Saturday, January 08, 2005

Lagi ah... Petir : Best Quotes :)

Bukannya tergila-gila (mmm.... mungkin juga sih ;) ). Tapi masih ada keinginan untuk menulis sesuatu lagi tentang buku ini. Ada beberapa kalimat yang ingin aku abadikan, mungkin karena lucunya sehingga bisa bikin aku terkekeh-kekeh, mungkin karena filosofinya yang lumayan menggugah.

Bagi yang belum baca tapi ada rencana untuk baca dan tidak mau kehilangan kejutan2nya, mending nggak usah baca posting ini :)

Langsung aja:



-----

Masih bagus tidak jadi gila. Atau barangkali sudah? Karena katanya, orang gila tidak pernah ngaku gila.

-----

Weekend besok, Leon mau dateng ke Bandung. Aku udah kasih nomor telepon rumah, nanti dia hubungin kamu...
Leon siapa? Nggak kenal!
Napoleon!
Hah? Napoleon? tanyaku lebih heran.
...
Pokoknya Leon bakal telepon kamu, dan kamu wajib menemani dia jalan-jalan!
Tapi namanya bukan Napoleon Bonaparte, kan?
Hening sejenak di ujung sana. Firasatku langsung tidak enak. Watt... halo? pancingku curiga.
Ada nama belakangnya lagi kok! Nggak cuma dua itu aja! Napoleon Bonaparte Hutajulu.

-----

Sebuah ekspresi abu-abu yang mana engkau tidak bisa menebak apakah itu 'ya' atau 'tidak' atau 'begitulah' atau 'ada deeeh!'.

-----

Kenapa kamu mau belajar meditasi? Ia bertanya tenang.
...
Aku pun menjawab terbata: Karena... karena saya sedang mencari Tuhan.
...
Ibu Sati tersenyum kecil. Kenapa Tuhan harus dicari? tanyanya.
Duh! Bagian menyebalkan ini lagi?! protesku dalam hati, menyadari posisiku yang mati langkah. Namun, aku teringat prinsip mafia dan jawara seluruh dunia. Api dibalas api, mata dibayar mata, 'kenapa' dibalas 'kenapa'.
Kenapa--enggak? Aku membalas. Hati-hati.
Senyum Ibu Sati menunjukkan gigi. Saya suka jawaban kamu, ujarnya. Betul, kenapa tidak? Dan kalo kamu sudah ketemu, kamu mau ngomong apa?
Oke. Pertanyaan 'apa'. Seharusnya lebih mudah. Kuputuskan untuk memakai rumus yang sama. Biar aman.
Apa--kabar?

-----

Kenapa---kok, Ibu mau jadi pembimbing saya?
Supaya kamu mendengar, jawabnya lembut. Elektra, yang menjadi persoalan bukannya apa yang kita tanyakan, tapi bagaimana kita bisa mendengar jawaban.

-----

Betapa pegalnya tawa yang dipaksa ada.

-----

Itu sama dengan bertanya pada segelas air, Dik. Air bisa menjawab dirinya 'air sungai' atau 'air laut', tapi kalau ia memilih menjawab 'air' saja, itu juga tidak salah, kan.

-----

Betapa nama bisa sangat mengaburkan fakta.

-----

Aku tak bereaksi. Hanya bulu kudukku yang berdiri kompak. Apa-apaan nih, kenapa harus sebut 'mati' segala... jangan, dong. Masih harus balas e-mail.

-----

Bu... saya nyetrum orang lagi.

-----

...kamu memang...kelainan.
Kerongkonganku tercekat. Dikiranya mencerna semua kata-katanya tadi itu gampang, apa? Sekarang, ditambah lagi dengan keterangan kalau aku memang kelainan. Ini lebih buruk dari terinfeksi kuman dan kerasukan. Mutan! Tolooong...aku mutan!

-----

Kamu itu... kapasitor alami.

-----

Dan kalau sudah ditarik ke level atom, apa bedanya kita-kita ini? Kamu dengan pohon-pohon? Saya dengan batu-batu? Tidak ada. Kita ini satu dan sebangun.
...
Setelah kamu paham betul itu, sadar bahwa keterpisahan hanyalah ilusi, maka kamu juga bisa lepas dari eksklusivisme yang selama ini memisahkan manusia dengan alam. Kita tidak memiliki apa-apa, Elektra. Kita hanya peminjam yang berpikir bahwa kita ini pemilik. Lucunya, ketika kita bersikap eksklusif, kepemilikan kita sangat terbatas. Sementara kalau kita sadar semua ini cuma pinjaman, mendadak kita bisa mendapatkan apa saja.

-----

Cerukan sebesar danau juga kalau diisi air terus menerus bakal banjir. Untuk tetap penuh dan utuh, kamu justru harus bisa mengalirkan kelebihan kamu. Namanya juga orang diberi kelebihan, berarti ada yang 'lebih' kan? Sesuatu yang 'lebih' baru bermanfaat kalau dibagikan. Kalau tidak, ya cuma 'lebih' tok. Nggak ada artinya.

-----

Percaya bahwa di dunia ini tidak ada yang sia-sia. Membiarkan hidup dengan caranya sendiri menggiring kita menuju sebuah jawaban.

-----

Assalamualaikum!
Wa'alaikum salam!
Astagfirullah al-'azim...masya Allah!
Wasahlan marhaban ya Ramadhan!
Ngomong apaan sih kamu, Etra!

-----

bahwa akan tiba saatnya orang berhenti menilaimu dari wujud fisik, melainkan dari apa yang kau lakukan.

-----

Tak ada kiat baru, demikian Mpret bersabda, semua taktik dan siasat akan bermuara pada opsi tunggal manusia untuk bisa bertahan hidup dari mulai zaman manusia kera sampai zaman manusia bangsat: adaptasi.

-----

Bahwa, semua itu merupakan ketidaksengajaan yang tak bisa dijelaskan. Bahwa di tangan kirinya yang menggelepar Ni Asih menggenggam sejumput rambut kemaluannya. Bahwa aku telah melakukan hal yang tepat untuk tidak membiarkannya menyuapiku dengan... permisi, aku mau muntah.
...
Ditambah lagi kekhawatiran kalau-kalau beliau atau pengikut fanatiknya menyimpan dendam, lalu pada satu malam tiba-tiba aku terbangun dengan mulut penuh... lupakan.

-----