Wednesday, March 16, 2005

Tuna Netra

Suatu saat aku naik angkutan umum untuk suatu keperluan. Seperti biasa aku pasang sikap cuek terhadap sekitar. Hingga pada suatu tempat, ada seorang laki-laki dituntun seorang perempuan menghentikan kendaraan itu. Si lelaki naik dan si perempuan hanya mengantarkan sampai di pintu kendaraan. Laki-laki itu tuna netra.

Laki-laki itu pergi sendirian, menaiki kendaraan umum yang tidak dilengkapi (kok dilengkapi sih?...) seorang kenek. Jadi tidak ada yang akan berteriak2 menyebutkan tempat perhentian yang sedang dilewati. Tapi ternyata laki2 itu tidak mendekati sopir untuk minta diturunin dimana, juga tidak meminta tolong kepada penumpang yang lain. Terus, bagaimana dia turun nanti?

Sampai di suatu tempat si laki-laki berkata agak keras, yang mestinya ditujukan kepada sopir, menyebutkan nama tempat yang sebentar lagi akan dilewati oleh kendaraan itu. Si sopir melambatkan kendaraan dan akhirnya berhenti, si laki2 pelan2 turun, membayar ongkos kepada sopir. Kemudian dia membuka tongkat yang sedari tadi terlipat dalam genggamannya, dan berjalan ke depan dengan bantuan tongkatnya yang menjadi sensor untuk mengenali medan di depannya.

Mobil berjalan lagi, aku masih mencoba memperhatikan si laki2 sebelum hilang dari pandangan. Dia rupanya hendak melanjutkan perjalanan lagi. Tempat dia berhenti adalah pangkalan tidak resmi dari angkutan umum jurusan tertentu. Si laki2 menaiki salah satu mobil itu. Entah kemana kali ini dia menuju.

Setengah takjub aku bertanya pada diriku sendiri, Kok bisa ya?...

Mencoba Tanpa Mata

Pada saat yang lain, aku kembali teringat peristiwa itu. Aku coba mengira-ngira bagaimana laki2 tuna netra itu bisa mengenali tempat perhentiannya. Pasti dia sudah sangat hafal dengan rute kendaraan umum itu. Tapi aku tetap kagum, bagaimana dia membuat penanda lokasi yang sedang dilewati kendaraan itu ya? Kalau kita yang normal, sudah jelas bisa mengamati bangunan2 di sekitar kita sebagai penanda. Dan hal itu sepenuhnya mengandalkan kemampuan mata kita dalam menangkap obyek2 yang ada. Kalau mereka?

Iseng2 aku menutup mata dalam perjalanan, mencoba memahami kondisi laki2 itu. Dasarnya emang rada ngantuk sih... :P Tanpa penglihatan, aku hanya bisa mengandalkan telinga, kulit, dan kadang hidung. Tapi yang paling berperan ternyata adalah kulit dan pendeteksi keseimbangan. Pada saat berbelok. kulit yang sedang menyandar pada bagian mobil akan merasakan perbedaan tekanan. Dari situ bisa dikira2 mobil sedang belok kanan atau kiri. Pada saat jalan menurun tubuh akan terasa sedikit mengambang, dan jika sedang menanjak tubuh akan terasa tertekan ke bawah. Ketika melewati polisi tidur, tubuh akan terlompat sebentar. Dan jika ada polisi gelimpangan (polisi tidur beramai-ramai, tapi kecil2... :P), tubuh akan terlompat-lompat beberapa kali.

Dengan memperhatikan kondisi jalan, menghitung berapa kali belok, mencermati polisi yang tidur sembarangan, dan kadang2 mengintip untuk memastikan, aku mulai bisa sedikit mengenal lokasi. Ditambah kadang2 ada aroma khas dari rumah makan padang (hmmmm..), pasar sayur (hmmph), atau tempat pembuangan sampah (hmph!! hwegh) yang menjadi penanda pelengkap.

Hmm... begitu ya?...

Accessibility

Tidak bisa melihat pastilah tidak terbayangkan buat kita yang udah biasa mengandalkan mata untuk mengindra situasi di sekitar kita.Tapi mereka yang tidak dikaruniai penglihatan yang sempurna, ternyata bisa tuh menjalani hidup dengan cara mereka sendiri.

Sekarang memang kayaknya lagi digalakkan mengenai "accessibility". Adanya fasilitas2 tambahan bagi penyandang cacat di tempat2 umum. Seorang teman pernah bercerita bahwa ada teman kuliahnya di Inggris yang tuna netra, dan adanya fasilitas2 tambahan untuk penyandang cacat disana bisa membuat dia mandiri dan mampu meraih gelar doktor.

Disini fasilitas seperti itu sudah mulai banyak, tapi masih berdiri sendiri2 dan belum terintegrasi dengan baik. Jembatan penyeberangan busway menggunakan jalan landai tanpa tangga, untuk mereka yang memakai kursi roda. Tapi setelah lepas dari busway ya harus kembali menghadapi kejamnya ibukota.
Di beberapa tempat perbelanjaan lift-nya dilengkapi dengan huruf Braille di dekat tombol2nya. Tapi tidak dilengkapi pemberitahuan tentang posisi lift sudah di lantai berapa. Niat membantu nggak sih? :P

Porsi Masing-masing

Mungkin kita merasa lebih beruntung dibanding mereka, karena dengan penglihatan yang sempurna kita bisa hidup dengan lebih lengkap. Tapi nyadar nggak? kalo sebenernya indera penglihatan ini selain bisa menjadi alat pengindra, pintu masuk ilmu pengetahuan, tapi juga adalah penggoda iman paling hebat?

Godaan hasrat seringkali berawal dari mata yang tidak tahan melihat pemandangan2 indah berseliweran. Perut yang tidak lapar bisa tiba2 lapar membabi-buta karena diawali dari mata. Barang2 baru yang dipajang di etalase yang sebenarnya kita nggak perlu2 amat bisa tiba2 berada di kantong belanjaan dan menguras dompet karena dipicu oleh mata yang serakah.

Coba deh bayangin, kalo seandainya kita tidak bisa melihat itu semua, apa kita bakal masih tergoda ya?

Setiap manusia ternyata memang mempunyai porsinya masing2. Porsi nikmat dan ujian kehidupan yang seimbang dengan kelebihan dan kekurangan masing2...