Sunday, August 05, 2007

Glonggong

Glonggong, Junaedi SetiyonoNovel karya Junaedi Setiyono ini adalah satu diantara lima pemenang Sayembara Menulis Novel 2006 yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. "Glonggong" judulnya, diterbitkan oleh Serambi, Juli 2007, 293 halaman.

Glonggong dalam bahasa jawa, selain berarti memberi minum sapi banyak2 sebelum disembelih untuk menaikkan bobot tubuh si sapi sehingga bisa dijual lebih mahal, di daerah tertentu Glonggong juga berarti batang daun pepaya. Pada novel ini yang digunakan adalah makna yang kedua. Bentuk batang daun pepaya yang panjang, lurus, meruncing di ujung dan lekukan di pangkalnya menjadikannya seperti pedang. Anak2 pun menggunakannya sebagai senjata dalam permainan perang2an. Kokoh tapi lentur, sehingga tidak akan sampai melukai.

Glonggong di novel ini juga merupakan nama panggilan dari seorang anak, yang tinggal di daerah Tegalsari Jawa Tengah pada masa hidupnya Pangeran Diponegoro, yang kemahirannya memainkan glonggong di tangan hingga teman2nya memanggilnya sebagai Glonggong.

Dari Masa Perang Diponegoro

Novel ini bercerita tentang kehidupan Glonggong sejak kecil hingga meninggalnya Pangeran Diponegoro di pengasingan pada tahun 1855. Bukan, ini bukan novel tentang Pangeran Diponegoro, ini tentang Glonggong yang memang sempat menjadi salah satu pasukan Pangeran Diponegoro.

Karena memang menjadi salah satu kebiasaan anak2 setempat, sejak balita Glonggong telah mengayun-ayunkan batang daun pepaya. Ayah kandungnya entah dimana setelah terlibat dalam pemberontakan yang gagal. Ayah tirinya jarang di rumah. Dan ibunya sakit2an lebih sering mengurung diri di kamar. Glonggong pun semakin akrab dengan glonggongnya dan semakin mahir. Dengan keahliannya si bocah Glonggong pun disegani teman2nya.

Hidup Glonggong mulai sengsara ketika ia dan ibunya dibuang ke sebuah gubuk karena gelagat ibu Glonggong yang semakin aneh. Glonggong remaja harus merawat ibunya sendirian. Hingga akhirnya sebuah tragedi menyurukkan Glonggong menjadi sebatang kara.

Kemampuan Glonggong mengayunkan senjata berupa batang daun pepaya yang telah dikenal banyak orang, akhirnya menjadikan ia sebagai centeng muda di rumah salah seorang pangeran. Kekagumannya kepada Kanjeng Pangeran Aria Dipanegara yang tegas tidak mau tunduk kepada Belanda dan tidak terpikat pada iming2 duniawi, membulatkan tekat Glonggong untuk satu saat bergabung dengan pasukan Dipanegara.

Namun dalam langkah demi langkah perjalanan hidupnya Glonggong harus menghadapi betapa liciknya orang2 yang haus kekuasaan. Permainan dan intrik membuat tak jelas lagi siapa yang sebenarnya lawan atau kawan. Dan atas dasar kepentingan2 tertentu semua itu bisa berubah setiap saat.

Si Pendekar Batang Daun Pepaya

Perjalanan hidup Glonggong lumayan menarik untuk terus diikuti hingga selesai. Proses saat ia belajar memainkan glonggong hingga mampu mengalahkan lawan2 yang lebih tua serasa mengikuti proses seorang pendekar silat menguasai suatu jurus pamungkas. Intrik2 dan skandal di antara para bangsawan memperebutkan dunia mengungkapkan bahwa borok bangsa kita ini sudah ada sejak dahulu. Dengan selingan kilasan potongan sejarah sepak terjang Pangeran Diponegoro sebagai latar belakang membuat novel ini terasa lengkap.

Dituturkan dengan cepat tanpa terlalu mendramatisir adegan demi adegan terlalu panjang. Pembaca tidak akan menjadi bosan karena terlalu lama di satu adegan. Baik itu perkelahian maupun adegan yang agak romantis semuanya berjalan cepat tanpa diberi detail yang berlebihan. Kadang jadinya terasa melompat-lompat dan harus menebak-nebak sendiri apa yang terjadi.

Penuturan seperti itu menimbulkan kesan si penutur adalah pria yang sangat cuek. Tidak peduli dengan detil2 yang tidak perlu. Yang penting adalah apa yang ia cari dan tuju. Tidak bersedia mendayu-dayu memikirkan segala kesengsaraan hidup. Biarlah dijalani saja, tak perlu didramatisir.

Tapi kadang rada keterlaluan juga sih kesan tidak peduliannya. Glonggong tidak pernah bertanya2 tentang ayah kandungnya ke orang2 sekitar, ia baru bertanya setelah ada seseorang mengungkitnya saat ia remaja. Tidak bertanya apa yang terjadi sehingga ibunya sedih terus. Tidak memberontak ketika diusir dari rumahnya. Jikapun bertanya ia tidak pernah mencecar hingga tuntas semua masalah, kecuali saat bertemu dengan Kiai Ngali. Mungkinkah ia terlalu 'njawani' sehingga segan bertanya karena 'ewuh pakewuh'. Atau mungkinkah dia autis dan hidup hanya dengan glonggongnya saja :D

Satu hal yang agak mengganggu, penulis kadang tersesat dalam pengaturan time frame. Saat Glonggong masih kecil dan sedang belajar menguasai permainan glonggong, plot waktunya maju mundur agak membingungkan. Ketika Glonggong remaja menemukan makam ibunya di suatu desa, waktu sudah berjalan sekian lama tapi makam ibunya masih terlihat sebagai gundukan tanah baru. Dan beberapa keganjilan lain dalam menentukan rentang waktu kejadian jika dibandingkan kejadian lain.

Manusia dan Kekuasaan

Meskipun tidak meninggalkan kesan yang sangat mendalam, tapi novel ini memang layak menjadi salah satu pemenang lomba menulis novel. Kisahnya utuh dan lengkap, tidak ada bagian cerita yang mubazir tanpa tujuan. Cara bertuturnya lancar enak diikuti meskipun kadang mengabaikan detil. Karakter tokoh-tokohnya cukup matang, dari yang idealis hingga yang plin plan dan bermuka dua. Semua kisah dan intriknya masuk akal tidak mengada-ada.

Membaca cerita penuh intrik seperti ini membuat kita berpikir, bahwa dalam hal berebut kekuasaan atas harta, tahta dan wanita orang bisa menjadi sangat tamak. Dibalik topeng manis keseharian sebagai pangeran, bangsawan, kiai, atau bahkan sahabat bisa saja tersembunyi suatu kehidupan atau rencana untuk kepentingan mereka sendiri. Sulit mencari kesetiaan dan kesejatian, yang ada adalah kepentingan masing2 orang.