Sunday, June 29, 2008

Blakanis

Judul : Blakanis
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Edisi : Juni 2008, 288 halaman


Arswendo tampaknya saat ini mulai giat kembali menulis novel dan meramaikan khasanah perbukuan Indonesia. Sekian lama Arswendo nyaris sama sekali tidak hadir menyumbangkan karyanya, setelah sempat merajai di sekitar tahun 80-90 an. Karya besarnya yang sampai sekarang masih terus menggema tentu saja adalah "Senopati Pamungkas".

Beberapa bulan lalu baru saja diterbitkan novel terbarunya "Horeluya", tanpa jeda yang terlalu lama muncul pula novel yang satu ini. "Blakanis" judulnya. Tentang orang-orang yang mengedepankan kejujuran dan menjadikannya sebagai ideologi dalam menjalani kehidupan.

Kehadiran Ki Blaka, Penganjur Kejujuran

Nama aslinya Wakiman, usianya menjelang 60 tahun. Pergi meninggalkan anak istrinya dan tinggal di rumah darurat di sebidang tanah tak bertuan seputar daerah Karawang. Orang yang sangat sederhana dan selalu bicara blak-blakan. Satu saat mengajak orang-orang sekitarnya dalam sebuah pembicaraan dimana setiap orang harus bicara jujur apa adanya jika ditanya tentang apa saja. Bicara secara 'blaka'. Perbincangan itu ternyata memberikan suasana baru di antara mereka, suasana keterbukaan tanpa kepura-puraan.

Pertemuan itu lalu diadakan lagi dan lagi dengan peserta yang semakin bertambah jumlahnya. Berita pun tersebar luas, hingga orang-orang dari berbagai kota lain berdatangan ikut bergabung. Wakiman mendapat julukan sebagai 'Ki Blaka', orang yang menganjurkan dan menjunjung tinggi kejujuran. Daerah tempat tinggal Ki Blaka bahkan akhirnya dikenal sebagai kampung Blakan. Dan orang-orang yang sering hadir dalam pertemuan dan mengikuti pandangan hidup Ki Blaka suka menyebut diri mereka sebagai 'Blakanis'. Banyak orang yang terbuka matanya dan segera merubah cara hidupnya setelah mengenal Ki Blaka.

Namun ternyata kejujuran mutlak bukanlah sesuatu yang bisa diterima dengan mudah dimana-mana. Ketika seorang mantan menteri di hadapan Ki Blaka dan seluruh peserta pertemuan mengakui berbagai kecurangannya yang tidak bisa dibuktikan oleh pengadilan, beberapa pihak mulai gelisah. Keberadaan kampung Blakan dengan gerakan kejujurannya terasa mengancam bagi orang-orang licik yang masih ingin melanggengkan kekuasaannya. Ki Blaka dan simpatisannya pun tidak mampu berbuat apa-apa ketika mereka yang memiliki kekuasaan tinggi ingin melenyapkan kampung Blakan dan segala kegiatannya.

Selesai di Bab Pertama

Novel ini ditulis dalam 4 bagian. Bab pertama yang menjadi narator adalah Mareto, mantan intel polisi yang sudah dipecat. Yang punya keyakinan bahwa kematian itu bisa menjadi penyelamat hidup. Mareto adalah salah seorang partisipan aktif di kampung Blakan. Dan ketika perkembangan kampung Blakan mulai tidak bisa dikendalikan, Mareto berniat membunuh Ki Blaka demi kebaikan Ki Blaka sendiri. Pada bab pertama ini sebenarnya sudah mencapai puncak cerita, semua plot cerita sudah dikisahkan. Sudah menjadi sebuah kisah yang utuh. Tapi tentu saja terlalu pendek untuk dijadikan novel.

Pada bab kedua diambil alih oleh Suster Emma, atau Emak. Melalui narasi dan buku catatannya, Emak bercerita lebih detil menurut sudut pandangnya, serta penambahan kisah dari sejumlah orang lain yang hidupnya berubah dengan adanya Ki Blaka dan Kampung Blakan. Di dalamnya juga diuraikan lebih banyak tentang filosofi kejujuran menurut Ki Blaka. Bab ketiga entah siapa naratornya, menguraikan lebih lanjut tentang perkembangan Ki Blaka dan pengikutnya. Dan bab keempat adalah endingnya.

Entah mengapa setelah bab pertama, menurutku, cerita novel ini jadi agak kedodoran. Maksudku, karena jalan cerita sudah ketahuan di bab pertama penambahan detil di bab-bab berikutnya jadi tidak terlalu penting. Menarik sih, tapi terasa seperti tempelan biar novelnya lebih panjang. Apalagi ending di bab 4 yang mungkin maunya dramatis dan kolosal, tapi menurutku kok maksa banget kurang realistis. Satu hal lagi yang membuat novel ini terasa tidak runtut, Mareto yang diposisikan sebagai narator di bab pertama, di bab selanjutnya malah hilang nyaris tidak disebutkan keberadaannya sama sekali kecuali satu dua kali.

Teriakan Arswendo yang Jengah Akan Kepalsuan

Arswendo masih mempertahankan gaya penulisannya yang ringan mengalir. Bahasa deskripsi yang tidak njelimet dan dialog yang bermakna lugas membuat pembaca tidak perlu mengerutkan kening terlalu dalam. Dibumbui dengan sindiran disana sini, celetukan humor cerdas yang segar, hingga sisipan pemikiran filosofis penuh makna, novel ini menjadi bacaan yang enak dinikmati tapi tetap mencerdaskan dan mencerahkan.

Dalam novel ini Arswendo meneriakkan kejengahannya atas segala kepalsuan yang terjadi pada bangsa kita. Ke-tidakjujur-an yang diam-diam menggerogoti pondasi kehidupan bermasyarakat yang seharusnya berdasarkan saling percaya, sehingga kita tidak bisa lagi begitu saja percaya kepada orang lain. Dan saat ke-tidakjujur-an berpadu dengan kekuasaan yang terjadi adalah penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap yang lemah demi melanggengkan kekuasaan.

Munculnya Ki Blaka dan gerakan Blakanis di novel ini mungkin menjadi mimpi Arswendo tentang sebuah kondisi ideal saat semua orang mau berbicara dan bertindak dengan jujur.

Jujur tentang Kejujuran

Arswendo tidak menciptakan satu sosok pahlawan kebajikan berkepribadian hebat dalam novel ini. Ki Blaka sang tokoh sentral disini memang menjadi panutan banyak orang dalam hal kejujuran. Dengan kesehariannya yang amat sangat sederhana tanpa tendensi macam-macam, semua orang percaya bahwa Ki Blaka benar-benar jujur kepada diri sendiri maupun kepada semua orang dan patut menjadi teladan. Namun Arswendo menjadikannya sebagai 'anti-hero' melalui masa lalu Ki Blaka yang cukup kelam.

Dengan sangat cerdas Arswendo juga menyentil fenomena ikatan kelompok yang terlalu kuat yang berlanjut pada pembenaran diri sendiri yang banyak terjadi saat ini. Di antara kaum Blakanis ada ritual yang mereka ciptakan sendiri, seperti melakukan 'Adus Ai', mengenakan selimut lorek, hingga tinggal selama 35 hari di kampung Blakan. Tapi Ki Blaka dengan tegas tidak pernah menyuruh orang-orang untuk melakukan itu. Ia takut jika hal-hal itu akan menimbulkan ikatan yang terlalu kuat, sehingga kemudian akan muncul pembenaran-pembenaran terhadap apa pun yang dilakukan kelompok tersebut.

Arswendo cukup jujur dengan menuturkan bahwa kejujuran mutlak dengan menyampaikan segala sesuatu dengan terbuka apa adanya tidak selalu akan membawa kebaikan. Ada orang-orang yang tidak menyukai orang lain menjadi jujur, apalagi jika kejujuran itu juga mengungkap kebohongan orang lain. Arswendo juga tidak mau mengkultuskan kejujuran sebagai puncak kebaikan. Kejujuran bukan berarti menjadi sakti. Kejujuran tidak bisa menghapus dosa, tapi bisa meringankan beban. Kejujuran juga tidak mendatangkan keuntungan besar, tapi mendatangkan kepercayaan yang terus menerus.

Ki Blaka berkata, "Jujur itu seperti bernapas. Kita tak perlu belajar terlebih dahulu, tak perlu mengatur bagaimana memulainya. Sangat sederhana, semua juga bisa melakukannya." Hmmm...