Monday, January 17, 2005

Bagai Sang Surya

Siapa sih yang nggak trenyuh melihat bencana demi bencana yang menimpa berbagai bagian dari bumi nusantara kita ini? Apa lagi ekspos yang begitu panjang dan rinci dari berbagai media, bisa menghadirkan secara langsung di hadapan kita penderitaan demi penderitaan yang dialami oleh para korban bencana. Kita yang tidak berada di tempat kejadian ikut merasa ngilu atas kenyataan yang terjadi disana. Dan kemudian sebagai rasa simpati kita pun tidak segan-segan mengambil sebagian dari milik kita untuk kita sumbangkan kepada mereka, demi agar bisa sedikit membantu meringankan kepedihan mereka.

Berapa ya enaknya?

Ketika membuka dompet mengeluarkan lembaran untuk dimasukkan "kotak peduli" tentu aku secara kilat akan melakukan perhitungan kecil, demikian juga ketika berada di boks atm untuk mentransfer sejumlah dana. Perhitungan kecil tentang berapa sih yang pantas untuk disumbangkan ke bencana sebesar itu? dan tentunya dengan pertimbangan berapa kebutuhan dana yang masih aku perlukan untuk diriku sendiri, baik untuk yang primer, sekunder, bahkan tersier. Bukan hanya untuk saat ini, tapi juga untuk masa depan. Perhitungan kilat selesai. Hasilnya... sekian deh.

Sekilas kemudian terdengar bisikan dari memori di otak. Dari kata2 para ustadz atau para sesepuh yang aku hormati atau juga dari beberapa teman yang alim... Jangan terlalu perhitungan, kalau kita rajin berderma kepada yang membutuhkan, insya Allah akan diganti dengan jumlah yang berlipat-lipat...

Hmm... iya ya, kan banyak yang bilang gitu. Mmm... tambahin lagi deh kalo gitu.

Masih ada pamrih

Sejenak kemudian, terjadi dialog dalam batinku:

+ Eh... itu kan sama aja masih ada pamrih?
- Ha? pamrih gimana?
+ Ya seperti itu. Ada pengharapan bahwa bakal diganti. Mintanya berkali lipat pula...
- Aku kan gak minta apa-apa dari mereka yang aku sumbang.
+ Iya, tapi berharap kepada pihak ketiga...
- Maksudmu Tuhan? lho kan memang Dia yang menjanjikan begitu? itu sebagai ganjaran bagi mereka yang mau berderma. Nggak ada yang salah kan?
+ Memang, tapi jujur aja deh... Dengan tambahan motivasi dari janji bakal diganti lebih banyak itu, sebenernya kamu benar2 ingin membantu mereka secara ikhlas, atau kamu berharap mendapat penggantian rizqi dari Tuhan yang lebih banyak berlipat-lipat bagi dirimu sendiri?
- Tapi aku kan tidak merugikan siapapun, dan janji itu memang bermaksud agar orang lebih termotivasi untuk berderma.
+ Memang, tapi yang ada adalah kesan bahwa kamu sedang melakukan perdagangan dengan Tuhan, menghitung untung rugi. Berderma lebih banyak demi kelancaran rizqi di dunia. Mengapa bukan murni untuk menolong mereka yang kurang beruntung, dan sebagai tanda syukur atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya?
- Mestinya begitu ya? tapi tidak bolehkah aku berharap?
+ Sebaiknya jangan, karena jika harapan kamu itu tidak menjadi kenyataan, bisa2 kamu malah menuntut balik, mengungkit2 amal-amalmu demi agar harapanmu terkabul di dunia. Padahal janji itu bisa saja baru akan dibayar di alam lain.
- Jadi sebaiknya bagaimana?
+ Ikhlaskan semua hanya untuk mereka yang membutuhkan, jangan mengharap pengganti dari siapapun, bahkan Tuhan.
- Begitu ya...
+ Kalau belum bisa ikhlas, ya kurangilah jumlahnya sampai pada jumlah yang kamu benar2 tidak mengharapkannya kembali sama sekali. Lebih baik sedikit tapi bener2 ikhlas, daripada banyak tapi untuk cari muka, riya' dan mengharapkan ada kompensasi yang lebih besar.
- Aku masih harus banyak belajar untuk ikhlas...


Pembonceng

Ternyata memang tanpa disadari, banyak motivasi2 salah atau tidak jujur dalam perilaku2 sehari-hari yang membonceng dibelakang motivasi yang seharusnya. Di permukaan tampaknya seperti perilaku terpuji, tapi di balik itu hanya Tuhan yang tahu. Bahkan diri sendiripun kadang bisa terkelabui, jika tidak pandai2 berintrospeksi.

Sepintas kemudian terlintas potongan bait lagu dari masa kecil:










Hanya memberi, tak harap kembali
Bagai Sang Surya menyinari dunia