Tuesday, March 20, 2007

Kalatidha

Ditulis oleh sastrawan kawakan yang beberapa tahun terakhir berhasil memboyong anugerah paling bergengsi dalam Khatulistiwa Literary Award, ajang penghargaan sastra di Indonesia. Seno Gumira Ajidarma. Novel "Kalatidha", yang dalam bahasa jawa berarti "jaman rusak", diterbitkan oleh Gramedia pada Januari 2007 dalam 234 halaman.

Terus terang, ini adalah buku pertama karya Seno Gumira Ajidarma yang sempat aku baca. Padahal kalau tidak salah hitung sudah ada 28 buku yang dihasilkannya. Yah, aku memang bukanlah penikmat sastra yang mengikuti setiap geliat dunia sastra dengan tekun, aku cuma orang yang suka mengisi waktu luang dengan membaca apa yang ingin aku baca.

Persepsi pertamaku tentang karya2 Seno Gumira Ajidarma adalah karya2 yang berat dan sangat 'nyastra'. Tulisan2 yang lebih mirip puisi dengan arti yang penuh sayap. Dan sayangnya, aku tidak begitu suka puisi. Karena persepsi itulah, maka aku belum pernah membaca karya2nya. Tapi karena penasaran dengan nama besarnya, aku mencoba membaca buku terbarunya ini. Dan ternyata persepsiku tidak terlalu salah.

Jaman Rusak

Berkisah tentang seorang narapidana yang melamunkan masa lalunya selama menjalani hari2 penghukumannya karena tindakannya membobol dana sebuah bank. Lamunannya melompat-lompat dari masa kecilnya hingga masa2 ia melakukan tindakan kriminal itu.

Masa kecilnya dihiasi oleh saat2 orang sangat sensitif begitu mendengar, atau melihat hal2 yang berbau PKI. Banyak orang di sekitarnya yang telah "diciduk". Ia juga sempat melihat dengan mata kepala sendiri, saat sebuah rumah dibakar beserta seluruh penghuninya. Hanya seorang gadis kecil yang selamat dan menangis melihat rumahnya. Bahkan saudara kembarnya pun ikut menjadi korban.

Saudara kembarnya dimakamkan di sebuah hutan bambu. Si tokoh aku ternyata diam2 pernah mencintai gadis yang telah mati itu. Dalam kabut hutan bambu, ia sering melihat pemunculan si gadis yang dicintainya. Sementara kembarannya yang masih hidup akhirnya menjadi sakit jiwa.

Dalam sel penjaranya, selain merenungi masa lalunya, ia juga membaca2 guntingan koran yang pernah dikumpulkan kakak perempuannya yang sekarang entah dimana. Guntingan2 berita sekitar tahun 60-an, terutama seputar berita2 politik. Ia juga membaca2 sebuah catatan dari seseorang bernama Joni yang menghuni rumah sakit jiwa yang sama dengan si gadis kembar.

Kadang ia juga berkhayal tentang sebuah negeri cahaya yang penuh dengan kesempurnaan. Dimana jutaan sosok2 kristal bercahaya bergerak serempak dalam sebuah lembah menuju pusat kebahagiaan.

Ia juga mengikuti berita tentang si gadis kembar yang sering menjadi korban pelecehan seksual, dan kemudian dengan caranya sendiri melakukan pembalasan dendam.

Puitis tanpa ending

Yap, tidak ada ending yang jelas. Aku mencoba bertahan membaca bacaan yang menurutku rada absurd ini dengan harapan akan menemukan penjelasan yang lengkap di bagian akhirnya. Penjelasan yang akan merentangkan semua benang merah antara setiap khayalan, setiap catatan, setiap kliping koran, setiap memori masa lalu, menjadi satu rangkaian yang utuh dan membentuk cerita yang lengkap.

Dan ternyata penjelasan itu tidak ada. Semuanya dibiarkan menggantung mengisahkan ceritanya sendiri sendiri. Semuanya hanyalah lamunan seorang narapidana yang memiliki terlalu banyak waktu luang dengan menatap dinding kosong penjara.

Aku tidak berani berkomentar lebih panjang, karena tampaknya ini bukanlah wilayahku yang kurang memahami sastra berat, yang untuk menafsirkannya memerlukan pengetahuan yang memadai. Bahasanya puitis, penuh dengan perlambang dan perulangan. Percampuran antara kisah mistis, berita politik masa lalu, celoteh aneh seorang gila, hingga pembalasan dendam ala ksatria silat membuat aku bingung tak mampu menyerap apa-apa.

Syair Ranggawarsita

Hanya satu buat aku yang paling mengena di novel ini. Pembukaannya. Mengambil terjemahan dari tembang jawa karya Ranggawarsita (1802-1873) berjudul sama dengan novel ini, "Kalatidha":

"mengalami zaman gila
hati gelap kacau pikiran
mau ikut gila tidak tahan
jika tidak ikut tak kebagian
akhirnya kelaparan
sebenarnyalah kehendak Tuhan
seuntung-untungnya yang lupa
lebih untung yang ingat dan waspada"


Hmmm... seuntung-untungnya yang lupa, lebih beruntung yang tetap ingat dan waspada... ini lebih mudah dicerna dan dipahami.

Apakah memang karya2 Seno Gumira Ajidarma seberat ini ya?