Friday, January 28, 2005

Aksi Bug**

Hari Rabu kemaren aku harus nemuin calon klien di daerah Tanjung Priuk. Dari rumah aku langsung menuju kesana, gak pake ke kantor dulu karena berlawanan arah. Udah bikin appointment pagi-pagi soalnya. Jalanan kesana lumayan lancar, ada macet dikit tapi masih jalan.

Sampai di pertigaan jalan Enggano, atau orang lebih lazim menyebut daerah ini sebagai Mambo, terlihat ada sedikit kerumunan manusia. Dengan style cool "gak tertarik tapi lirak-lirik" :p aku mencoba mengamati apa yang sedang terjadi. Ada tiga atau empat truk polisi atau sejenisnya. Ada satu peleton (satu peleton itu berapa sih? aku ngawur aja pake istilah :D) Polisi, ada juga dua peleton pasukan berseragam biru-biru tua entah pasukan apa. Peleton2 itu berbaris tidak rapi di tepi jalan, seperti anak SMU saat upacara belum dimulai. Di sisi jalan ada sedikit ruang kosong dimana sejumlah penduduk, kebanyakan wanita, sedang berdiri atau duduk2 berkumpul. Mata mereka tampaknya tertuju ke pasukan berseragam di depan mereka. Sementara pasukan berseragam itu juga tampaknya sedang mengawasi mereka. Jadi mereka nih ceritanya lagi liat-liatan... naksir ya? colek dikit ah... hehehe...

Udah, gitu aja.
Hehehe... nggak ding :p

Penggusuran

Di depan salah satu gang tempat para penduduk itu berkumpul, tampak satu spanduk besar bertuliskan "Warga Lorong W Tj.Priuk Bukan Pemukim Liar". Wah! mau ada demo to? baru itu yang bisa aku simpulkan. Kemudian dari suara2 di sekitar situ tertangkap ada yang menyebut kata "penggusuran". Oh... Tapi karena ada panggilan tugas, aku gak bisa menyelidiki lebih lanjut. Lagian so wot gitu loh, nggak ngaruh sama diriku... :)

Tugas pun kuprioritaskan dan kujalankan sesuai prosedur. Balik dari memenuhi panggilan tugas, aku lewat daerah itu lagi. Macet. Kembali aku dengar ada yang nyebut2 "gusuran". Oh... masih berlangsung? nonton ah... :D

Ternyata memang sedang dilaksanakan penggusuran oleh aparat terhadap pemukiman penduduk di sekitar situ. Satu Excavator mengayun-ayunkan sekop besi raksasanya ke rumah2 penduduk yang rata2 semi permanen dari kayu. Beberapa orang sibuk menghancurkan dinding rumah yang sudah ditembok dengan martil. Orang2 dihalau menjauh oleh sepasukan polisi bertameng "PHH". Mereka yang tampaknya pemukim di daerah itu, hanya bisa teriak2 dari jauh sambil melempar batu. Tidak bisa berbuat apa2 saat rumahnya digempur mahluk besi...

Dari berita koran keesokan harinya, baru aku mendapat keterangan lebih jelas tentang apa yang terjadi. Rupanya pemukim itu memang menempati tanah negara, lebih tepatnya berada di atas rel kereta yang sedang tidak difungsikan. Kabarnya sudah sejak tahun 80-an mereka bermukim disitu. Dan ketika rel kereta itu akan difungsikan lagi, pemukim yang tidak punya bukti kepemilikan atas tanah yang didiaminya itu pun harus digusur tanpa kompromi.

Dari berita koran pula aku tahu, kalo dalam kejadian itu ada seorang ibu yang demi menghentikan proses penggusuran itu nekad melakukan aksi bug**... ups!!... kok aku ndak liat ya?... hehehe... hush!!

Nekad Amat??

Kalo dipikir-pikir, kok nekad amat ya?. Memangnya dengan melakukan aksi seperti itu orang akan bersimpati? terus para penggusur itu bakal kasihan dan menghentikan pekerjaannya? Yang ada malah mereka tertawa2 mendapat tontonan gratis...

Lha wong aksi mogok makan aja, seringkali tidak membuahkan hasil apa-apa. Padahal menurutku mogok makan itu lebih ngawur, karena menyiksa diri sendiri. Mungkin aksi mogok makan yang diumumkan secara luas itu ingin menunjukkan bahwa ada orang yang rela menyiksa diri demi memperjuangkan aspirasinya. Tapi ya ternyata kebanyakan orang yang diprotes egp aja... nanti kalo udah lemes terus pingsan kan bakal nyerah juga.

Kalo aksi bug**? Ingin menunjukkan bahwa ada yang rela mempermalukan diri sendiri demi aspirasinya? Sejauh mana aksi mempermalukan diri itu mampu mendapatkan simpati? Orang-orang yang tampak lemah tak bertenaga tapi tetap tidak mau makan demi aspirasinya mungkin akan lebih mampu menarik simpati. Lha kalo orang bug**? yang terlintas di kepala orang yang melihatnya pasti bukan simpati, tapi jijik (sambil tetep ngintip). Dan orang yang melakukan aksi itu aku pikir sulit mendapat gelar sebagai pejuang aspirasi, yang ada malah anggapan sebagai orang yang terganggu kejiwaannya... Lagipula dia melakukannya di depan para pion yang tidak punya hak membuat keputusan, coba aja melakukannya di depan para penguasa... mungkin bakal ditangkap karena dianggap menghina :p

Minta Perhatian

Ditilik dari orang yang melakukannya, kira2 apa yang bisa membuat dia begitu ngawur? Mungkin saja karena sudah sangat putus asa, tidak berdaya apa2 lagi untuk menghentikan penggusuran yang terjadi di depan matanya. Teriak-teriak sampai suara serak, dicuekin. Nangis2 histeris, malah pada tutup telinga. Ngelemparin batu, mereka udah siap tameng dan helm. Gimana caranya menarik perhatian mereka? harus ada jalan untuk membuat mereka menengok ke arahnya, dan kemudian mau mendengarkan aspirasinya. Ya udah, diambillah cara itu. Mestinya sih berhasil membuat mereka menengok ke arahnya. Tapi apakah mereka yang menengok itu akan memperhatikan teriakannya ataukah malah memperhatikan yang lain...... kira-kira aja ndiri :p

Apa mungkin dia terinspirasi kisah dari masa Nabi Ibrahim a.s? Guru agamaku saat SD pernah bercerita tentang saat Nabi Ibrahim akan dilemparkan ke dalam api atas perintah Raja Namrudz. Tentara Raja Namrudz tidak sanggup melemparkan beliau ke dalam api, sekuat apa pun mereka mendorongnya. Kabarnya ada malaikat yang memegangi Nabi Ibrahim agar tidak jatuh ke dalam api. Mereka yang mengetahui tentang itu, memberi saran bagaimana agar malaikat itu pergi. Seorang wanita tanpa busana pun ditampilkan. Karena kabarnya malaikat tidak akan mau melihat aurat manusia, Nabi Ibrahim pun dengan mudah didorong ke dalam api. Begitu cerita dari guruku.... Wallahu 'alam.

Lha tapi, apa para eksekutor itu adalah malaikat yang akan memalingkan muka dan pergi menjauh ketika ada aurat yang diumbar? Yang ada malah... wow.. wah.. ha.. ih.. hihi.. huek..

Demokrasi "Pokoknya"

Yang jelas sih, para pemukim itu memang tidak punya kekuatan apa-apa. Sekalipun mereka pasang spanduk besar bahwa mereka bukan pemukim liar, tetap mereka tidak bisa membuktikan apa-apa. Spanduk bukanlah tanda yang diakui sebagai bukti resmi yang melegalkan mereka sebagai penghuni resmi. Telah mendiami tempat itu selama belasan tahun tidak menjadikan tempat itu milik kita, kalau memang bukan milik kita. Apa boleh buat, negara kita terlanjur berdasarkan hukum, bukan berdasarkan simpati.

Susah kalau semua orang berusaha memaksakan kehendaknya gitu. Demokrasi kan bukan berarti memaksakan kehendak. Itu sih "demokrasi pokoknya"... :(