Thursday, March 24, 2005

Antara Sekolah, Makan, dan Ibadah

Kompas hari selasa 22 Maret 2005 menurunkan artikel yang bikin hati teriris-iris. Tentang anak2 yang kurang beruntung, yang untuk bisa sekolah aja adalah suatu karunia yang sangat besar. Judulnya "Jangankan Sekolah, Bisa Makan Saja Sudah Untung", dan satu artikel lagi "Makin Berat, Beban Orangtua dalam Menyekolahkan Anaknya".

Tentang Irman Maulana (16), siswa Kelas II SMP Negeri Cibatu I, Garut. Tiap hari naik turun gunung untuk ke sekolahnya yang berjarak enam kilometer dari rumah. Pulang sekolah, kalo tidak ada makanan dia melupakan rasa lapar dengan tidur atau mencari kayu bakar. Tapi Irman tidak pernah berniat berhenti sekolah, meski tekanan psikologis karena ledekan teman2nya dan impitan ekonomi membuat dia sulit belajar.

Ade Sutrisna (14), teman sekelas Irman, mengalami nasib serupa. Kerap tidak ikut ulangan karena tidak mempunyai uang. Sering harus membantu ibunya menjadi buruh tani atar bisa makan. Bahkan sebulan lalu ibunya meminta Ade berhenti sekolah karena tidak ada uang untuk ongkos ke sekolah dan membeli peralatan sekolah.

Euis Nurhayati (13) sejak ditinggal ibunya kerja menjadi TKW hanya tinggal dengan Neneknya. Mereka tidak mempunyai uang karena ibunya tidak pernah mengirim kabar, apalagi uang. Euis pun harus berhenti sekolah. Tiap hari ia mengurung diri karena sedih melihat teman-temannya bisa berangkat ke sekolah

Sementara Dirja (35), pedagang makanan otak- otak di Bekasi, sebagai orangtua juga merasakan beban yang sama. "Saya sedih karena anak- anak sering menunggak bayar sekolah sampai enam bulan. Saya sudah berusaha minta keringanan ke sekolah, tetapi harus ada surat keterangan tidak mampu dari desa. Masalahnya, untuk mengurus surat itu harus ada uang rokok. Saya tidak punya uang untuk yang begitu. Terpaksa anak-anak menahan malu ditagih guru," katanya.


Miris...

Nggak Kebayang

Mungkin buat kita2 yang saat ini bisa menikmati kelebihan sehingga bisa menikmati fasilitas untuk membuka internet dan ber"ngeblog" ria, nggak akan kebayang kondisi semacam itu. Bahkan mungkin sempat heran dan bertanya2, "ada ya yang sampe seperti itu?". Dan jawabannya jelas, ada.

Aku ingat waktu SMP dulu sempat keceplosan komentar sama teman yang kurang beruntung. Ada pelajaran ketrampilan mengetik, dan untuk minggu itu setiap anak diminta membawa amplop, kartupos, dan weselpos untuk latihan mengetik. Ketika ada teman yang bilang kalo dia tidak membawa semua perlengkapan itu, aku spontan bilang "Beli aja di kantor pos sebelah, cuma 50 rupiah selembar". Aku langsung ditowel teman yang lain "Tega ya kamu ngomong gitu sama dia". Aku heran sesaat, dan kemudian baru nyadar...sampe segitu ya?

Keluargaku sendiri juga sebenarnya sederhana, sama sekali tidak ada kemewahan. Tapi kalo untuk biaya sekolah negeri ya alhamdulillah masih lebih lah. Dan waktu tau ada temen sekelas yang tidak mampu menyisihkan 50 rupiah saja, aku bener2 nggak kebayang.

Makin Mahal

Terus terang aku sekarang ngeri melihat biaya pendidikan saat ini. Masuk TK aja harus bayar sekian ratus ribu kata temen sekantorku. Belum lagi biaya untuk bayar SPP dan biaya lain2 yang beraneka ragamnya. Apalagi biaya kuliah jaman sekarang!! wow!! SPP satu semester kuliah saat ini baik di swasta ataupun negeri bisa untuk bayar SPP kuliahku jaman itu selama 10 semester!! beneran!

Apakah pendidikan hanya untuk yang berduit? Whuaaah, bakalan semakin dalam dan lebar jurang pemisah antara yang miskin dan bodoh dengan mereka yang kaya dan berpendidikan :( Bantuan Beasiswa memang salah satu jalan yang bisa memecahkan masalah. Tapi sepertinya masih terlalu sedikit mereka yang mau menawarkan dibandingkan dengan yang membutuhkan. Mungkin perlu dipertimbangkan juga pemberian beasiswa yang tidak memberi patokan prestasi akademis yang terlalu tinggi, karena mereka yang tidak mampu dengan kecerdasan rata2 akan merasa semakin tersingkir.

Membaca penuturan Pak Dirja, benar2 bikin shock. Untuk membuat surat keterangan tidak mampu, ternyata harus memberi uang rokok (!!!). Betapa teganya mereka yang mencoba memeras dan menekan orang sudah berada di titik bawah demi kesenangan dia sendiri. Negaraku... mau kemana dirimu...

Pendidikan adalah Ibadah

Akhir bulan November 2004, Depdiknas mencanangkan gerakan "Pendidikan adalah Ibadah", dan sampai sekarang mungkin masih bisa dilihat iklannya di televisi. Bahwa pendidikan adalah wajib dan mulia untuk kepentingan dunia dan akhirat. Dan bahwa pendidikan bisa menumbuhkan iman, sehingga anak didik bisa menjadi manusia yang cerdas dan berakhlak mulia.

Pertama kali membaca slogan itu ada sedikit rasa janggal.
Mengapa harus menjadikan agama sebagai motivator? Mereka yang putus sekolah atau tidak sekolah itu kan karena faktor ekonomi, tidak ada biaya, bukan karena tidak mau mentaati perintah agama. Meskipun memang agama mempunyai energi yang lebih kuat untuk mempengaruhi penganutnya. Tapi kalau untuk mendapatkan pendidikan tetap dituntut sejumlah biaya, mereka ya tetap tidak akan bisa memaksakan diri.

Atau ini adalah usaha untuk men-sakralkan kembali pendidikan? Mengingat dulu memang pendidikan itu lebih banyak diadakan oleh lembaga keagamaan, dimana para murid mendapat pendidikan yang terintegrasi antara ilmu tentang dunia dan ilmu tentang filosofi agama. Kemudian seiring dengan perpecahan antara ilmuwan yang semakin bangga dengan pencapaiannya dan kalangan agama yang mempertahankan dogma2nya, pendidikan menjadi terpisah antara pendidikan sekuler dan pendidikan agama. Dan kita juga paham kalo ilmu yang tidak dijaga oleh etika dan norma memang bisa berbahaya.

Sadar atau enggak, pandangan umum yang ada saat ini adalah bahwa pendidikan itu persyaratan untuk mencari kerja. Jikapun ada yang memandang pendidikan sebagai ibadah, maka itu cenderung mengacu kepada pendidikan agama.

Sekolah Gratis? Mungkinkah?

Mestinya sih mungkin. Tapi sangat tergantung kepada adanya pihak lain yang mau menanggung semua biaya pendidikan. Tidak mungkin penyelenggaraan pendidikan tanpa mengeluarkan biaya. Pemerintah adalah salah satu pihak yang sangat mungkin, karena dia yang berkepentingan dengan kesejahteraan masyarakatnya.

Kabupaten Cilacap pernah mencanangkan program pembebasan SPP untuk seluruh sekolah negeri di tahun 2003, tapi saat ini sudah tidak diperpanjang lagi. Dan beberapa waktu lalu kabupaten Jembrana di Bali yang mencanangkan SPP gratis, mudah2an akan bertahan lama.

Semuanya tergantung apakah pihak2 yang punya dana itu mampu melihat pentingnya pendidikan bagi masa depan. Termasuk kita juga sih. Apa mau menyisihkan dana untuk membantu Irman, Ade, Euis, agar masa depannya bisa lebih cerah?