Monday, April 30, 2007

Sintren

SintrenIni adalah novel lokal karya Dianing Widya Yudhistira. Pernah dimuat sebagai cerita bersambung di harian Republika sejak September 2004 hingga Februari 2005. Dan pada tahun 2007 ini diterbitkan dalam bentuk buku novel oleh Grasindo, dalam 295 halaman.

Sintren adalah suatu pertunjukan tari tradisional di daerah Batang, Jawa Tengah. Penarinya seorang wanita cantik dengan lenggak lenggok gemulai yang akan banyak memikat kaum lelaki untuk menyaksikannya. Mau tidak mau langsung terbayang trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, dan membanding2kannya. Tapi ternyata cerita ini tidaklah mencontek karya besar Ahmad Tohari tersebut. Profesi Sintren dan Ronggeng memang nyaris mirip, tapi ide cerita yang diangkat dalam kedua karya ini berbeda.

Munculnya Seorang Sintren Muda

Saraswati baru berusia 12 tahun, baru duduk di bangku kelas 6 SD. Dia murid yang cukup cerdas di sekolahnya. Sayangnya keluarganya miskin. Mak Saraswati tidak setuju Saraswati giat bersekolah, lebih baik Saraswati membantunya bekerja dan kemudian segera menikah. Keinginan Saraswati untuk terus sekolah kalau bisa sampai sarjana jelas ditolak mentah2 oleh Mak-nya karena tidak ada uang dan dianggap tidak ada gunanya. Hanya Bapaknya yang terus memberi semangat kepada Saras untuk tetap sekolah, dan dia yang akan terus berusaha membiayai semampunya.

Saraswati juga seorang gadis jawa yang lumayan menarik. Kecantikannya memikat hati juragan Wargo tempat Mak Saraswati bekerja untuk menjadikannya menantu untuk anaknya Kirman. Mak Saras tentu saja menerima lamaran juragan Wargo, meskipun ditentang suaminya, sementara Saras sendiri masih ingin melanjutkan sekolah. Dan untunglah akhirnya pernikahan itu batal karena satu masalah.

Kemudian datanglah seorang wanita bernama Larasati yang mencari sintren untuk pertunjukan tujuhbelasan. Saraswati diminta ikut dalam suatu proses pencarian Sintren baru yang dilakukan oleh Mbah Mo. Beberapa anak gadis seumuran Saras berkumpul, tapi hanya Saras yang berhasil melewati ujian. Saraswati pun diminta menjadi sintren baru. Ia mau asalkan uang hasil sintren digunakan untuk melanjutkan sekolah. Mak Saras gembira, karena berarti dia tidak perlu lagi bekerja terlalu keras.

Menjadi seorang Sintren harus siap mendapat pujian sekaligus cercaan. Pujian dari para lelaki yang terpesona oleh kecantikan dan gemulai tariannya. Cercaan karena dianggap sebagai wanita penggoda yang memikat hati banyak lelaki bahkan merusak rumah tangga mereka. Tapi Saraswati telah bulat tekadnya untuk menjadi sintren demi agar tetap bisa sekolah.

Dunia sintren ternyata bukan sekedar berdandan dan menari, di dalamnya banyak melibatkan dunia gaib. Saraswati mau tak mau ikut memasuki dunia itu. Seiring dengan itu, Saraswati secara fisik menjadi tampak lebih berkilau. Semua orang kaget dengan perubahan fisiknya dan terpesona dengan kecantikan yang memancar darinya. Dan saat Saraswati menari sebagai sintren, mata semua lelaki tidak bisa berkedip.

Satu demi satu lelaki terpikat pesona sintren Saraswati. Sementara satu demi satu wanita terbakar cemburu karena lelakinya berpaling kepada Saraswati. Dan korbanpun berjatuhan...

Sintren Bukan Sekedar Penari

Proses perubahan Saraswati dari seorang gadis lugu anak buruh menjadi sintren yang dikagumi dan disegani banyak orang cukup memikat untuk diikuti. Sebelumnya Saraswati adalah anak yang kurang percaya diri dan sering menjadi bulan2an Wati teman sekelasnya yang pongah. Setelah menjadi sintren dengan bantuan kekuatan gaib yang menguasainya pelan-pelan Saraswati menjadi lebih matang dan tumbuh rasa percaya dirinya hingga berani melawan bahkan mengalahkan Wati.

Culasnya Wati dan Wastini ibunya, sempat bikin aku kehilangan mood karena seperti berasa sedang mengikuti sinetron kacangan yang tidak mengindahkan rasio. Untunglah bagian itu tidak dibuat berpanjang-panjang, meskipun Wati dan Wastini masih datang lagi dan datang lagi merusak suasana.

Unsur mistik yang cukup kental dalam dunia sintren tidak digambarkan dengan menyeramkan, malah memberikan suasana yang indah dan menyenangkan. Tidak ada mahluk hitam mengerikan, yang ada hanyalah mahluk halus berbentuk wanita cantik dan anak-anak kecil yang riang.

Tidak muncul kesan tentang adanya pelecehan atau penindasan gender di cerita ini. Saraswati malah menjadi wanita yang sangat disegani setelah menjadi sintren. Laki-laki yang berani menyentuhnya secara sembarangan dijamin akan mendapat celaka.

Menarik Tapi Terburu-buru

Sebagai novel debutan, Dianing Widya Yudhistira berhasil mengangkat cerita yang menarik. Tentang fenomena kehidupan Sintren yang sekarang sudah lenyap sama sekali dari tanah jawa. Tentang wanita yang berhasil meningkatkan status sosialnya dengan menjadi sintren. Sintren yang bergelimang puja-puji, disanjung banyak orang, sekaligus menjadi sumber gunjingan, tapi juga harus menanggung suatu konsekuensi akan kehidupan yang berjalan tidak sebagaimana orang kebanyakan.

Namun manurutku pada beberapa bagian, cerita disajikan terlalu berlebihan. Seperti keculasan Wati dan Wastini yang sudah seperti cerita sinetron, sementara lawannya terlalu lemah dan tak bisa melawan. Lelaki2 yang terpikat setengah mati kepada Saraswati terlalu banyak hingga terasa tidak real. Juga orang-orang yang begitu mudah putus asa itu.

Di bagian awal hingga pertengahan, cerita berjalan mengalir dengan mulus dengan detail yang secukupnya tidak berlebihan. Tapi sayangnya di bagian pertengahan hingga akhir cerita berjalan terlalu cepat, melompat-lompat dari peristiwa satu ke yang lain hanya dalam sekilas. Penulis tampak tergesa-gesa ingin segera menamatkan cerita. Padahal potensi untuk memperdalam cerita masih sangat luas untuk digali. Ending yang seharusnya dramatis, berlangsung terlalu cepat sehingga tak mampu memberikan kesan yang mendalam.

Mungkin tidak seharusnya membandingkan novel Sintren ini dengan masterpiece Ahmad Tohari "Ronggeng Dukuh Paruk" yang sama2 mengangkat tokoh utama dengan profesi yang sangat mirip. "Ronggeng" memiliki latar belakang cerita yang dalam dan kuat seputar masa pemberontakan pki. Sementara "Sintren" ini sebatas bercerita tentang kehidupan seorang sintren dan liku-likunya. Yang jelas novel ini cukup berhasil mengangkat kembali sebuah fenomena tradisi jawa di masa lalu yang sekarang sudah terkubur.