Sunday, February 20, 2005
Ayat-ayat Cinta
Entah karena pengaruh hari penuh sejarah, hari Asyura 10 Muharram, yang memang jatuh pada hari Sabtu kemaren, atau karena lagi pengen rada2 religius, ritual rutin ke toko buku menghasilkan dua buah novel berlatarbelakang islam masuk dalam tagihan bulan depan :) Satu buku roman sejarah Islam tentang "Husain, Sang Ksatria Langit" karya Muhsin Labib tentang tragedi Karbala yang memang diperingati tepat pada 10 Muharram, dan yang satu lagi karya penulis Indonesia Habiburrahman El Shirazy "Ayat-ayat Cinta".
Buku pertama aku baca beberapa halaman, belum apa2 aku merasa mual dengan kelicikan Muawiyah terhadap para ahlul-bait, keturunan Nabi Muhammad saw. Aku tutup dulu deh, entar aja kalo emosiku siap membaca kisah yang penuh kelicikan seperti itu.
Aku mulai buka halaman2 buku kedua. Buku ini sebenarnya udah aku lihat sejak sekitar dua bulan lalu, dan membaca komentar2 para tokoh yang sudah membacanya membuat aku tertarik untuk mengambilnya. Tapi saat itu ketertarikanku belum terlalu besar. Baru setelah Imponk bercerita bahwa dia baru saja ketemu langsung dengan penulisnya, ditambah lagi bahwa novel ini mendapat nominasi sebagai novel terpuji dalam "Anugerah Pena 2005" yang diselenggarakan FLP, ketertarikan menjadi bertambah. Lagipula aku sedang tidak mood untuk membaca buku non-fiksi, sementara stok buku fiksi sudah habis dibaca. Ya udah, bungkus.... :D
Ternyata... aku nggak bisa berhenti untuk terus membacanya.
Mengalir
Bercerita tentang mahasiswa2 Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar Mesir, sesuai dengan latar belakang dari penulisnya sendiri. Mendengar itu mungkin yang terbayang adalah suatu kisah yang sedikit berjarak dengan pembacanya karena perbedaan budaya. Tapi Kang Abik (begitu katanya dia biasa dipanggil) bisa membuat kisahnya mengalir lancar tanpa hambatan. Penuturannya yang sangat humanis dengan menggunakan orang pertama melalui Fahri mampu membuat pembaca melebur dalam tokoh utama ini. Meski bersetting di negara yang berbahasa arab, ungkapan dalam bahasa arab yang dipakai tidak terlalu berlebihan, malah disana-sini digunakan juga bahasa inggris dan jerman dalam dialog tokoh2nya.
Pembaca akan serasa mengalami sendiri saat Fahri melakukan perjalanan dengan metro (kereta listrik) dari satu sudut kota Cairo ke sudut yang lain setiap harinya. Ikut merasakan beban tugas Fahri yang menumpuk. Ikut merasakan kehangatan persaudaraan dengan teman2 serumah yang sama2 dari Indonesia. Merasakan panasnya Cairo pada puncak musim panasnya. Merasakan ikut menjaga akhlak dalam interaksi dengan orang lain. Ikut tersipu-sipu ketika Fahri di-"tari rabi" (ditawari menikah - red. .. eh ini basa jawa bukan basa arab :p). Emosi juga ikut melambung dan terbanting mengikuti nasib yang harus dijalani Fahri.
Penuh Hikmah dan Kejutan
Dalam bab-bab awal banyak bercerita tentang kehidupan keseharian Fahri yang sedang menyelesaikan S2-nya. Tahapan perkenalan ini mengalir datar tapi memikat. Datar karena hampir tanpa konflik yang berarti, bahkan aku hampir mengambil kesimpulan bahwa membaca novel ini seperti membaca diary kehidupan yang biasa saja dari seorang santri calon da'i. Memikat karena semuanya dialirkan dalam hikmah2 yang menyejukkan.
Tapi ternyata kisah ini tidak sedatar itu. Seketika ceritanya melambung tinggi penuh kebahagiaan yang tidak terduga. Dan aku sempat agak kecewa dengan lambungan yang terlalu fantastis itu, karena merasa kehilangan alur cerita yang sederhana dan membumi. Tapi kemudian dengan seketika juga, cerita berbalik menghempas terbanting terbenam ke dalam tanah. Mengagetkan. Semua elemen yang diceritakan di awal, yang aku anggap remeh-temeh sekedar pelengkap dalam menceritakan kehidupan Fahri ternyata akhirnya menyatu membentuk satu cerita utuh ketika klimaks demi klimaks diluncurkan.
Sayangnya pada puncak klimaks, menurutku, kurang menggigit. Pengakuan yang mengakhiri semua penderitaan mestinya bisa dibuat lebih tajam dengan situasi yang lebih dramatis. Orang yang mampu membuat rekayasa seperti itu harusnya sedang mengalami gangguan mental dan akan mengalami goncangan dahsyat ketika akhirnya semuanya terbongkar.
Cinta dan Wanita
Dari judul dan covernya, "cinta" tampaknya menjadi topik utama. Tapi jangan membayangkan cinta akan dipertuhankan seperti roman2 cinta picisan, novel ini bukan tentang cinta seperti itu. Batasan akhlak dan etika Islam benar2 diberlakukan disini. Cinta yang penuh romansa baru dituturkan ketika telah dihalalkan, yakni saat Fahri telah menikah. Di awal hingga pertengahan aku bahkan sama sekali lupa kalau judulnya adalah "Ayat2 Cinta".
Novel ini banyak membahas tentang kedudukan perempuan dalam Islam lengkap dengan dalil2nya, meski tokoh utamanya adalah laki-laki. Sebagian dibahas secara langsung melalui diskusi antara Fahri dengan teman2 wanitanya baik sesama muslim maupun non-muslim. Dari hukum memukul istri hingga poligami. Sebagian lagi ditampilkan dalam perilaku Fahri dalam berinteraksi dengan teman2 wanitanya, yang tetap menjaga tata cara pergaulan antar lawan jenis dalam batasan akhlak yang islami.
Tapi yang agak aneh, ada kesan wanita2 dalam novel ini terkesan lebih agresif dalam batas tertentu dibanding tokoh2 prianya. Fahri sampai2 menerima pernyataaan jatuh cinta dari empat orang wanita melalui surat ataupun secara tidak langsung melalui orang lain (duh.... jadi inget... ;P). Sementara Fahri dan teman2 prianya tampak tidak terlalu memusingkan tentang jodoh, biarkan datang pada saatnya.
Gerimis
Overall sih, novel ini enak dibaca, meskipun ada sedikit gangguan dari editing yang kurang cermat. Penulisnya tampak sangat memahami seluk-beluk Mesir yang menjadi latar belakang cerita ini, lokasi2nya, budayanya, termasuk kebiasaan dan aktifitas mahasiswa Indonesia di Mesir. Alur ceritanya penuh dengan kejutan2 yang tidak sempat terbayangkan, diselingi dengan hikmah2 yang mampu membuat hati gerimis (meminjam istilah yang dipakai dalam novel ini sendiri).
Novel ini memang akhirnya bergelimang dalam cinta. Cinta yang memadu dua manusia yang berlainan jenis, namun yang sepenuhnya dilandaskan kepada ayat2 Tuhan. Ayat-ayat cinta.
Buku pertama aku baca beberapa halaman, belum apa2 aku merasa mual dengan kelicikan Muawiyah terhadap para ahlul-bait, keturunan Nabi Muhammad saw. Aku tutup dulu deh, entar aja kalo emosiku siap membaca kisah yang penuh kelicikan seperti itu.
Aku mulai buka halaman2 buku kedua. Buku ini sebenarnya udah aku lihat sejak sekitar dua bulan lalu, dan membaca komentar2 para tokoh yang sudah membacanya membuat aku tertarik untuk mengambilnya. Tapi saat itu ketertarikanku belum terlalu besar. Baru setelah Imponk bercerita bahwa dia baru saja ketemu langsung dengan penulisnya, ditambah lagi bahwa novel ini mendapat nominasi sebagai novel terpuji dalam "Anugerah Pena 2005" yang diselenggarakan FLP, ketertarikan menjadi bertambah. Lagipula aku sedang tidak mood untuk membaca buku non-fiksi, sementara stok buku fiksi sudah habis dibaca. Ya udah, bungkus.... :D
Ternyata... aku nggak bisa berhenti untuk terus membacanya.
Mengalir
Bercerita tentang mahasiswa2 Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar Mesir, sesuai dengan latar belakang dari penulisnya sendiri. Mendengar itu mungkin yang terbayang adalah suatu kisah yang sedikit berjarak dengan pembacanya karena perbedaan budaya. Tapi Kang Abik (begitu katanya dia biasa dipanggil) bisa membuat kisahnya mengalir lancar tanpa hambatan. Penuturannya yang sangat humanis dengan menggunakan orang pertama melalui Fahri mampu membuat pembaca melebur dalam tokoh utama ini. Meski bersetting di negara yang berbahasa arab, ungkapan dalam bahasa arab yang dipakai tidak terlalu berlebihan, malah disana-sini digunakan juga bahasa inggris dan jerman dalam dialog tokoh2nya.
Pembaca akan serasa mengalami sendiri saat Fahri melakukan perjalanan dengan metro (kereta listrik) dari satu sudut kota Cairo ke sudut yang lain setiap harinya. Ikut merasakan beban tugas Fahri yang menumpuk. Ikut merasakan kehangatan persaudaraan dengan teman2 serumah yang sama2 dari Indonesia. Merasakan panasnya Cairo pada puncak musim panasnya. Merasakan ikut menjaga akhlak dalam interaksi dengan orang lain. Ikut tersipu-sipu ketika Fahri di-"tari rabi" (ditawari menikah - red. .. eh ini basa jawa bukan basa arab :p). Emosi juga ikut melambung dan terbanting mengikuti nasib yang harus dijalani Fahri.
Penuh Hikmah dan Kejutan
Dalam bab-bab awal banyak bercerita tentang kehidupan keseharian Fahri yang sedang menyelesaikan S2-nya. Tahapan perkenalan ini mengalir datar tapi memikat. Datar karena hampir tanpa konflik yang berarti, bahkan aku hampir mengambil kesimpulan bahwa membaca novel ini seperti membaca diary kehidupan yang biasa saja dari seorang santri calon da'i. Memikat karena semuanya dialirkan dalam hikmah2 yang menyejukkan.
Tapi ternyata kisah ini tidak sedatar itu. Seketika ceritanya melambung tinggi penuh kebahagiaan yang tidak terduga. Dan aku sempat agak kecewa dengan lambungan yang terlalu fantastis itu, karena merasa kehilangan alur cerita yang sederhana dan membumi. Tapi kemudian dengan seketika juga, cerita berbalik menghempas terbanting terbenam ke dalam tanah. Mengagetkan. Semua elemen yang diceritakan di awal, yang aku anggap remeh-temeh sekedar pelengkap dalam menceritakan kehidupan Fahri ternyata akhirnya menyatu membentuk satu cerita utuh ketika klimaks demi klimaks diluncurkan.
Sayangnya pada puncak klimaks, menurutku, kurang menggigit. Pengakuan yang mengakhiri semua penderitaan mestinya bisa dibuat lebih tajam dengan situasi yang lebih dramatis. Orang yang mampu membuat rekayasa seperti itu harusnya sedang mengalami gangguan mental dan akan mengalami goncangan dahsyat ketika akhirnya semuanya terbongkar.
Cinta dan Wanita
Dari judul dan covernya, "cinta" tampaknya menjadi topik utama. Tapi jangan membayangkan cinta akan dipertuhankan seperti roman2 cinta picisan, novel ini bukan tentang cinta seperti itu. Batasan akhlak dan etika Islam benar2 diberlakukan disini. Cinta yang penuh romansa baru dituturkan ketika telah dihalalkan, yakni saat Fahri telah menikah. Di awal hingga pertengahan aku bahkan sama sekali lupa kalau judulnya adalah "Ayat2 Cinta".
Novel ini banyak membahas tentang kedudukan perempuan dalam Islam lengkap dengan dalil2nya, meski tokoh utamanya adalah laki-laki. Sebagian dibahas secara langsung melalui diskusi antara Fahri dengan teman2 wanitanya baik sesama muslim maupun non-muslim. Dari hukum memukul istri hingga poligami. Sebagian lagi ditampilkan dalam perilaku Fahri dalam berinteraksi dengan teman2 wanitanya, yang tetap menjaga tata cara pergaulan antar lawan jenis dalam batasan akhlak yang islami.
Tapi yang agak aneh, ada kesan wanita2 dalam novel ini terkesan lebih agresif dalam batas tertentu dibanding tokoh2 prianya. Fahri sampai2 menerima pernyataaan jatuh cinta dari empat orang wanita melalui surat ataupun secara tidak langsung melalui orang lain (duh.... jadi inget... ;P). Sementara Fahri dan teman2 prianya tampak tidak terlalu memusingkan tentang jodoh, biarkan datang pada saatnya.
Gerimis
Overall sih, novel ini enak dibaca, meskipun ada sedikit gangguan dari editing yang kurang cermat. Penulisnya tampak sangat memahami seluk-beluk Mesir yang menjadi latar belakang cerita ini, lokasi2nya, budayanya, termasuk kebiasaan dan aktifitas mahasiswa Indonesia di Mesir. Alur ceritanya penuh dengan kejutan2 yang tidak sempat terbayangkan, diselingi dengan hikmah2 yang mampu membuat hati gerimis (meminjam istilah yang dipakai dalam novel ini sendiri).
Novel ini memang akhirnya bergelimang dalam cinta. Cinta yang memadu dua manusia yang berlainan jenis, namun yang sepenuhnya dilandaskan kepada ayat2 Tuhan. Ayat-ayat cinta.
<< Home