Friday, January 07, 2005

Memancing di Air Keruh

Sudah dua minggu berlalu dari kejadian dahsyat yang menimpa saudara-saudara kita di ujung barat laut Nusantara. Tapi rasa mengharu biru bagi kita yang hanya sekedar jadi penonton ini, belum juga bisa lenyap begitu saja dari dada. Karena penderitaan masih berlanjut. Luluh lantaknya seisi kota telah mematikan semua sendi kehidupan. Mereka harus menjalani hari-hari yang sulit. Tanpa rumah, tanpa harta, tanpa pekerjaan. Menggantungkan hidup kepada bantuan dari yang lebih beruntung.

Entah perlu waktu berapa lama lagi untuk mengembalikan semuanya seperti semula. Atau paling tidak berada pada kondisi dimana semuanya bisa bergulir kembali untuk mencukupi kebutuhan seluruh masyarakat. Ada cukup pangan, ada air bersih, ada listrik, ada transportasi, ada pekerjaan. Fuih, semuanya harus dibangun kembali, bahkan mungkin dari titik nol.

Sedihnya, di antara penderitaan yang seharusnya mengiris hati sesama ini, masih ada orang yang tega mencoba membuat kesengsaraan itu semakin kelam. Di tengah-tengah manusia yang masih trauma dengan kehancuran yang terjadi di depan mata kepalanya sendiri, ada yang sampai hati mempermainkan situasi. Berteriak-teriak ada tsunami susulan, menyebarkan isu adanya perkosaan, dan berbagai isu murahan yang lain. Orang-orang yang sedang sangat sensitif itu pun akan sangat mudah termakan bualan kosong. Kepedihan dan ketegangan yang belum sepenuhnya reda akan dengan mudah tersulut, untuk kembali waspada, kembali berjaga-jaga demi menyelamatkan kehidupan yang pernah hampir direnggut ganasnya alam.

Entah apa yang dipikirkan para pembuat isu itu. Mungkin hatinya sudah demikian bebal, sehingga tidak rela orang lain hidup dalam ketenangan. Apa yang dicari dari perbuatan itu? Mungkin di antara mereka memang ada yang mempunyai motivasi kriminal, seperti ingin menjarah rumah2 kosong. Atau bahkan mungkin saja itu adalah suatu tindakan terencana untuk suatu gerakan tertentu. Tapi bisa juga itu hanyalah berawal dari keisengan yang tidak pada tempatnya. Hanya untuk mencari sensasi dan ketenaran sesaat, agar bisa menjadi pusat perhatian karena membawa berita heboh.

Orang-orang seperti itu, percaya atau tidak, memang ada di sekitar kita. Mereka yang ingin menjadi orang penting yang diperhatikan semua orang, yang bisa mengendalikan orang banyak, tidak peduli meskipun harus dengan membawa bualan sampah. Yang penting orang lain bisa memandang terpana kepadanya, entah karena kagum, takut, bingung, heran, atau apalah. Serasa bisa menggenggam kehidupan orang lain.

Beberapa contoh kecil yang pernah aku alami tentang orang-orang seperti itu:

- Beberapa tahun yang lalu, ketika sedang berada dalam antrian tiket untuk pulang lebaran. Sudah sejak dari subuh bertahan menunggu dalam deretan manusia di depan loket yang belum juga dibuka. Ada seorang wanita yang menghampiri seorang ibu yang berada dalam antrian. Dengan suara yang cukup keras wanita itu berkata bahwa tiket sudah habis dari kemaren. Dia mengaku bahwa kemaren dia juga mengantri seharian tapi tidak berhasil mendapat tiket. Rasa cemas pun merayapi para pengantri yang mendengarnya. Tapi ketika akhirnya loket dibuka dan tiket dijual, wanita itu menghilang...

- Ketika membeli televisi pertamaku, saat sedang mencoba-coba, mengeset channel2 yang ada, seorang perempuan ikut mengamati dari dekat. Waktu aku coba berpindah-pindah channel, dia berkomentar "wah kok kalo pindah channel gambarnya goyang, jangan mau mas". Aku pandang perempuan itu dengan sudut mata yang dingin. Dia tersenyum dan pergi.

- Ketika sedang berada di depan kasir untuk membeli beberapa buah kaset, aku membuka-buka sampul salah satu kaset. Seorang ibu di belakangku bertanya kaset apa yang aku beli. Aku jawab dengan ramah berbasa-basi. Ibu itu mengambil kaset tanpa kotak yang aku pegang. Dengan meyakinkan ibu itu menjelaskan. "Dik, kalo beli kaset periksa dulu, jangan mau kalo gulungan pitanya nggak tertata rapi dan halus seperti ini. Kalo sudah nggak rapi dan halus, itu berarti sudah pernah diputar. Jangan mau, kita kan beli kaset baru bukan kaset bekas." Oh...

- Yang jauh lebih banyak lagi, yang menjadi tempat bualan provokatif semacam ini adalah internet. Tidak perlunya menampakkan wajah, cukup dengan id palsu, menjadikan internet tempat orang berbual tanpa perlu bertanggung jawab. Email berisi hoax, sampah dengan sumber yang direkayasa sendiri, bisa tampil cukup meyakinkan bagi banyak orang. Pertama kali kenal internet, aku kadang terpengaruh dengan beberapa omong kosong itu. Tapi pada akhirnya aku menyadari kalau internet cuma dunia maya dimana orang bisa berbuat apa pun tanpa perlu bertanggung jawab, karena tidak tampaknya identitas asli.

- Kejadian yang mungkin hampir mirip dengan keadaan di Aceh, adalah saat Jakarta dilanda kerusuhan tahun 1998. Isu adanya massa yang mendekat ke perumahan, membuat semua orang berjaga-jaga dengan memegang senjata. Aksi borong sembako, rush di beberapa bank nasabah menarik tabungannya, juga adalah akibat isu bohong. Sungguh membuat hidup jadi tidak tenang, terancam dan gelisah.

Mengapa ada orang yang sengaja berbuat seperti itu?
Harus diakui, sebagian besar orang akan merasa bangga kalo dia bisa menjadi pembawa berita besar yang banyak orang belum mengetahuinya. Sesaat dia akan merasa lebih unggul dari yang lainnya. Bangga menjadi orang penting yang diperhatikan. Sebenarnya tidak ada yang salah dari hal itu, asalkan berita yang dibawa adalah benar adanya. Tapi sebagian dari mereka tidak peduli dengan kebenaran. Yang penting bisa bikin heboh.

Tapi, jika itu dilakukan di tengah-tengah masyarakat Aceh yang masih dicekam trauma pasca tragedi, di saat air mata mereka belum kering menangisi hilangnya harta benda dan perginya sejumlah kerabat, sungguh itu adalah tindakan orang yang telah kehilangan hati dan nuraninya.