Wednesday, November 24, 2004

Kudapan Selama Mudik: "The Name of the Rose"

Liburan di kampung, nggak banyak yang bisa aku lakukan disana. Seringkali identik dengan makan-tidur-makan-tidur. Kalopun berkunjung ke rumah sodara atau teman lama, aktivitasnya juga nggak jauh beda. Duduk-ngobrol-makan. Dan nggak bisa lama-lama karena mereka juga punya aktivitas sendiri. Maen sama ponakan juga gak bisa terus-terusan karena mereka juga punya temen sendiri. Jadi ya pastinya lebih banyak diem dan ngetem di kamar. Makanya kalo mudik ke kampung, aku bakal bawa buku baru buat dibaca habis di rumah kalo lagi bengong sendirian.


Dan kudapan buat libur lebaran tahun ini adalah "The Name of the Rose" by Umberto Eco:)

Sebenernya aku nggak terlalu tertarik sama novel yang satu ini. Tapi nyari novelnya Crichton yang belon aku baca nggak dapet, ada satu tapi udah lecek banget, malesss. Novel ini pun aku coba pertimbangkan. Waktu aku bolak-balik sekilas di toko buku sambil berdiri kesannya berat. Berat dalam hal isi dan cara penulisan, juga berat dalam arti bobot secara harfiah. 700 halaman lebih gito. Aku juga nggak terlalu paham dengan latar belakang ceritanya. Tapi karena didorong rasa penasaran, kayak apa sih novel yang katanya banyak menerima pujian dan penghargaan serta jadi best-seller international ini, jadilah aku ambil novel ini untuk menambah beban bekal mudik lebaran tahun ini.

(Perhatian, aku nggak tahu gimana caranya bikin resensi buku yang bener. Ini cuma sekedar komentar seorang aku tentang buku ini... :) )

Dan ternyata penilaian awalku nggak terlalu salah. Berat bo'... Ada kemungkinan juga ini diperberat oleh penterjemahannya yang kurang pas. Mungkin lo.. karena aku gak punya referensi ke versi aslinya (eh, versi aslinya kan bahasa Itali... mana gw ngarti) Tapi kayaknya sih emang dari sononya bahasa yang dipakai udah ruwet.

Kenapa berat? Jelas aja, aku nggak pernah mengikuti sejarah biara-biara Itali di abad pertengahan yang penuh konflik dan intrik yang menjadi latar belakang dari kisah ini. Semuanya adalah hal baru buat aku. Apalagi latar belakang itu tidak dikisahkan secara runtut, aku jadi tambah bingung, segitu banyak tokoh yang masing-masing punya peran dalam konflik yang juga bermacam-macam. Padahal cerita tentang latar belakang yang ruwet ini banyak mengambil bagian di novel ini. Jadinya kadang kalo udah nggak nyambung, ya udah aku lewatin aja, sepanjang tidak terlalu mempengaruhi alur cerita yang aku baca.

Umberto Eco sang pengarang, suka sekali bercerita tentang satu hal dengan sangat mendetil, dalam bahasa yang cukup membuat kening berkerut. Apalagi kalo sudah menyangkut semiotik, menjelaskan tentang perlambang-perlambang yang ada pada gambar-gambar yang menghiasi gereja, atau gambar-gambar yang dilukis pada pinggir buku literatur, bahkan pada mimpi. Kalo gambar2 itu adalah gambar normal tentang sesuatu yang sering kita lihat, mungkin nggak terlalu masalah, tapi yang dijelaskan ini adalah gambar yang tidak wajar tentang mahluk-mahluk aneh yang membawa pesan tertentu. Dia juga cukup panjang dalam menggambarkan perdebatan antar tokohnya mengenai suatu hal. Tiap2 tokoh dalam perdebatan itu akan menguraikan argumen masing2 berdasar literatur tertentu atau opini pribadi setiap tokoh. Panjang kali lebar.

Ketika uraian mister Eco ini membahas sesuatu yang aku nggak ngeh sama sekali, atau membahas sesuatu yang bikin aku "tok tok tok... ngapain sih dibahas?", aku baca aja secara cepat tanpa pengen tahu lebih dalam. Antara lain waktu ngebahas gambar di atap, perdebatan tentang tawa, tentang kemiskinan, tentang kaum bid'ah di kalangan nasrani, apalagi waktu menggambarkan mimpi ajaib si Adso. Bagi orang yang ngerti mungkin semua uraian itu adalah suatu penggambaran yang menarik dan brilian, mangkanya banyak orang memuji novel ini. but not for me... I know nothing about that..

Kisah utamanya sendiri memang cukup menarik. Tentang pembunuhan beruntun terhadap para biarawan di suatu komplek biara terpencil di Itali. Aku bisa membacanya dengan mengalir lancar ketika fokus cerita berada pada alur utama ini. Tapi kalo mister Eco udah mulai ngoceh tentang hal-hal lain yang cuma sebagai latar belakang tapi dibahas secara mendetil, aku jadi ngantuk.

Alur ceritanya berjalan penuh kejutan, dengan tokoh-tokoh yang masing-masing memiliki rahasia dan kepentingan pribadi. William dan Adso berusaha meraba-raba dalam gelap tentang rahasia dan kepentingan pribadi masing2 tokoh itu untuk menemukan titik terang dari kabut yang meliputi pembunuhan beruntun itu. Ini bukanlah kisah detektif dimana pembaca bisa ikut menebak-nebak berdasarkan fakta yang ada. Fakta dan petunjuk yang diungkap selama kisah dituturkan tidak akan bisa mengarahkan pembaca untuk menebak akhir cerita. Petunjuk2 baru diungkap secara lengkap dan sekaligus menjabarkan seluruh misteri di klimaks dari cerita ini.

Berakhir dengan klimaks yang menggemparkan, lengkaplah tragedi yang dikisahkan novel ini. Diawali dari pengembaraan yang sepi dan diakhiri dengan kehancuran yang juga sepi.

The morale of the story... apa ya...

  1. Curiousity kills the cats. Para biarawan yang mati itu adalah kucing-kucing yang terlalu ingin tahu, mengendus-endus kesana kemari mencari ikan asin tergurih. Tapi William dan Adso nggak mati tuh?... Ya, karena emang nggak semua kucing akan mati karena keingintahuan mereka yang bikin mereka suka mengendus-endus. Ada yang mati ketabrak mobil, ada yang mati karena udah tua.... hehe itu yang terjadi pada kucing yang ada di rumahku.
  2. Intrik dan konflik di dalam suatu organisasi keagamaan adalah sesuatu yang jamak terjadi dimana-mana. Di dalam suatu lingkungan dimana seharusnya norma-norma yang luhur dijunjung tinggi, ternyata nafsu duniawi masih bisa mengambil tempat dan mengacaukan segalanya. Nafsu duniawi itu bisa berupa kebutuhan akan kedudukan, kekuasaan, pengakuan, penghargaan, materi, bahkan…. seks.


Terus terang aku lebih enjoy baca Da Vinci Code daripada novel ini. DVC gamblang menjelaskan semuanya. Semua yang perlu diketahui oleh pembaca. Dan tidak ada uraian panjang lebar tentang sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan alur utama cerita. Suatu saat kalo ada waktu luang mungkin aku akan tergerak untuk membaca ulang DVC, tapi membaca ulang The Name of the Rose.... hanya jika aku benar2 nganggur dan tidak ada bacaan lain...

And do you know? there is no rose... entahlah kenapa mister Eco milih judul ini. Diartikan secara kiasan pun tidak akan mudah untuk menghubungkan dengan isinya. Katanya sih biar nggak membuat pembaca tergiring ke suatu interpretasi tertentu yang diciptakan oleh penulis. Lho? bukannya tugas penulis itu adalah membuat tulisan yang bisa mengarahkan pembaca ke interpretasi yang sama dengan sang penulis? auk ah...

Yang pasti buku ini habis kulahap selama libur lebaran di kampung kemaren. Alot sih emang. Bagian yang bener2 alot aku telan aja mentah-mentah (apalagi kutipan-kutipan bahasa Latin yang tidak diterjemahkan itu...). Bagian yang bisa dinikmati lumayan gurih. Tapi akan lebih baik kalo bagian2 yang alot itu nggak perlu ada... :) apalagi banyak gitu.