Sunday, October 19, 2008

Bilangan Fu

Judul Buku: Bilangan Fu
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Edisi : Cetakan 1, Juni 2008, 537 hlm


Setelah sekian lama akhirnya Ayu Utami menelurkan karya novel terbarunya. Ayu tampaknya memang tidak terlalu menggebu-gebu dalam menghasilkan karya. Novel debutnya yang lahir dari ajang Sayembara Novel DKJ, yaitu "Saman" yang banyak menuai kontroversi karena kelugasannya dalam penuturan seputar hal seksual, muncul pada tahu 1998. Novel "Larung" yang terdiri dari dua buah cerita terpisah menyusul setelah tiga tahun kemudian. Berselang lagi dua tahun, di 2003 Ayu merilis kumpulan esai "Parasit Lajang".

Dan kabarnya novel terbaru "Bilangan Fu" ini membutuhkan waktu penyusunan sampai empat tahun. Sebagian dari waktu itu digunakan oleh Ayu Utami untuk menggeluti secara langsung kehidupan para pemanjat tebing, yang menjadi setting utama dari novel tersebut.

Aku terus terang tidak mengidolakan Ayu Utami maupun karya2nya. Membaca "Saman" karena rasa penasaran seberapa vulgar sih dia bertutur. Dan ternyata tidak sampai jatuh menjadi cerita jorok. Semua kelugasan Ayu tentang hal seksual adalah keterusterangan dan keterbukaan dia tentang cara berpikirnya. Membaca "Larung" karena ingin tahu apalagi yang ingin diceritakan Ayu Utami, dan karena saat itu cukup jarang novel Indonesia yang diterbitkan. Dan membaca "Bilangan Fu" karena merasa sebagai pembaca yang menghargai karya2 negeri sendiri, karya Ayu Utami adalah karya yang perlu diikuti.

Pemanjat Tebing dan Spiritualisme

Sandi Yuda, seorang pemanjat tebing yang sering bersikap skeptis dan sinis, bersama kelompoknya membuka jalur pemanjatan baru di daerah Sewugunung, sekitar Yogya, di sebuah pebukitan kapur bernama Watugunung. Parang Jati, mahasiswa Geologi berjari 12 yang tinggal di Sewugunung, yang berencana melakukan penelitian arkeologi di bukit kapur yang sama, Watugunung. Mereka berdua bertemu dan selanjutnya bersahabat kental dalam banyak hal.

Parang Jati sangat menghormati alam. Ia mengkritik semua perilaku manusia yang merusak alam. Karena itulah ia menjadi vegetarian, dan ia juga tidak setuju dengan cara pemanjatan yang dilakukan Yuda yang banyak melukai batu-batuan. Dalam satu kejadian, Yuda yang suka bertaruh terpaksa tunduk kepada Jati untuk hanya melakukan clean climbing yang tidak merusak batuan sepanjang hidupnya.

Parang Jati juga sangat menghormati kehidupan dan kepercayaan masa lalu saat manusia masih hidup selaras dengan alam. Ia berani bersikap kritis terhadap agama-agama langit yang menentang berlanjutnya pemujaan-pemujaan terhadap alam. Bahkan kemudian berniat membuat agama baru "Kejawan Anyar" yang mengusung sikap spiritualisme kritis tersebut.

Dari sikap Parang Jati tersebut, ia mendapatkan musuh. Pemuda yang tiga tahun lebih muda bernama Kupukupu dan kemudian berganti nama menjadi Farisi. Konon ia adalah saudara kandung Parang Jati tetapi tidak seberuntung Parang Jati yang diangkat anak oleh Suhubudi yang kayaraya. Farisi mengagungkan agamanya dan menolak pemberhalaan apapun selain Tuhan.

Dan muncullah konflik2 di sekitar Sewugunung. Tewasnya seorang dukun klenik oleh anjing gila, dan kemudian mayatnya hilang dari kubur. Adanya perusahaan pertambangan yang ingin mengeksplorasi batu kapur Watugunung. Isu pembunuhan dukun santet oleh ninja. Juga konflik lokal antara kepolisian dan tentara. Dan masih dibumbui dengan hadirnya Marja, kekasih Yuda, yang kemudian juga intim dengan Parang Jati.

Bacaan Melelahkan

Bilangan Fu adalah novel yang berat menurutku. Aku perlu berminggu-minggu untuk menyelesaikannya. Melelahkan kalau membacanya dengan keinginan untuk mengerti dan memahami semua yang diuraikan oleh Ayu Utami. Aku menyerah setiap kali tidak berhasil menemukan inti cerita yang menjadi tujuan penulis. Ini lebih menyerupai kumpulan esai tentang cerita rakyat, tentang Sangkuriang, tentang Nyi Ratu Kidul dan Raja Mataram, tentang kritik terhadap agama langit dan agama bumi, tentang sejarah angka, tentang politik, tentang militerisme, tentang modern dan post-modern. Semuanya diaduk menjadi satu. Memang menambah wawasan dan pengetahuan, tetapi mau kemana sih?

Itu diperberat lagi dengan keberanian penulis dalam memakai kata-kata bahasa Indonesia yang jarang dipakai dalam komunikasi sehari-hari. Tanpa adanya catatan kaki tentang apa artinya, aku harus mereka-reka sendiri apa itu artinya: banal, mendaku, dubuk dan lain lain. Belum lagi penulis kadang malas menjabarkan peristiwa dalam bentuk reka kejadian runtut ala cerita fiksi, tetapi lebih memilih menuliskannya dalam bentuk narasi reportase yang datar tanpa emosi.

Tetapi yang paling membingungkan adalah bagian-bagian dimana Ayu Utami menyelam dalam dunia khayalan yang ia ciptakan sendiri. Saat ia membahas tentang bilangan Fu. Bilangan yang menghasilkan satu jika dibagi maupun dikali satu, namun bilangan itu bukan satu. Lalu ada lagi bilangan Hu, bilangan ke-tigabelas dari deretan bilangan berbasis duabelas dengan lambang bulatan spiral. Penjabaran panjang lebar tentang dua bilangan absurd itu mengambil banyak bagian dari novel ini, seolah menjadi sesuatu yang sakral yang harus dihormati. Dan aku selalu menyerah di bagian ini, melompatinya dan tidak terlalu peduli dengan dunia khayal keramat milik Ayu Utami pribadi itu. Hingga akhir cerita tetap tidak jelas peran dari bilangan Fu dan Hu ini.

Siapa Yuda?

Kebingungan lain yang muncul saat aku membaca novel ini adalah karakter Sandi Yuda yang menjadi narator orang pertama. Awalnya Yuda tergambar sebagai lelaki petualang yang sinis tapi berani menghadapi resiko. Tetapi disini aku sudah merasakan karakter Yuda adalah Ayu Utami sendiri. Kadang aku bingung harus mengimajinasikan Yuda ini sebagai pria atau wanita tomboy? Karena cara bertutur dan berpikir Yuda tidak terkesan sebagai lelaki petualang yang dingin dan keras, tapi lebih mendekati pada wanita tomboy yang sinis dan dingin.

Dan itu semakin jelas terasa ketika muncul tokoh Parang Jati. Yuda langsung kalah set. Yuda langsung menjadi pengikut dan pengekor Parang Jati. Kalimat2 yang dituliskan menyiratkan bahwa Yuda sangat mengagumi Parang Jati, bahkan mendambakan. Cerita persetubuhan Yuda dengan Marja tidak membantu untuk memunculkan sosok yang lebih maskulin dan independen. Tetap saja yang muncul adalah Yuda sebagai Ayu Utami yang sedang jatuh cinta kepada seorang pemanjat tebing... *gossip..* ;p

Parang Jati lebih berhasil digambarkan sebagai tokoh heroik dan ideal yang maskulin, meskipun sama-sama cerdas dan intelek. Tokoh antagonis Kupukupu alias Farisi juga cerdas meskipun agak kekanak-kanakan dengan kostumnya yang ala Samurai X.

Pernyataan Sikap Ayu Utami

Novel ini tampaknya memang representasi tentang sikap diri Ayu Utami. Sikap penulis yang memusuhi 3M, Monoteisme, Modernisme dan Militerisme. Bukan sebuah penolakan total. Tetapi bersikap kritis terhadapnya. Ketiga unsur itu berpotensi memegang kekuasaan yang terlalu tinggi sehingga merasa berhak meniadakan hak dari pihak lain yang tidak sejalan. Perlu ada nya penyeimbang terhadap pemegang kekuasaan.

Pernyataan diri yang sebenarnya cukup keras itu diperlunak dengan membalutnya dalam sebuah kisah fiksi tentang pemanjat tebing dan konflik di sebuah desa kecil di lereng gunung. Dengan sedikit bumbu kisah cinta segitiga yang hambar.

Namun salut tetap harus diacungkan kepada Ayu Utami untuk semua risetnya yang lumayan mendalam tentang segala hal untuk mewarnai novel ini. Meskipun sayangnya semua itu dijejalkan kadang asal saja tanpa tujuan. Salut juga untuk keberaniannya menyatakan pendapat yang telah diolah dengan matang tentang Spiritualisme Kritis. Menarik dan membuka mata.