Monday, April 18, 2005
KDRT
Bukan, bukan Kris Dayanti jadi Ketua RT :P Tapi ini Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Lagi hot banget nih topik ini :D Perundangannya baru beberapa bulan yang lalu disahkan, Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan sekarang kayaknya masih gencar disosialisasikan. Jadi sekarang kalo ada yang mau menuntut ke pengadilan karena merasa mengalami kekerasan dalam rumah tangga sudah mempunyai suatu dasar hukum tertulis yang akan melindungi hak2nya. Dan yang paling bikin hot pada hari2 belakangan ini ya apalagi kalo bukan kasusnya presenter kondang (aduh... bahasanya tipikal infotainment banget seh? :P) Dewi Hughes...
Komentarku tentang kasusnya Hughes, nggak nyangka aja kalo Hughes yang selama ini setiap kali membawakan acara selalu terlihat ceria, teduh, dan menyenangkan itu ternyata dibalik kehidupan perkawinannya tersimpan luka bernanah. Kalo semua itu benar adanya, aku ikut prihatin banget.
Kenapa Sampe Perlu Perundangan Tersendiri?
Sempet juga kepikir seperti itu. Kenapa harus ada perundangan tersendiri tentang kekerasan dalam rumah tangga. Apa perundangan tentang perbuatan kekerasan dalam KUHP yang ada nggak mampu mengakomodasi masalah itu? Kan yang namanya perbuatan kekerasan itu ya sama aja, diluar keluarga atau di dalam keluarga. Kekerasan ya kekerasan, apalagi kalo udah sampe masuk dalam level tindakan pidana.
Tapi rupanya pada kenyataannya, katanya sih, hukum yang ada belum bisa memberi perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga. Faktor budaya dan ikatan keluarga menjadi penghalang bagi mereka untuk menuntut keadilan.
Kekerasan dalam keluarga sering dianggap sebagai masalah internal yang orang lain gak perlu ikut campur. Dan kemudian dianggap tidak pada tempatnya kalo sampai diumbar disebar-luaskan kepada orang banyak. Itu semua adalah urusan pribadi keluarga, itu adalah bagian dari usaha mendidik dan mendisiplinkan anggota keluarga, begitu katanya. Yang merasa superior merasa sah2 saja melakukan hal itu karena dia adalah penguasa di keluarga tersebut. Sedangkan yang menjadi korban, kebanyakan pasrah tidak mampu berbuat apa-apa, karena sadar bahwa yang superior itu adalah tempat dia menggantungkan hidupnya :(
Lihat saja, wanita2 yang mengalami kekerasan dari suaminya, kebanyakan pada awalnya pasrah. Hingga pada batas kesabarannya, yang bisa dia lakukan adalah minta cerai. Cerai dan melupakan masalah kekerasan yang pernah dialaminya. Tidak banyak yang mau memperkarakan kekerasan itu sebagai tindak pidana.
Wanita dan Anak2
Diundangkannya RUU KDRT ini disambut sangat antusias oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan. Kementrian ini juga yang paling gencar melakukan sosialisasi. Emangnya yang jadi korban kekerasan dalam RT itu cuma wanita? Faktanya memang sebagian besar korban adalah wanita, dan anak-anak. Karena anak2 sampai saat ini masih lazim dianggap sebagai urusan wanita, maka ya pantas untuk dijadikan satu paket dalam kepentingan yang perlu diperjuangkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan tersebut.
Masak sih, hare gene wanita masih dianggap manusia lemah yang bisa ditindas dengan semena-mena? Dimana-mana kan sudah banyak dipromosikan tentang emansipasi wanita. Sudah banyak juga dipublikasikan tentang wanita2 yang berhasil mengungguli pria dalam pencapaian karirnya. Masak masih ada wanita yang mau ditindas, hanya karena dia wanita?
Promosi dan publikasi emansipasi wanita memang boleh gencar, tapi apa daya, merubah budaya itu tidak bisa hanya melalui slogan, artikel, iklan atau seminar. Di kalangan berpendidikan mungkin mudah saja untuk menyebarkan kesadaran akan hal ini, karena mereka mampu menggunakan rasionya dalam mengambil keputusan. Tapi di kalangan dengan wawasan yang terbatas, seringkali mereka terkungkung dalam keterbatasannya. Mereka tidak tahu bahwa mereka punya hak untuk diperlakukan secara manusiawi. Kalaupun tahu, mereka tidak berani mendobrak apa yang telah menjadi kebiasaan, tidak punya kemampuan untuk berargumen, tidak punya kekuatan untuk melawan.
Superioritas
Kekerasan yang terjadi itu kayaknya sebagian besar merupakan tindakan sewenang-wenang dari pihak yang merasa dirinya superior terhadap orang yang dia anggap berada di level lebih rendah. Superioritas majikan terhadap pembantu rumah tangganya. Superioritas suami terhadap istri. Superioritas orang tua terhadap anak. Superioritas ibu tiri terhadap anak tiri.... eh... nggak ding, itu di sinetron :P
Superioritas yang diwujudkan dalam bentuk kekerasan, menurutku sebenarnya adalah suatu cara untuk menutupi kelemahan dan kekalahan dalam kehidupan seseorang. Bisa jadi sebagai pelampiasan kekalahan di dunia luar, karena tidak mampu menjadi yang superior di dunia luar. Bisa jadi cara untuk menutupi ketidakmampuan berkomunikasi dan bersosialisasi dengan baik dalam rumah tangganya. Atau menutupi ketidakmampuannya menjadi pemimpin yang layak menjadi panutan dan teladan. Atau lagi, memang orangnya sakit jiwa :P
Pada dasarnya manusia memang perlu pengakuan akan keberadaannya. Tapi sebagian manusia kebablasan dalam mengartikan naluri itu. Mereka mencari pengakuan bahwa dia lebih dari yang lain. Ketika mendapati dirinya tidak mempunyai kelebihan yang mampu dibanggakan, mereka melakukan pemaksaan untuk mendapat pengakuan itu dengan cara merendahkan orang lain. Memukul, menghina, menganiaya bisa menjadi cara untuk merendahkan orang lain, sehingga orang yang melakukannya akan merasa terangkat posisinya karena terbukti dia lebih kuat. Meski sebenarnya derajat dia malah jatuh menjadi mahluk barbar yang tidak berbudaya.
Salah Kaum Pria?
Apa boleh buat, harus diakui bahwa kebanyakan pelaku KDRT adalah kaum pria :( Apa boleh buat juga, kaum pria memang ditakdirkan lebih kuat daripada wanita, demi menjalankan tugas alamiahnya sebagai pelindung keluarga.
Sejak kecil seorang anak laki2 dituntut oleh lingkungan menjadi anak yang kuat secara fisik dan mental. Pergaulan di kalangan anak laki2 juga sarat dengan persaingan fisik. Setiap anak laki2 berusaha menjadi superior terhadap yang lain. Yah, dari sinilah bibit2 kekerasan itu bisa muncul.
Tapi tentu saja tidak bisa dijadikan alasan untuk menganggap wajar kekerasan yang dilakukan kaum laki2. Sebagai kaum beradab yang mempunyai etika dan budaya, sudah seharusnya kekerasan bukanlah pilihan untuk memaksakan kehendak. Penggunaan kekerasan malah menunjukkan kalo dia telah gagal menjadi manusia yang beradab dan berbudaya. Dia tidak punya kemampuan lain untuk menunjukkan keberadaannya selain dengan cara kaum barbar. Lebih tidak punya rasa kemanusiaan lagi jika itu semua dilakukan terhadap keluarganya sendiri.
Tentu saja tidak bisa digeneralisir bahwa semua pria suka kebablasan dalam menerapkan ke-superioritas-annya... ;)
Demi Kebahagiaan Bersama
Sudah seharusnya memang masing2 pihak menempatkan diri sesuai dengan posisinya. Kaum pria dengan kelebihan fisiknya menjadi pelindung, bukannya menjadi penguasa. Orang tua menjadi pendidik, bukannya pendikte. Majikan menjadi peminta bantuan, bukan pemerintah.
Setiap orang mestinya juga sadar bahwa dia adalah mahluk sosial yang membutuhkan keberadaan orang lain, sehingga dia bisa memahami bagaimana dia seharusnya memperlakukan orang lain. Kalau dia masih butuh orang lain, ya perlakukan setiap orang dengan sepantasnya.
[ps: Kalo kekerasan di dunia virtual gimana ya? perlu ada undang2 tersendiri nggak ya :P ]
<< Home