Saturday, October 28, 2006
Balthasar's Odyssey
Dengan desain sampul yang berkesan komikal dan warna-warni yang cerah, penerbit Serambi merilis novel terjemahan "Balthasar's Odyssey" di akhir bulan Ramadhan 1427 H (Oktober 2006, 618 halaman). Ditulis oleh Amin Maalouf, seorang jurnalis kawakan asal Beirut Lebanon, dan terbit pertama kali di tahun 2000. Serambi membubuhkan tambahan sub judul "Nama Tuhan yang Keseratus" pada novel ini, menambah kuat kesan pertama bahwa ini mestinya adalah novel dengan nafas spiritual Islam yang cukup kental.
Tapi kesan pertama tidaklah selalu benar...
Perjalanan Baldasarre Embriaco
Tokoh utamanya tentu saja adalah Balthasar. Seorang pria berusia empat puluhan yang mengelola sebuah toko buku dan barang antik di Gibelet, Lebanon. Balthasar sejak lahir telah menjadi penduduk Gibelet. Tapi ia tetap merasa sebagai orang Genoa, Itali, tempat para leluhurnya berasal. Baldasarre Embriaco adalah namanya sebagai orang Itali.
Balthasar nyaris tidak pernah meninggalkan Gibelet. Namun demi mencari dan mengejar sebuah buku berjudul "Nama Tuhan yang Keseratus", ia akhirnya terbawa dalam perjalanan panjang dari Lebanon, ke Turki, ke Itali, ke Portugal, ke Belanda, ke Inggris, hingga ke Perancis, selama lebih dari setahun.
Buku tersebut adalah karya Mazandarani yang dicari-cari banyak orang. Katanya buku itu mengungkap rahasia Nama Tuhan yang ke-seratus, penggenap 99 Nama Tuhan yang dikenal dalam ajaran Islam. Pada masa itu, tahun 1665, ramai diperbincangkan orang tentang ramalan bahwa dunia akan kiamat pada tahun 1666. Dan Nama Tuhan yang Keseratus dipercaya sebagai salah satu penolak bala yang akan menyelamatkan dunia dari kehancuran.
Balthasar sebenarnya sempat memiliki buku tersebut dengan cara yang tidak ia sangka2. Namun kebodohannya sendiri membuat buku itu dibawa oleh seorang pejabat dari Perancis. Sebagai orang yang cemas dan terpengaruh oleh ramalan kiamat tahun depan, Balthasar pun akhirnya memutuskan pergi untuk mencari dan mengambil kembali buku itu. Meskipun sebenarnya Balthasar adalah seorang Katolik.
Maka dimulailah perjalanan Balthasar mengejar buku "Nama Tuhan yang Keseratus". Dalam perjalanan itu Balthasar selalu menyempatkan diri untuk membuat catatan perjalanan. Catatan perjalanan Balthasar yang tertulis dalam empat buah buku itulah yang kemudian menjadi novel ini.
Dalam perjalanan panjang itu Balthasar harus menghadapi berbagai masalah yang tak akan pernah ia hadapi kalau ia tetap tinggal tenang di Gibelet menjaga tokonya. Jatuh cinta pada istri orang, dikurung dan diperas habis2an oleh petugas yang korup, diikat dan dibuang sendirian ke negri lain, terperangkap dalam kebakaran besar, dan berbagai kejadian lain yang seolah menjadi pertanda kiamat bagi Balthasar, tapi juga menghantarkan Balthasar kepada takdirnya yang baru.
Terkecoh
Terus terang aku terkecoh oleh novel ini. Terkecoh oleh momen Ramadhan yang dipilih Serambi untuk merilis novel ini. Terkecoh oleh sub judul "Nama Tuhan yang Keseratus". Dan terkecoh oleh sampulnya yang bergambar orang2 bersorban. Hal-hal itu bikin aku awalnya berpikir bahwa ini adalah kisah filosofis dengan muatan spiritual Islam yang kental.
Yang dikisahkan oleh novel ini ternyata jauh dari itu. Tokoh utamanya bukan seorang muslim. Bahkan sebagai seorang Katolik, Balthasar bukanlah penganut yang taat. Ia lebih percaya akan ramalan dan segala macam teori tentang kiamat yang tak jelas asalnya.
Ekspektasiku akan novel inipun terpaksa harus aku rubah. Aku baca dan ikuti saja sebagaimana kisah fiksi yang lain. Dan ternyata, bagus kok.
Rumit, Mengejutkan, dan Kaya
Sebuah catatan perjalanan yang sangat kaya. Setting pertengahan abad ke-17 disajikan dengan sempurna oleh Maalouf. Menggambarkan dengan lengkap berbagai macam perilaku dan budaya orang dari berbagai latarbelakang yang berbeda. Perbedaan etnis, perbedaan negara, juga perbedaan agama diramu dalam berbagai konflik selama perjalanan Balthasar.
Penulisnya dengan cukup lengkap melibatkan peristiwa2 yang tercatat dalam sejarah di kisah perjalanan ini. Munculnya Sabbataï Zevi di Turki pada tahun 1665, yang mengaku dirinya adalah Ratu Adil bagi umat Yahudi dan hendak menguasai Kesultanan Turki. Permusuhan dan peperangan antara Belanda dan Inggris di tahun 1666. Serta Kebakaran Hebat yang melanda London di tahun 1666.
Jalinan konfliknya rumit dan sulit diduga. Balthasar sering sekali terjatuh dalam berbagai kesialan, terpuruk dan kehilangan tujuan, juga terjebak dalam kisah2 cinta yang penuh hasrat. Pembaca seolah ikut dibawa dalam sebuah perjalanan tanpa penunjuk arah, dan harus siap dengan kejutan yang menghadang di tikungan berikut.
Cara penulisannya cukup meyakinkan sebagai sebuah catatan perjalanan. Lompatan2 kisah disesuaikan dengan mood dan kesempatan menulis dari Balthasar membuat catatan perjalanan ini seolah benar2 terjadi. Minimnya dialog kadang membuat penuturannya membosankan, apalagi jika Balthasar sudah meracau tentang segala hal yang ada di pikirannya. Ditambah lagi kadang fokus cerita yang melebar kemana2, sesuai dengan apa yang terjadi di perjalanan Balthasar, bikin pembaca bingung akan dibawa kemana. Tapi ya mungkin begitulah yang namanya catatan perjalanan.
Meskipun tokoh utamanya bukanlah satu sosok ideal, berbagai pelajaran dan hikmat bisa dipetik dari sini. Pelajaran tentang toleransi dalam menghadapi gesekan antar budaya dan antar agama. Ada juga sedikit perenungan filosofis tentang kehidupan. Jelas penulisnya adalah orang yang berwawasan sangat luas.
Tentang kontroversi 'Nama Tuhan yang Keseratus' juga diberikan sedikit uraian yang cukup menjelaskan. Tapi menurutku tak seharusnya Serambi menambahkannya sebagai sub judul, karena itu bukanlah fokus utama cerita ini.
Tapi kesan pertama tidaklah selalu benar...
Perjalanan Baldasarre Embriaco
Tokoh utamanya tentu saja adalah Balthasar. Seorang pria berusia empat puluhan yang mengelola sebuah toko buku dan barang antik di Gibelet, Lebanon. Balthasar sejak lahir telah menjadi penduduk Gibelet. Tapi ia tetap merasa sebagai orang Genoa, Itali, tempat para leluhurnya berasal. Baldasarre Embriaco adalah namanya sebagai orang Itali.
Balthasar nyaris tidak pernah meninggalkan Gibelet. Namun demi mencari dan mengejar sebuah buku berjudul "Nama Tuhan yang Keseratus", ia akhirnya terbawa dalam perjalanan panjang dari Lebanon, ke Turki, ke Itali, ke Portugal, ke Belanda, ke Inggris, hingga ke Perancis, selama lebih dari setahun.
Buku tersebut adalah karya Mazandarani yang dicari-cari banyak orang. Katanya buku itu mengungkap rahasia Nama Tuhan yang ke-seratus, penggenap 99 Nama Tuhan yang dikenal dalam ajaran Islam. Pada masa itu, tahun 1665, ramai diperbincangkan orang tentang ramalan bahwa dunia akan kiamat pada tahun 1666. Dan Nama Tuhan yang Keseratus dipercaya sebagai salah satu penolak bala yang akan menyelamatkan dunia dari kehancuran.
Balthasar sebenarnya sempat memiliki buku tersebut dengan cara yang tidak ia sangka2. Namun kebodohannya sendiri membuat buku itu dibawa oleh seorang pejabat dari Perancis. Sebagai orang yang cemas dan terpengaruh oleh ramalan kiamat tahun depan, Balthasar pun akhirnya memutuskan pergi untuk mencari dan mengambil kembali buku itu. Meskipun sebenarnya Balthasar adalah seorang Katolik.
Maka dimulailah perjalanan Balthasar mengejar buku "Nama Tuhan yang Keseratus". Dalam perjalanan itu Balthasar selalu menyempatkan diri untuk membuat catatan perjalanan. Catatan perjalanan Balthasar yang tertulis dalam empat buah buku itulah yang kemudian menjadi novel ini.
Dalam perjalanan panjang itu Balthasar harus menghadapi berbagai masalah yang tak akan pernah ia hadapi kalau ia tetap tinggal tenang di Gibelet menjaga tokonya. Jatuh cinta pada istri orang, dikurung dan diperas habis2an oleh petugas yang korup, diikat dan dibuang sendirian ke negri lain, terperangkap dalam kebakaran besar, dan berbagai kejadian lain yang seolah menjadi pertanda kiamat bagi Balthasar, tapi juga menghantarkan Balthasar kepada takdirnya yang baru.
Terkecoh
Terus terang aku terkecoh oleh novel ini. Terkecoh oleh momen Ramadhan yang dipilih Serambi untuk merilis novel ini. Terkecoh oleh sub judul "Nama Tuhan yang Keseratus". Dan terkecoh oleh sampulnya yang bergambar orang2 bersorban. Hal-hal itu bikin aku awalnya berpikir bahwa ini adalah kisah filosofis dengan muatan spiritual Islam yang kental.
Yang dikisahkan oleh novel ini ternyata jauh dari itu. Tokoh utamanya bukan seorang muslim. Bahkan sebagai seorang Katolik, Balthasar bukanlah penganut yang taat. Ia lebih percaya akan ramalan dan segala macam teori tentang kiamat yang tak jelas asalnya.
Ekspektasiku akan novel inipun terpaksa harus aku rubah. Aku baca dan ikuti saja sebagaimana kisah fiksi yang lain. Dan ternyata, bagus kok.
Rumit, Mengejutkan, dan Kaya
Sebuah catatan perjalanan yang sangat kaya. Setting pertengahan abad ke-17 disajikan dengan sempurna oleh Maalouf. Menggambarkan dengan lengkap berbagai macam perilaku dan budaya orang dari berbagai latarbelakang yang berbeda. Perbedaan etnis, perbedaan negara, juga perbedaan agama diramu dalam berbagai konflik selama perjalanan Balthasar.
Penulisnya dengan cukup lengkap melibatkan peristiwa2 yang tercatat dalam sejarah di kisah perjalanan ini. Munculnya Sabbataï Zevi di Turki pada tahun 1665, yang mengaku dirinya adalah Ratu Adil bagi umat Yahudi dan hendak menguasai Kesultanan Turki. Permusuhan dan peperangan antara Belanda dan Inggris di tahun 1666. Serta Kebakaran Hebat yang melanda London di tahun 1666.
Jalinan konfliknya rumit dan sulit diduga. Balthasar sering sekali terjatuh dalam berbagai kesialan, terpuruk dan kehilangan tujuan, juga terjebak dalam kisah2 cinta yang penuh hasrat. Pembaca seolah ikut dibawa dalam sebuah perjalanan tanpa penunjuk arah, dan harus siap dengan kejutan yang menghadang di tikungan berikut.
Cara penulisannya cukup meyakinkan sebagai sebuah catatan perjalanan. Lompatan2 kisah disesuaikan dengan mood dan kesempatan menulis dari Balthasar membuat catatan perjalanan ini seolah benar2 terjadi. Minimnya dialog kadang membuat penuturannya membosankan, apalagi jika Balthasar sudah meracau tentang segala hal yang ada di pikirannya. Ditambah lagi kadang fokus cerita yang melebar kemana2, sesuai dengan apa yang terjadi di perjalanan Balthasar, bikin pembaca bingung akan dibawa kemana. Tapi ya mungkin begitulah yang namanya catatan perjalanan.
Meskipun tokoh utamanya bukanlah satu sosok ideal, berbagai pelajaran dan hikmat bisa dipetik dari sini. Pelajaran tentang toleransi dalam menghadapi gesekan antar budaya dan antar agama. Ada juga sedikit perenungan filosofis tentang kehidupan. Jelas penulisnya adalah orang yang berwawasan sangat luas.
Tentang kontroversi 'Nama Tuhan yang Keseratus' juga diberikan sedikit uraian yang cukup menjelaskan. Tapi menurutku tak seharusnya Serambi menambahkannya sebagai sub judul, karena itu bukanlah fokus utama cerita ini.
<< Home