Monday, October 22, 2007

168 Jam dalam Sandera

168 Jam dalam SanderaPaling tidak masih ada sebersit ingatan di setiap orang Indonesia yang rajin mengikuti berita tentang kejadian di awal tahun 2005 itu. Tentang dua orang wartawan Indonesia yang disandera oleh kelompok mujahidin di Irak. Kru dari Metro TV, Meutya Hafid dan Budiyono, secara mengejutkan muncul di saluran berita international sedang berada di bawah todongan senapan kelompok mujahidin Irak. Peristiwa yang sempat membuat seluruh warga Indonesia tertegun mengingat Indonesia sama sekali tidak terlibat dalam konflik di Irak.

Sudah tentu peristiwa tersebut sangat layak bahkan malah harus dituliskan dalam sebuah buku yang menceritakan dengan detail setiap kejadiannya untuk disebarkan kepada khalayak ramai. Mereka yang pada waktu itu ikut terkejut, berdebar-debar, dan juga berdoa dalam mengikuti setiap update berita tentang kejadian ini.

Meutya Hafid telah menyempatkan diri untuk menuliskan pengalaman pahitnya itu dalam sebuah buku berjudul "168 Jam dalam Sandera", yang diterbitkan oleh Hikmah, September 2007, 280 halaman.

168 Jam Tanpa Harapan

Sebuah kehormatan besar diperoleh oleh Meutya Hafid untuk buku yang ditulisnya ini. Kata pengantar dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Pada peristiwa penyanderaan itu sendiri Presiden SBY memang terlibat secara langsung, karena beliau dengan sigap segera memberi pernyataan melalui televisi yang menghimbau para penyandera untuk melepaskan kedua wartawan tersebut. Sehingga tidak terlalu berlebihan jika Presiden SBY berkenan memberikan kata pengantar untuk buku ini.

Mengawali kisahnya Meutya tanpa basa basi langsung menyeret pembaca pada momen saat tentara Mujahidin mencegat mobil yang ditumpanginya di sebuah pompa bensin di daerah Ramadi, Irak. Meutya sebagai seorang jurnalis tampaknya tahu betul bagaimana menghanyutkan dan memancing emosi pembaca, dengan langsung berada di puncak peristiwa sedari awal.

Bersama Budiyono dan Ibrahim, sopir mereka yang berasal dari Yordania, mereka bertiga dibawa oleh ketiga penculik dalam keadaan mata tertutup ke sebuah gua perlindungan di tengah gurun tak bertepi. Meutya tak pernah membayangkan bahwa setelah beberapa kali menjadi orang yang memberitakan peristiwa penyanderaan, kini akhirnya dia sendiri yang menjadi sandera.

Berbagai pikiran buruk berkelebat dalam benak Meutya. Dalam keadaan tidak bisa menghubungi siapapun di suatu tempat yang asing dan sangat jauh dari orang-orang tercinta, terlebih lagi berada di bawah todongan senjata, siapa yang bisa berpikir tenang? Jarak dari kematian hanyalah sebuah tarikan pada picu senjata yang dibawa oleh orang2 berwajah sangar di sekitarnya. Dan sebagai satu-satunya wanita disekeliling laki-laki penyandera, ketakutan itu diperburuk lagi oleh sebuah kemungkinan lain yang tak kalah mengerikan …

Namun beruntunglah Meutya, karena para penyandera memperlakukannya dengan baik dan terhormat. Nyaris tidak ada kekerasan fisik. Makanan dan minuman selalu tersedia meskipun sederhana. Satu dua hari dalam penyanderaan, Meutya telah bisa mengobrol tanpa ketegangan dengan para penyanderanya. Hanya satu hal yang direnggut dari mereka, kebebasan dan harapan.

Cerita selama dalam penyanderaan diselingi dengan flashback ke beberapa masa di kehidupan Meutya. Ke masa kecilnya, ke saat remaja saat Ayahnya menantang Meutya untuk bersekolah di Singapore, ke saat detik2 terakhir Ayahnya, hingga ke saat Meutya menerima tugas dadakan untuk berangkat ke Irak malam ini juga. Dalam situasi dimana harapan disirnakan oleh todongan senjata, pastilah masa lalu yang penuh cita-cita menjadi kenangan yang sangat indah.

Kisah selanjutnya tentulah sudah pernah kita ikuti garis besarnya di media massa pada saat itu. Satu hal yang paling disyukuri oleh Meutya adalah bahwa Presiden negaranya ternyata sangat peduli akan keadaannya, sampai2 begitu sigap menanggapi permintaan penjelasan dari pihak penyandera. Belum lagi sejumlah tokoh nasional di Indonesia yang juga ikut memberikan himbauan kepada penyanderanya untuk segera membebaskan Meutya dan Budiyono.

Yang paling mengesalkan bagi Meutya bukanlah pada saat disandera, tetapi pada saat tinggal selangkah lagi keluar dari Irak. Di perbatasan Irak dan Yordania, Meutya dan Budiyono tertahan seharian karena pihak Irak tidak mengizinkan siapapun melewati perbatasan selama hari Asy-syura. Lobby diplomatik antar negara tak juga mampu meluluhkan birokrasi Irak. Padahal para penjemput dari Indonesia telah berada di seberang perbatasan, termasuk di antaranya Dirut Metro TV Surya Paloh sendiri.

Resiko Para Jurnalis di Daerah Konflik

Selain menyingkap secara detail bagaimana terjadinya drama penyanderaan itu langsung dari orang pertama, buku memoar ini juga menyadarkan pembaca tentang resiko profesi seorang wartawan di lapangan. Tuntutan untuk mencari dan mendapatkan berita yang paling eksklusif bisa saja harus dibayar dengan nyawa. Ini juga tercermin pada tulisan Don Bosco Selamun Pemimpin Redaksi Metro TV pada saat peristiwa tersebut.

Don Bosco bercerita bagaimana ia merasa bahwa kejadian itu adalah kesalahannya. Ia yang menugaskan Meutya dan Budiyono pergi meliput pemilu di Irak. Ketika kedua wartawan itu telah selesai meliput pemilu dan sudah berada di Yordania, ia juga yang memerintahkan mereka kembali ke Irak untuk meliput peringatan Asy Syura di Karbala. Dan pada saat kembali ke Irak itulah mereka ditangkap dan disandera oleh tentara Mujahiddin. Don Bosco selama masa penyanderaan itu merasa sebagai seorang pemimpin redaksi yang paling bodoh, karena telah menjerumuskan anak buahnya ke dalam bahaya. Ia pun tak mampu berkata-kata ketika harus menjelaskan dan menceritakan kejadian itu secara langsung kepada keluarga kedua reporternya tersebut.

Meutya sendiri pada bab terakhir buku ini secara khusus menulis tentang keselamatan wartawan saat melakukan liputan di lapangan. Pada bab berjudul "Kapan Harus Berhenti", ia mengingatkan mereka yang bekerja mencari berita di daerah berbahaya agar selalu menjaga keselamatan. Tekanan dari atasan maupun dari diri sendiri untuk mencari berita paling eksklusif, untuk mendapatkan gambar paling dekat dan paling jelas, harusnya tidak perlu dituruti tanpa batas. Meutya sendiri demi mendapatkan gambar eksklusif pernah nekat di depan kamera memegang pecahan bom yang baru saja meledak di suatu daerah di Irak. Padahal pecahan bom tersebut ada kemungkinan masih aktif dan bisa meledak lagi.

Wartawan Indonesia, menurut Meutya, termasuk paling ceroboh dalam hal keselamatan. Di tengah kecamuk perang Irak, Meutya dan Budiyono memasuki arena perang tanpa mengenakan jaket dan helm anti peluru. Dalam kasus tenggelamnya kapal Levina, Meutya juga menyayangkan para wartawan yang nekat naik ke kapal yang sudah miring tersebut tanpa mengenakan pelampung dan akhirnya harus tewas saat kapal Levina tenggelem. "Tidak ada berita yang lebih berharga daripada nyawa".

Tulisan yang Menghanyutkan Emosi

Menulis buku ini tentulah suatu tantangan tersendiri bagi Meutya. Sangat berbeda dengan sebuah tulisan reportase berita. Dalam membuat berita haruslah disajikan apa adanya, tanpa penambahan dan pengurangan, tanpa opini dan emosi pribadi. Tapi dalam menulis buku ini, Meutya harus bisa menyalurkan emosi yang ia rasakan pada setiap kejadian dan menularkannya kepada pembaca, agar pembaca dapat ikut merasakan dan terlibat di dalamnya. Dan Meutya cukup berhasil melakukannya. Ketakutan, keputusasaan, kekesalan, kegembiraan dan keharuannya dapat tersampaikan dan ikut dirasakan oleh pembaca.

Keputusan untuk membuat tulisan yang tidak linear secara kronologi waktu, adalah keputusan yang cukup baik untuk segera memancing perhatian pembaca pada puncak kejadian di awal cerita. Dengan adanya ruang untuk flash back, Meutya jadi lebih bebas bercerita apa saja dari masa lalunya. Meskipun terus terang pada beberapa bagian cerita masa lalu itu malah mengaburkan fokus cerita serta memperlambat tempo.

Penghargaan juga perlu disampaikan untuk tulisan Don Bosco Selamun pada lampiran buku ini. Menyajikan secara apik kisah penyanderaan itu dari sisi lain di ruang redaksi Metro TV selama dalam penantian akan kepastian para korban penyanderaan. Suatu perjalanan emosi seorang atasan yang peduli kepada anak buahnya.

Terus terang kisah tentang sebuah krisis malah lebih terasa pada tulisan Don Bosco ini. Sementara Meutya hanya bisa menanti pasrah di dalam gua, Don Bosco selama hari-hari itu kalang kabut kesana kemari mencari kepastian dengan membawa beban perasaan bersalah yang mendalam.

Bukan Fiksi Thriller

Tapi buat mereka pembaca yang berharap akan mendapatkan kisah penyanderaan penuh teror layaknya film atau fiksi thriller, bersiaplah untuk kecewa. Kisah penyanderaan Meutya dan Budiyono tidak seseram itu. Terutama karena memang mereka tidak berada pada pihak yang menjadi musuh dari para penyandera. Perlakuan para penyandera kepada mereka berdua bisa dibilang sangat baik. Mereka 'hanya' kehilangan kebebasan untuk sementara waktu.

Meskipun tentu saja tidak bisa dibilang sebagai 'hanya'. Berada dalam penyanderaan bagaimanapun adalah sebuah kengerian. Keselamatan dan harapan hidup sepenuhnya bergantung pada kebaikan hati sang penyandera. Suatu keadaan yang tentunya membuat siapapun bersyukur akan kebebasan yang ia miliki.

Buku ini adalah sebuah catatan peristiwa bersejarah yang layak dibaca sebagai tempat berkaca dan belajar dari pengalaman orang lain. Bagaimana bertahan secara emosional pada keadaan yang sangat sulit. Sembari mengingatkan bahwa hidup kita begitu rapuh dan bahwa ada Penguasa kehidupan yang lebih berkuasa di atas sana yang menentukan garis hidup selanjutnya.

Ada sedikit pertanyaan yang menggelitik selama membaca buku ini sampai selesai. Bukan bermaksud menghakimi, tapi hanya bertanya.. mengapa sama sekali tidak diceritakan baik itu para penyandera maupun mereka yang disandera melaksanakan shalat selama berhari-hari berada di dalam gua itu?...