian itu. Dendam terutama kepada Gajah Mada yang telah berbuat licik.
Tujuh tahun setelah peristiwa itu, pada usianya yang ke-enambelas, Anggalarang harus mempersiapkan diri untuk menjadi Raja Kerajaan Sunda. Untuk itu ia harus menjalani ritual pengembaraan ke seluruh tanah Sunda selama paling tidak setahun penuh untuk mengenal rakyatnya dari dekat. Bunisora, paman Anggalarang yang sementara menjabat sebagai pemimpin Kerajaan Sunda, tahu akan dendam yang disimpan Anggalarang. Anggalarang tidak akan berkeliling Sunda, dia akan langsung menuju ke timur ke Majapahit untuk menuntaskan dendamnya. Karena itu Bunisora tidak akan membiarkan Anggalarang, sang penerus tahta Kerajaan Sunda, berjalan sendiri membahayakan jiwa.
Perjalanan Anggalarang ke Majapahit ternyata berbarengan dengan perjalanan sejumlah pendekar dari berbagai penjuru yang hendak memburu kitab milik Gajah Mada. Kitab rahasia yang katanya memuat semua rahasia kesaktian Gajah Mada. Walaupun sadar bahwa kemampuannya belum menyamai kesaktian Gajah Mada, Anggalarang tidak menginginkan kitab itu. Hanya satu hal yang ia kejar, membayar sakit hatinya dan sakit hati seluruh rakyat Sunda terhadap Gajah Mada.
Antara Fiksi dan Sejarah
Menulis fiksi sejarah tampaknya bukan hal yang mudah. Riset mendalam harus dilakukan terlebih dahulu untuk mendapatkan data2 sejarah yang akurat. Plot yang telah tertulis dalam sejarah itu harus tetap diikuti dengan setia. Pengembangan cerita untuk menyinambungkan antar peristiwa harus terjaga alur logikanya. Tidak bisa sembarangan membuat reka-reka sejarah.
Dalam novel ini, penulis tampak sangat berhati-hati mengembangkan cerita. Karena data sejarah yang sepertinya minim untuk periode setelah perang Bubat, maka penulis mencoba mereka sendiri beberapa peristiwa pada periode tersebut hingga saat kematian Gajah Mada. Peristiwa itu diusahakan tidak terlalu penting agar tidak mengotak-atik sejarah terlalu jauh. Dan yang muncul memang adalah cerita-cerita tambahan yang terasa sebagai tempelan untuk meramaikan perjalanan Anggalarang dari Sunda ke Majapahit.
Cerita Puitis Dihiasi Persilatan
Novel ini menyajikan bahasa yang indah agak puitis. Penggambaran alam dan suasana hati Anggalarang dituturkan panjang lebar dalam bahasa yang indah.
Di antara penuturan puitis itu muncul adegan-adegan ala cerita silat di beberapa bagian novel ini. Pertemuan Anggalarang dengan beberapa pendekar yang hendak memburu kitab Gajah Mada sempat menimbulkan konflik yang mengharuskan Anggalarang mengeluarkan kemampuan kanuragannya. Selain itu selama perjalanan Anggalarang harus terus menerus waspada karena ada penguntit yang sewaktu-waktu menyerangnya ketika sedang lengah.
Namun tampaknya penulis tidak ingin novel ini menjadi semacam cerita-cerita silat yang banyak beredar. Detil detil yang diberikan bukan ala cerita silat, tetapi ala novel yang lebih berbobot sastra. Tidak ada nama2 jurus andalan, tidak ada proses pengembangan jurus yang berangsur-angsur menjadi semakin hebat, juga tidak ada musuh bebuyutan. Kondisi seperti itu menjadikan adegan2 perkelahian ala cerita silat di novel ini tidak meninggalkan kesan yang menyatu dengan jalan cerita.
Banyak Pengulangan
Membaca novel ini pembaca akan beberapa kali merasakan 'dejavu'. Peristiwa-peristiwa yang mirip diulang dengan tokoh yang berbeda. Bahkan kadang dituliskan dengan kata-kata yang tidak jauh berbeda. Anggalarang berkali-kali harus menghadapi penguntit. Anggalarang beberapa kali bertemu dengan orang yang ternyata adalah keluarga dari perwira andalan yang ikut tewas dalam pembantaian di Tegal Bubat.
Anggalarang juga beberapa kali dengan mudahnya jatuh hati kepada setiap wanita muda yang ditemuinya, dan setiap wanita itu memberikan tanda mata yang disimpan dengan hati-hati oleh Anggalarang. Terlalu mudah jatuh hati, sehingga tidak jelas kepada siapakah Anggalarang melabuhkan hatinya.
Lambat tapi Endingnya Menarik
Penulis banyak menjabarkan detil-detil seputar nama orang dan tempat yang tercetak dalam data sejarah. Ada daftar panjang nama perwira kerajaan Sunda yang mendampingi Raja Linggabuana hingga akhir hayat mereka dalam Perang Bubat. Dalam perjalanan Anggalarang dari Sunda ke Majapahit, selalu dituliskan dengan lengkap rute nama2 daerah pada masa itu yang dilewati oleh Anggalarang. Kadang jadi terkesan sebagai kisah perjalanan.
Dalam novel ini juga diselipkan kisah tambahan yang dapat menambah wawasan pembaca mengenai sejarah Jawa. Cerita tentang orang-orang pelarian dari sisa-sisa kerajaan Daha yang membangun kampung kecil di wilayah Majapahit. Juga kisah tentang sejarah Borobudur, yang pada masa itu masih terbengkalai tertutup tanah.
Dan setelah merasa agak terseret dalam plot yang lambat tanpa kejutan berarti, akhirnya sebuah ending yang menarik menutup novel ini dengan baik. Tidak terlalu wah dengan adegan persilatan hebat, tetapi mampu memberikan pelajaran yang bisa diserap hikmahnya.
<< Home