Tuesday, January 25, 2005

Empati Atau Eksploitasi?

Judul dan topik ini, terus terang aja, sebenernya nyontek dari salah satu majalah. Aku cuma sekilas melihat judul ini di cover majalah itu. Kalau saja itu bukan majalah wanita, tentu aku akan membelinya atau paling nggak buka-buka bentar untuk membaca artikel itu sambil berdiri di kios majalah (hehehe... nggak mau rugi :p). Apa daya, mind set ku masih sangat dipengaruhi oleh nilai2 tradisional yang jelas2 memisahkan antara pria dan wanita, jadi nggak berani nekad buka2 majalah itu... :)

Daripada penasaran dan jari2 ini gatal pengen ngetik, ya udah deh, aku coba aja ngebahas topik ini menurut pandanganku sendiri. Tapi kalo ada di antara anda yang kurang kerjaan baca2 blogku, dan punya majalah itu tolong kasi tahu apa yang dibilang disitu tentang topik ini ya... :)

Reality Show

Ini tentang acara reality show di televisi. Kayaknya sih terutama tentang yang menampilkan masyarakat bawah yang kurang mampu. Kepada acara2 semacam itulah mungkin pertanyaan ini disampaikan. Empati ataukah eksploitasi?

Sepanjang yang aku tahu, yang aku pernah nonton, ada tiga acara reality show yang menjadikan orang-orang kurang mampu sebagai tokoh utama di dalam acaranya.
  • "Uang Kaget" yang memberikan uang tunai 10 juta rupiah kepada seorang yang kurang mampu dan harus dihabiskan dengan cara membelanjakannya hanya dalam waktu 30 menit.
  • "Toloong!!" yang mencoba mengulik seberapa besar jiwa tolong-menolong tanpa pamrih masih tertanam di masyarakat kota. Meski sebenarnya bersifat umum ke seluruh lapisan masyarakat, tapi ternyata lebih banyak menampilkan masyarakat menengah ke bawah.
  • "Bedah Rumah", memberikan hadiah kepada seorang yang kurang mampu berupa perbaikan dan perombakan rumah yang didiaminya, yang akan dilaksanakan hanya dalam waktu 12 jam.

Empati

Dalam acara-acara itu pemirsa bisa ikut merasakan atau paling tidak menyaksikan ekspresi-ekspresi spontan dari mereka yang menjadi obyek acara. Ekspresi yang sesungguhnya, asli, natural, tidak dibuat-buat.

Bagaimana mereka terkejut, gembira, bahkan menangis bahagia ketika tiba-tiba mendapat uang 10 juta untuk dibelanjakan, atau ketika ada sekelompok orang yang tiba-tiba berniat memperbaiki rumah mereka. Bagaimana mereka seperti orang panik, lari sana sini, dari toko satu ke yang lainnya membeli berbagai macam barang hanya dalam 30 menit. Kemudian bagaimana mereka akhirnya bersyukur, berterimakasih karena telah mendapat rejeki dadakan untuk sedikit memperbaiki hidup mereka. Juga bagaimana kaget dan gembiranya seseorang ketika niat tulus mereka untuk menolong orang lain ternyata berbuah rizki yang dalam mata mereka tentunya cukup besar.

Semua itu adalah ekspresi yang bisa menimbulkan empati bagi mereka yang menonton. Ketika kehidupan sederhana mereka disorot, kita ikut merasa trenyuh. Ketika akhirnya mereka tampak sangat bahagia, kita ikut tersenyum dan merasa bahagia. Meski kita tidak secara langsung merasakan kehidupan mereka, dan kita juga bukanlah orang yang memberikan kebahagiaan kepada mereka, kita bisa ikut merasa lega dan senang, serasa makan sup ayam hangat di pagi hari yang dingin :)

Mungkin memang itulah yang kita cari dan yang menjadi daya tarik dari acara reality show. Tampilan dan ekspresi jujur dan spontan, tanpa kosmetik.

Eksploitasi

Memang, kadang ada rasa yang sedikit mengganggu. Kok kesannya mereka itu dimanfaatkan. Program ini kesannya memanfaatkan orang kurang beruntung untuk menjadi bintang di dalam acaranya. Memanfaatkan ekspresi2 jujur mereka untuk menjadi daya tarik bagi penonton. Dan jika menjanjikan mampu menyedot perhatian penonton, pada akhirnya tentu akan menjadi daya tarik bagi mereka yang mau membeli tayangan ini, baik dari stasiun televisi atau dari para pengiklan.

Pantaskah mengeksploitasi kejujuran dan keluguan mereka demi meraih keuntungan bagi para pebisnis hiburan. Sementara mereka sendiri tidak paham bahwa mereka hanya menjadi obyek, yang mereka tahu mereka mendapat rejeki tak terduga. Mereka juga tidak sadar bahwa rejeki yang mereka terima itu, sebenarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan biaya proses produksi dan biaya penayangan di stasiun tv.

Tapi kalo dipikir-pikir, bukankah semua acara tv selalu memiliki unsur eksploitasi? Bukankah memang acara tv itu mengeksploitasi sesuatu untuk bisa menarik minat penonton? Program berita mengeksploitasi peristiwa2 terkini, program musik mengeksploitasi kemampuan para musisi, program sinetron atau film mengeksploitasi kemampuan para artis, infotainment mengeksploitasi kehidupan selebriti, dsb dsb. Semuanya dieksploitasi agar bisa ditampilkan secara maksimal demi kepuasan penonton.

Kalo diliat dari sisi bisnis hiburan sih, kayaknya sah sah aja kalo ada ide untuk mengeksploitasi kejujuran dan ekspresi spontan dari orang awam. Memang itu adalah suatu obyek baru yang sangat berbeda daripada penampilan para artis yang penuh kamuflase :) Namanya orang bisnis kan harus kreatif menggali bermacam ide yang mungkin untuk diwujudkan.

Dari sisi etika... (hmm... pantes nggak ya aku jadi pengamat etika... hehehe). Nggak ada yang dirugikan juga kan? Yang disorot dapat rejeki, yang nyorot juga dapat pemasukan. Toh eksploitasinya juga nggak berlebihan, masih dalam angle2 yang wajar, nggak sampe disorot close up, zoom-in zoom-out, sambil mempertahankan ekspresi kaget selama beberapa menit ala sinetron Multivision (hueek..!! :D)

Ada sih yang dirugikan, udah disorot tapi nggak dapet apa-apa. Itu, mereka yang nggak mau menolong para pelaku di acara "Toloong!!". Udah nggak dapet apa-apa, dapet malu lagi, karena disiarkan secara nasional sebagai orang yang kurang rasa sosialnya kepada sekitar... :P Makanya kalo ada yang minta tolong di jalan, bantu aja gih, sapa tahu ada hidden camera... hehehe

Eksploitasi Empati

Jadi, empati atau eksploitasi? menurutku sih dua-duanya. Di awali dari rasa empati terhadap masyarakat kurang mampu, kemudian di eksploitasi, dan akhirnya menimbulkan empati bagi para penonton. Penonton bisa belajar banyak dari sini, belajar lebih bersyukur atas apa yang kita punya, belajar lebih peduli terhadap sesama, belajar lebih waspada kalo lagi nolong orang cari2 kamera (hihi.. hush!!.. baca lagi tuh posting "Bagai Sang Surya"...:)).

Jadi, ya berarti eksploitasi empati :)
Meski mungkin masih bakal dipertanyakan, apa benar berawal dari empati?
Dan bagi orang2 yang juga kurang mampu, apakah mereka juga bisa berempati? apa nggak mereka jadi ngiri dan berharap kebagian durian runtuh?
Hmmm... nggak bisa jawab, tergantung orangnya...

Oh iya, ada yang sedikit mengganggu. Itu di "Uang Kaget" ngapain sih Helmy Yahya mejeng jadi Mr.Easy Money, kesannya dia pengen dianggap sebagai pahlawan yang bagi2 uang. Orang2 yang kebagian rejeki itu pasti di akhir acara akan mencium tangan si Helmy dan berbagai ekspresi trima kasih lainnya. Kesannya nggak ikhlas sampe perlu menampilkan diri...:p