Wednesday, January 02, 2008

Pangeran Diponegoro, Menggagas Ratu Adil

Novel Pangeran Diponegoro, Remy Silado
"Novel Pangeran Diponegoro" dengan sub judul "Menggagas Ratu Adil" ini adalah buah tangan penulis kawakan Remy Silado. Dari sekian banyak karya Remy Silado yang telah diterbitkan, terus terang, ini adalah buku pertama yang saya baca sejak saya mulai menyukai kembali membaca fiksi beberapa tahun yang lalu. Diterbitkan oleh penerbit yang berbasis di kota Solo, penerbit Tiga Serangkai. Terbit bulan November 2007, dalam 340 halaman.

Tampaknya novel ini akan ditulis dalam beberapa seri, meskipun sama sekali tidak ada disebutkan demikian dalam buku ini. Tetapi melihat ending kisah di buku ini yang sama sekali belum klimaks, dan masih menggantung di awang-awang, lalu juga melihat adanya subjudul menyertai judul utama buku ini, sudah semestinya akan ada buku berikutnya dengan subjudul lain yang akan melanjutkan kisah dalam buku ini.

Masa Muda Ontowiryo

Novel ini memang tentang kisah hidup Pangeran Diponegoro. Sejak beliau masih kanak-kanak dan masih berjuluk Ontowiryo. Ontowiryo sejak kecil tidak lagi diasuh oleh kedua orang tuanya. Ayahnya adalah Raden Mas Suroyo yang kelak memangku jabatan sebagai Sultan Hamengkubuwono III, sedangkan ibunya adalah RA Mangkarawati garwa selir dari RM Suroyo. Atas permintaan Sultan Hamengkubuwono I, Ontowiryo sejak bayi diasuh oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng yang permaisuri Hamengkubuwono I. Itu karena Sultan melihat suatu keistimewaan dari si bayi, dan meminta istrinya untuk mengasuh dan mendidiknya secara langsung agar menjadi pemimpin di masa depan.

Ratu Ageng tidak mengasuh Ontowiryo di Kraton Mataram, tapi ia membangun puri sendiri di Tegalrejo dan membesarkan Ontowiryo disana. Selain diasuh sendiri oleh Ratu Ageng, Ontowiryo juga dididik berbagai macam ilmu terutama ilmu agama Islam di Perdikan Mlangi. Disana Ontowiryo adalah murid paling cemerlang dan juga disegani teman2nya. Untuk urusan kemampuan fisik dan beladiri ada Pangeran Bei dan Pangeran Mangkubumi yang rutin ke Tegalrejo untuk melatih Ontowiryo.

Sejak kecil Ontowiryo telah diberi petuah oleh Ratu Ageng tentang kekejian bangsa Belanda terhadap rakyat Jawa, sehingga Ontowiryo telah memendam kebencian kepada Belanda yang telah menginjak-injak bangsanya.

Berangsur dewasa, Ontowiryo ternyata lebih mendalami dunia spiritual. Bukannya melatih kemampuan fisik atau belajar ilmu kepemimpinan, ia malah sering menyepi bertapa di Gunung Kidul. Tetapi ia telah memiliki integritas diri yang kuat. Ketika mengetahui seorang warga Tegalrejo dibunuh Belanda karena tidak mau membayar pajak, dan mayatnya dibiarkan tergeletak di sawah selama tiga hari, ia nekat menguburkan mayat itu meskipun Belanda melarangnya. Dan hal ini yang menjadi pemicu Belanda menganggap Diponegoro sebagai pemberontak.

Konflik cerita kemudian lebih terfokus ke Kraton Mataram. Pengkhianatan Danurejo II, yang juga menantu Sultan Hamengkubuwono II, dengan menjual informasi kepada Belanda yang akhirnya harus dibayar dengan hukuman yang setimpal. Keputusan Sultan mengeksekusi Patih Danurejo yang dianggap sebagai perlawanan terhadap Belanda ternyata ada konsekuensinya. Gubernur Jenderal Belanda yang baru, Daendels, ketika datang ke Yogyakarta membuat keputusan mengejutkan dengan memakzulkan Sultan Hamengkubuwono II dari tahtanya dan mengangkat Raden Mas Suroyo sebagai Sultan Hamengkubuwono III.

Ontowiryo, meskipun anak dari garwa selir, adalah salah satu anak kandung Sultan yang diharapkan bisa mendukung bahkan mungkin kelak meneruskan kekuasaan ayahnya. Setelah ayahnya menjadi Sultan, Ontowiryo pun berhak menyandang gelar Pangeran. Nama Diponegoro dipilih oleh Ontowiryo. Namun ketika ditawari untuk menjadi Adipati di salah satu wilayah kekuasaan Mataram, Ontowiryo menolak. Ia lebih memilih kelak menjadi 'Khalifatullah Sayyidin Panatagama', pemimpin agama. Itupun nanti pada usianya yang ke-40.

Kepemimpinan di Kerajaan Mataram semakin penuh intrik ketika akhirnya Daendels ditarik ke Perancis oleh Napoleon. Dan lebih rumit lagi ketika Belanda kalah dari Inggris sehingga tanah Jawa dikuasai oleh Inggris dengan pemimpinnya Thomas Stamford Raffles.

Didongengkan dengan Menarik

Pertama kali melihat judul buku ini, ada yang terasa sedikit aneh, karena judul besarnya adalah "Novel Pangeran Diponegoro". Yup, ada kata "Novel" di judul buku ini. Jadi, kalau boleh ngebahas terlalu jauh nih, kesannya buku ini obyek utamanya adalah sebuah novel, bukan Pangeran Diponegoro-nya sendiri yang jadi obyek utama.

Remy Silado menuliskan novel fiksi sejarah ini dengan gaya nya sendiri. Aku memang belum pernah membaca novel2 karya Remy, jadi sebenarnya belum tahu bagaimana gaya bercerita Remy. Tapi novel ini punya cara bercerita yang berbeda dari novel2 yang lain. Ia bercerita seolah sedang mendongeng. Mengalir lancar dan enak diikuti. Pada bagian tertentu ia bercerita tentang sejarah, pada bagian lain ia merekayasa adegan dari tokoh2 sejarah menjadi sebuah dialog yang penuh hikmah. Kadang juga ia membikin adegan yang semata-mata untuk gurauan sebagai selingan.

Jadi membaca novel ini serasa seperti sedang didongengin. Mendapat cerita sejarah, sekaligus mendapat hikmah dan hiburan. Alur ceritanya maju mundur, kadang serius kadang ringan, terserah yang mendongeng. Remy di novel ini juga suka membocorkan cerita dari masa depan. Ketika bercerita tentang seorang tokoh baru, tiba-tiba ia menambahkan bahwa tokoh tersebut 'kelak akan begini begini'. Pembaca yang tidak suka diberi spoiler, mungkin akan sedikit jengkel :D

Warna warni Karakter dan Bangsa

Sebagai novel fiksi sejarah, novel ini cukup lengkap menyajikan data sejarah dari keraton Mataram semasa kehidupan Diponegoro. Dan Remy tampaknya tidak berani sembarangan menyajikan data. Bahkan ketika menggambarkan busana yang dikenakan Ontowiryo saat menghadiri undangan ke kraton, Remy tidak mengarangnya sendiri tetapi mengambil dari lukisan Pangeran Diponegoro muda.


Tokoh-tokoh dalam novel ini berhasil diciptakan dengan karakter khasnya masing-masing. Danurejo dan Van Rinjst yang penjilat tampil bermuka banyak dan sangat memuakkan. Daendels, Wiese, hingga Raffles sebagai pemimpin kaum kolonial muncul dengan lagaknya yang arogan. Ada juga Ong Kok Tian, pedagang cina yang menjadi langganan Ontowiryo ditampilkan dengan karakter yang khas pedagang berdarah Cina.

Kemampuan penulis dalam menguasai banyak bahasa memberi warna warni di dalam novel ini sehingga setiap dialog dari bangsa yang berbeda akan terasa kental sekali perbedaan suasananya. Dari bahasa Toulour (Tondano), Jawa ngoko, Jawa halus, hingga bahasa Belanda, Inggris dan Perancis. Konsekuensinya tentu saja ada banyak catatan kaki untuk menterjemahkan setiap kalimat di luar bahasa Indonesia. Sayangnya pada beberapa bagian, terutama pada adegan berbahasa Jawa, penulis sering lupa memberikan terjemahan. Pembaca yang tidak mengerti bahasa Jawa akan menemukan beberapa ganjalan untuk memahaminya.

Ditambah lagi disana sini penulis sering memakai kosakata bahasa Indonesia yang belum lazim dipakai.

Terpenggal di Tengah Jalan

Satu hal lain yang sangat mungkin akan mengecewakan pembaca adalah novel ini hingga halaman terakhirnya ternyata belum sampai pada akhir cerita. Perang Diponegoro sama sekali belum tersentuh karena akhir cerita baru berada pada tahun 1811. Rentetan cerita terasa dipenggal begitu saja di tengah jalan. Terlebih lagi adegan penting yang menjadi puncak cerita saat Raffles menemui Sultan HB II ternyata disajikan terlalu datar minim dramatisasi.

Mungkin itulah makna dari subjudul novel ini, bahwa novel ini mengisahkan hanya pada masa satu periode kehidupan Pangeran Diponegoro yang memicu Diponegoro untuk membulatkan tekad melawan kesewenang-wenangan kaum Imperialis. "Menggagas Ratu Adil"

Sudah semestinya novel ini akan ada kelanjutannya. Remy telah banyak meninggalkan potongan cerita yang ia janjikan akan dilanjutkan. Jika tidak ada kelanjutannya maka novel ini akan menjadi sangat mubazir. Namun sayang penulis dan penerbit sama sekali tidak memberikan tanda-tanda akan ada seri berikutnya dari novel ini...