Saturday, December 04, 2004
Kyai dan Politik
Terpicu oleh ruwetnya berita tentang kyai berebut kursi kepemimpinan, aku jadi terheran-heran ngapain sih mereka?, apa yang mereka cari dari kursi itu? Nggak bermaksud nulis yang terlalu berat tentang topik di atas, aku juga nggak terlalu paham soal itu, nggak pernah berkecimpung di dalamnya. Cuma pengen nulis tentang apa yang aku tahu dari cerita para kerabat yang pernah terlibat di dalamnya. Gini-gini aku punya kerabat yang bisa dikatakan kyai loh... :)
Di komunitas orang-orang Jawa saat ini, yang namanya Kyai memang masih punya pengaruh yang cukup besar. Nggak tahu sejak kapan. Mungkin diawali sejak masuknya agama Islam ke tanah Jawa. Cara penyebarannya yang simpatik dan bisa masuk ke dalam budaya jawa secara halus, membuat para ulama Islam mendapat tempat di hati masyarakat. Sosok2 yang berbudi luhur inipun menjadi panutan di daerahnya masing-masing.
Masyarakat jawa yang terbiasa dengan pola feodal, menghormati pak kyai ini layaknya seorang raja. Hanya bedanya raja yang satu ini seringkali hidup secara sederhana apa adanya. Mereka sangat tunduk dan patuh "sendika dhawuh" kepada pak kyai yang diikutinya, apapun yang dikatakan dan dilakukannya akan menjadi panutan.
Kayaknya perilaku seperti itu sampe hari ini masih ada bekasnya yang cukup kuat di masyarakat Jawa, paling kuat pasti di desa-desa, sedang di kota cuma sebagian saja pada orang-orang yang cara berpikirnya belum dijajah habis oleh baratisasi.
Nhaaa pengaruhnya yang kuat di depan masyarakat itu dimanfaatkan oleh para pemimpin struktural pemerintahan. Dengan menggaet pentolannya diharapkan yang di bawah2 akan mengekor dengan setia. Jadilah bapak-bapak lurah, camat, bupati, gubernur, hingga presiden mencari muka kepada pak kyai. Mula-mula sih cuma agar mendapat restu dan dukungan, tapi akhir-akhir ini malah pak kyai nya sendiri yang ikut digeret ke ajang politik. Pak kyainya hayuk aja tuh... kalau demi kemaslahatan umat kenapa tidak? gitu katanya...
Lha tapi kok akhirnya mereka jadi tenggelam dalam permainan politik. Mau nggak mau sih. Namanya permainan politik itu ya pasti lobby sana, sikut sini, rayu situ, jegal sono. Orang-orang awam yang selama ini menganggap kyai adalah sosok panutan berbudi luhur jadi terbengong-bengong... kok pak kyai gitu?. Sebagian kehilangan simpati dan menjauh. Yang awam cuek aja "yang penting sih dapur gw masih ngebul". Tapi sebagian manggut-manggut "oh jadi boleh ya kayak gitu, ngikut ah..."
Ada seorang kerabatku yang menikah dengan putra kyai terkemuka. Putra kyai ini biasa memberikan pengajian dimana-mana. Dan pada suatu saat entah dengan lobby yang kayak apa dia dijadikan calon wakil bupati, yup hanya wakil dan yang menjadi calon bupati pasangan dia adalah orang yang memang berkarir di politik. Yang terjadi ya seperti itulah, dia ikut tenggelam di dalam politik. Amin-amin aja waktu harus menyebar uang kepada anggota dewan, bermain-main dengan kekuatan massa, dan lain-lain demi memuluskan jalan menuju kursi bupati. Tapi akhirnya dia kalah... balik lagi deh ke pesantren.
Hhhh... kalau para penjaga benteng moral jadi seperti itu, bagaimana nasib para umat neeeh??...
Di komunitas orang-orang Jawa saat ini, yang namanya Kyai memang masih punya pengaruh yang cukup besar. Nggak tahu sejak kapan. Mungkin diawali sejak masuknya agama Islam ke tanah Jawa. Cara penyebarannya yang simpatik dan bisa masuk ke dalam budaya jawa secara halus, membuat para ulama Islam mendapat tempat di hati masyarakat. Sosok2 yang berbudi luhur inipun menjadi panutan di daerahnya masing-masing.
Masyarakat jawa yang terbiasa dengan pola feodal, menghormati pak kyai ini layaknya seorang raja. Hanya bedanya raja yang satu ini seringkali hidup secara sederhana apa adanya. Mereka sangat tunduk dan patuh "sendika dhawuh" kepada pak kyai yang diikutinya, apapun yang dikatakan dan dilakukannya akan menjadi panutan.
Kayaknya perilaku seperti itu sampe hari ini masih ada bekasnya yang cukup kuat di masyarakat Jawa, paling kuat pasti di desa-desa, sedang di kota cuma sebagian saja pada orang-orang yang cara berpikirnya belum dijajah habis oleh baratisasi.
Nhaaa pengaruhnya yang kuat di depan masyarakat itu dimanfaatkan oleh para pemimpin struktural pemerintahan. Dengan menggaet pentolannya diharapkan yang di bawah2 akan mengekor dengan setia. Jadilah bapak-bapak lurah, camat, bupati, gubernur, hingga presiden mencari muka kepada pak kyai. Mula-mula sih cuma agar mendapat restu dan dukungan, tapi akhir-akhir ini malah pak kyai nya sendiri yang ikut digeret ke ajang politik. Pak kyainya hayuk aja tuh... kalau demi kemaslahatan umat kenapa tidak? gitu katanya...
Lha tapi kok akhirnya mereka jadi tenggelam dalam permainan politik. Mau nggak mau sih. Namanya permainan politik itu ya pasti lobby sana, sikut sini, rayu situ, jegal sono. Orang-orang awam yang selama ini menganggap kyai adalah sosok panutan berbudi luhur jadi terbengong-bengong... kok pak kyai gitu?. Sebagian kehilangan simpati dan menjauh. Yang awam cuek aja "yang penting sih dapur gw masih ngebul". Tapi sebagian manggut-manggut "oh jadi boleh ya kayak gitu, ngikut ah..."
Ada seorang kerabatku yang menikah dengan putra kyai terkemuka. Putra kyai ini biasa memberikan pengajian dimana-mana. Dan pada suatu saat entah dengan lobby yang kayak apa dia dijadikan calon wakil bupati, yup hanya wakil dan yang menjadi calon bupati pasangan dia adalah orang yang memang berkarir di politik. Yang terjadi ya seperti itulah, dia ikut tenggelam di dalam politik. Amin-amin aja waktu harus menyebar uang kepada anggota dewan, bermain-main dengan kekuatan massa, dan lain-lain demi memuluskan jalan menuju kursi bupati. Tapi akhirnya dia kalah... balik lagi deh ke pesantren.
Hhhh... kalau para penjaga benteng moral jadi seperti itu, bagaimana nasib para umat neeeh??...
<< Home