Tuesday, May 08, 2007
Nagabonar Jadi 2
Setelah filmnya dirilis akhir Maret kemarin, sebulan kemudian terbitlah novelnya. Nagabonar Jadi 2, ditulis oleh Akmal Nasery Basral, diterbitkan oleh Akoer, April 2007.
Novel adaptasi dari film tampaknya menjadi trend tersendiri di Indonesia. Di toko2 buku akan bisa ditemukan banyak sekali buku yang diterbitkan untuk mengiringi peluncuran sebuah film. Entah itu novel adaptasinya, buku skenarionya, behind the scene, atau buku2 pendukung lainnya. Mungkin itu satu bentuk untuk memperluas pasar, yang kutu buku setelah baca bukunya mungkin akan tertarik nonton filmnya, yang movie freak setelah nonton filmnya mungkin ingin mendapatkan detail dengan membaca bukunya.
Cuman entah kenapa kok novel Nagabonar ini diterbitkan lebih lambat satu bulan dari pada filmnya. Padahal film2 yang lain kebanyakan mengeluarkan buku dan film secara hampir bersamaan. Lewat satu bulan, greget yang dirasakan setelah nonton filmnya kayaknya udah mulai luntur. Untungnya sih film Nagabonar Jadi 2 ternyata sangat perkasa, mampu bertahan lebih dari satu bulan di layar bioskop utama. Hebat!
Sepotong Ceritanya
Nggak perlu diceritakan secara lengkap lagilah ringkasan dari film dan novel ini, karena pasti sudah banyak yang tahu. Tentang Nagabonar yang setelah menjadi pejuang kemerdekaan sukses mengelola kebun kelapa sawitnya, hingga mampu menyekolahkan anak semata wayangnya, Bonaga, ke Inggris. Bonaga sendiri yang sekarang tinggal di Jakarta telah menjadi pengusaha properti yang sukses.
Masalah muncul ketika Bonaga mendapat tawaran proyek untuk membangun sebuah resort mewah di tanah perkebunan kelapa sawit milik Nagabonar. Padahal di perkebunan itu ada makam tiga orang yang paling disayangi Nagabonar, Emak Nagabonar, Kirana istri Nagabonar, dan Bujang sahabat Nagabonar. Inilah yang menjadi konflik utama dalam kisah Nagabonar jadi 2.
Masalah sampingan lain yang melengkapi cerita ini adalah tentang Bonaga yang tidak pernah bisa menyatakan cintanya kepada Monita. Padahal Monita jelas sangat menunggu kepastian dari harapan2 yang diberikan Bonaga kepadanya. Nagabonar ikut merasa bersalah dalam masalah ini, karena tanpa Kirana disisinya ia merasa tidak mampu mendidik Bonaga untuk memiliki kelembutan hati.
Melengkapi Filmnya
Novel ini bukan sekedar memindahkan isi skenario mentah2 menjadi novel. Memang cerita dan dialog intinya sama, tapi ada perbedaan sudut pandang dan penambahan beberapa detail.
Penutur dalam novel ini hanyalah Nagabonar, sebagai orang pertama, tidak ada penutur yang lain. Maka adegan2 di film dimana Nagabonar tidak terlibat, tidak akan diceritakan di novel ini. Seperti adegan saat Bonaga berdua dengan Monita, juga saat Bonaga dan ketiga temannya pergi ke Medan, tidak dituturkan disini kecuali secara tidak langsung diceritakan dalam dialog dengan Nagabonar.
Detail tambahan banyak diselipkan disana sini untuk melengkapi cerita. Di film sekuel ini banyak hal yang mengambil kembali kisah dari film pertamanya. Bagi yang sama sekali belum nonton film pertamanya, pasti akan kebingungan kenapa orang lain bisa tertawa. Nah, di novel ini potongan kisah dari film pertama dituturkan kembali untuk menjelaskan itu semua, meskipun tidak secara lengkap. Seperti bagaimana Nagabonar bisa berpangkat Jendral, juga siapa itu Maryam dan mengapa dia jadi pincang.
Selain itu ada juga detail tambahan yang memang belum ada sama sekali di film. Ada sekilas tentang masa kecil Nagabonar, bagaimana dia bisa menjadi pencopet. Dialog di dalam bajaj antara Umar dan Nagabonar juga digarap lebih panjang. Beberapa adegan yang di film terasa melompat, dijelaskan lebih detil di novelnya.
Sayangnya ada yang sedikit meleset di novel ini. Dalam cerita flash back saat Naga dan Maryam beradu main catur untuk memperebutkan Kirana, disebutkan Kirana bersembunyi di belakang jendela. Padahal di film Nagabonar pertama, saat adu main catur itu Kirana diminta duduk di samping papan catur di antara Naga dan Maryam. Dan ketika terjadi tembak menembak, Kirana bersembunyi di balik kursi.
Kurang Ekspresif
Membaca novel ini di halaman2 awal, aku sempat merasa kebingungan. Aku sudah nonton filmnya sebulan sebelumnya, dan semua karakter, adegan, serta suasana sudah terekam dalam otakku. Dari filmnya aku menangkap Nagabonar adalah orang yang spontan dan cenderung kasar. Kalaupun dia punya sisi romantis, itu hanya suasana hati sesaat, seperti saat menulis surat untuk Kirana istrinya. Tapi dalam novel ini, dimana Nagabonar menjadi penutur orang pertama, tiba-tiba Nagabonar menjadi puitis!.... aku bingung, karakter yang sudah terbangun itu tiba2 hancur dan aku nggak tahu bagaimana membangunnya kembali karena nggak ada yang cocok.
Memang, kekasaran Naga bisa terasa dalam dialog, juga saat dia mengumpat. Tapi saat kemudian Nagabonar kembali jadi penutur yang lembut, lenyaplah lagi karakter kasarnya. Sementara sikap2 Nagabonar yang lain seperti menjadi lebih bijak terhadap anaknya, lalu nasionalisme yang tetap berkobar, bisa tersampaikan dengan baik di novel ini. Mungkin kalau Nagabonar tidak menjadi penutur, akan lebih mudah memunculkan sikap kasarnya melalui mata orang lain dan melalui dialog.
Selain cara bertutur, ekspresi Nagabonar di novel ini juga terlalu lembut menurutku, jika dibandingkan ekspresi Deddy Mizwar yang memerankan Nagabonar di film dengan karakter dan ekspresi yang sangat kuat. Sebagai contoh waktu Naga menggebrak sopir mikrolet yang berhenti sembarangan, dalam novel 'cuma' dituliskan: "Kalau begitu aku hantunya!". Sementara di filmnya saat mengucapkan kalimat itu Naga berteriak kencang membahana dengan mata mendelik lebar melototin si sopir mikrolet.
Bagaimanapun, novel ini bisa melengkapi filmnya dengan baik, karena banyak detail dan side-story yang tidak terungkap di filmnya. Disamping tentu saja kadang menonton film itu tidak semua elemen dalam satu adegan bisa tertangkap oleh indra, dengan membaca novelnya hal-hal itu akan bisa dilengkapi.
Novel adaptasi dari film tampaknya menjadi trend tersendiri di Indonesia. Di toko2 buku akan bisa ditemukan banyak sekali buku yang diterbitkan untuk mengiringi peluncuran sebuah film. Entah itu novel adaptasinya, buku skenarionya, behind the scene, atau buku2 pendukung lainnya. Mungkin itu satu bentuk untuk memperluas pasar, yang kutu buku setelah baca bukunya mungkin akan tertarik nonton filmnya, yang movie freak setelah nonton filmnya mungkin ingin mendapatkan detail dengan membaca bukunya.
Cuman entah kenapa kok novel Nagabonar ini diterbitkan lebih lambat satu bulan dari pada filmnya. Padahal film2 yang lain kebanyakan mengeluarkan buku dan film secara hampir bersamaan. Lewat satu bulan, greget yang dirasakan setelah nonton filmnya kayaknya udah mulai luntur. Untungnya sih film Nagabonar Jadi 2 ternyata sangat perkasa, mampu bertahan lebih dari satu bulan di layar bioskop utama. Hebat!
Sepotong Ceritanya
Nggak perlu diceritakan secara lengkap lagilah ringkasan dari film dan novel ini, karena pasti sudah banyak yang tahu. Tentang Nagabonar yang setelah menjadi pejuang kemerdekaan sukses mengelola kebun kelapa sawitnya, hingga mampu menyekolahkan anak semata wayangnya, Bonaga, ke Inggris. Bonaga sendiri yang sekarang tinggal di Jakarta telah menjadi pengusaha properti yang sukses.
Masalah muncul ketika Bonaga mendapat tawaran proyek untuk membangun sebuah resort mewah di tanah perkebunan kelapa sawit milik Nagabonar. Padahal di perkebunan itu ada makam tiga orang yang paling disayangi Nagabonar, Emak Nagabonar, Kirana istri Nagabonar, dan Bujang sahabat Nagabonar. Inilah yang menjadi konflik utama dalam kisah Nagabonar jadi 2.
Masalah sampingan lain yang melengkapi cerita ini adalah tentang Bonaga yang tidak pernah bisa menyatakan cintanya kepada Monita. Padahal Monita jelas sangat menunggu kepastian dari harapan2 yang diberikan Bonaga kepadanya. Nagabonar ikut merasa bersalah dalam masalah ini, karena tanpa Kirana disisinya ia merasa tidak mampu mendidik Bonaga untuk memiliki kelembutan hati.
Melengkapi Filmnya
Novel ini bukan sekedar memindahkan isi skenario mentah2 menjadi novel. Memang cerita dan dialog intinya sama, tapi ada perbedaan sudut pandang dan penambahan beberapa detail.
Penutur dalam novel ini hanyalah Nagabonar, sebagai orang pertama, tidak ada penutur yang lain. Maka adegan2 di film dimana Nagabonar tidak terlibat, tidak akan diceritakan di novel ini. Seperti adegan saat Bonaga berdua dengan Monita, juga saat Bonaga dan ketiga temannya pergi ke Medan, tidak dituturkan disini kecuali secara tidak langsung diceritakan dalam dialog dengan Nagabonar.
Detail tambahan banyak diselipkan disana sini untuk melengkapi cerita. Di film sekuel ini banyak hal yang mengambil kembali kisah dari film pertamanya. Bagi yang sama sekali belum nonton film pertamanya, pasti akan kebingungan kenapa orang lain bisa tertawa. Nah, di novel ini potongan kisah dari film pertama dituturkan kembali untuk menjelaskan itu semua, meskipun tidak secara lengkap. Seperti bagaimana Nagabonar bisa berpangkat Jendral, juga siapa itu Maryam dan mengapa dia jadi pincang.
Selain itu ada juga detail tambahan yang memang belum ada sama sekali di film. Ada sekilas tentang masa kecil Nagabonar, bagaimana dia bisa menjadi pencopet. Dialog di dalam bajaj antara Umar dan Nagabonar juga digarap lebih panjang. Beberapa adegan yang di film terasa melompat, dijelaskan lebih detil di novelnya.
Sayangnya ada yang sedikit meleset di novel ini. Dalam cerita flash back saat Naga dan Maryam beradu main catur untuk memperebutkan Kirana, disebutkan Kirana bersembunyi di belakang jendela. Padahal di film Nagabonar pertama, saat adu main catur itu Kirana diminta duduk di samping papan catur di antara Naga dan Maryam. Dan ketika terjadi tembak menembak, Kirana bersembunyi di balik kursi.
Kurang Ekspresif
Membaca novel ini di halaman2 awal, aku sempat merasa kebingungan. Aku sudah nonton filmnya sebulan sebelumnya, dan semua karakter, adegan, serta suasana sudah terekam dalam otakku. Dari filmnya aku menangkap Nagabonar adalah orang yang spontan dan cenderung kasar. Kalaupun dia punya sisi romantis, itu hanya suasana hati sesaat, seperti saat menulis surat untuk Kirana istrinya. Tapi dalam novel ini, dimana Nagabonar menjadi penutur orang pertama, tiba-tiba Nagabonar menjadi puitis!.... aku bingung, karakter yang sudah terbangun itu tiba2 hancur dan aku nggak tahu bagaimana membangunnya kembali karena nggak ada yang cocok.
Memang, kekasaran Naga bisa terasa dalam dialog, juga saat dia mengumpat. Tapi saat kemudian Nagabonar kembali jadi penutur yang lembut, lenyaplah lagi karakter kasarnya. Sementara sikap2 Nagabonar yang lain seperti menjadi lebih bijak terhadap anaknya, lalu nasionalisme yang tetap berkobar, bisa tersampaikan dengan baik di novel ini. Mungkin kalau Nagabonar tidak menjadi penutur, akan lebih mudah memunculkan sikap kasarnya melalui mata orang lain dan melalui dialog.
Selain cara bertutur, ekspresi Nagabonar di novel ini juga terlalu lembut menurutku, jika dibandingkan ekspresi Deddy Mizwar yang memerankan Nagabonar di film dengan karakter dan ekspresi yang sangat kuat. Sebagai contoh waktu Naga menggebrak sopir mikrolet yang berhenti sembarangan, dalam novel 'cuma' dituliskan: "Kalau begitu aku hantunya!". Sementara di filmnya saat mengucapkan kalimat itu Naga berteriak kencang membahana dengan mata mendelik lebar melototin si sopir mikrolet.
Bagaimanapun, novel ini bisa melengkapi filmnya dengan baik, karena banyak detail dan side-story yang tidak terungkap di filmnya. Disamping tentu saja kadang menonton film itu tidak semua elemen dalam satu adegan bisa tertangkap oleh indra, dengan membaca novelnya hal-hal itu akan bisa dilengkapi.
<< Home