Monday, July 17, 2006

Snow Flower

Judul aslinya "Snow Flower and The Secret Fan" karya dari Lisa See terbitan tahun 2005. Diterjemahkan oleh Qanita dengan judul "Snow Flower", Juni 2006, 551 halaman. Sampulnya bergambar gadis cina bergaun merah sedang memegang kipas yang berwarna merah juga. Dan memang novel ini berkisah tentang kehidupan gadis-gadis Tiongkok selama abad 19 yang setiap gerakannya sangat dibatasi oleh tradisi.

Ini adalah roman tragedi tentang hubungan sepasang gadis yang menjadi kembaran sehati atau 'laotong'. Mereka adalah Lily dan Bunga Salju yang sejak berumur delapan tahun telah dijodohkan untuk mengikat janji sebagai sepasang laotong yang akan saling setia sepanjang masa.

Bukan, laotong bukanlah sepasang kekasih sejenis. Mereka dipasangkan untuk menjadi sepasang gadis yang terikat satu sama lain secara emosional, dan tidak ada interaksi yang menjurus erotis. Tidak sembarang gadis bisa memiliki laotong, hanya mereka yang cukup sempurna dan memenuhi kriteria tertentu yang bisa. Dengan memiliki laotong, derajat seorang gadis akan meningkat dan layak menjadi menantu dari keluarga terpandang.

Tentang Wanita dan Tradisi Cina

Kisah ini dibuka dengan penderitaan yang harus dialami Lily saat ia baru berumur tujuh tahun dan harus menjalani tradisi pengikatan kaki. Setelah kakinya dalam proses pengikatan, keluarga Lily mendapat tawaran dari Madame Wang untuk mencarikan Lily seorang laotong. Seorang gadis bernama Bunga Salju dari desa Tongkou tampaknya berjodoh dengan Lily karena kebetulan dilahirkan pada hari dan tahun yang sama dengan Lily. Mereka berdua juga diikat pada hari yang sama. Pada usia delapan tahun mereka pun resmi menjadi sepasang laotong.

Bunga Salju berasal dari keluarga terpandang, sementara keluarga Lily adalah keluarga sederhana. Mama Lily sangat berharap bahwa perjodohan laotong itu bisa mengangkat derajat Lily sehingga pantas menjadi menantu dari keluarga yang jauh lebih beruntung daripada keluarganya.

Beberapa kali dalam setahun, Bunga Salju datang dan menginap di rumah Lily. Mereka berdua saling belajar satu sama lain sembari menunggu datangnya jodoh. Lily belajar tentang perilaku orang-orang terhormat dari Bunga Salju, sementara Bunga Salju belajar tentang kegiatan rumah tangga dari keluarga Lily. Di luar itu mereka berkomunikasi melalui sebuah kipas rahasia yang di atasnya mereka tuliskan pesan dalam huruf2 rahasia nu shu secara bergantian. Kipas itu mereka kirimkan bolak-balik dari Puwei ke Tongkou (lho? kok kayak Nils dan Berit di buku sebelumnya??? :D )

Lily akhirnya mendapatkan apa yang diangankan kedua orang tuanya, ia dipinang oleh anak kepala desa Tongkou yang sangat terhormat. Sementara Bunga Salju ternyata malah kurang beruntung karena mendapatkan jodoh dari keluarga sederhana dari desa Jintian.

Pertanyaanpun mulai berhamburan. Mengapa selalu Bunga Salju yang datang ke rumah Lily, sementara Lily tidak pernah diajak ke rumah Bunga Salju? Bagaimana bisa Bunga Salju yang berasal dari keluarga terpandang mendapatkan jodoh dari kelas yang lebih rendah? Mampukah Lily dan Bunga Salju menjalani kehidupan yang penuh tekanan dalam keluarga suami mereka masing2? Bagaimana kelanjutan hubungan laotong mereka setelah status sosial Lily dan Bunga Salju berubah dan bertukar?

Tradisi Pengikatan Kaki

Kisah ini sarat dengan deskripsi tentang tradisi kuno di Cina pada abad 19. Berbagai macam ritual dan kepercayaan yang mungkin bagi kita yang hidup di jaman modern ini terdengar aneh dan tidak masuk akal. Dan banyak dari tradisi itu yang meletakkan wanita hanya sebagai manusia kelas dua.

Sungguh ngeri membaca penuturan tentang bagaimana pengikatan kaki dilakukan terhadap gadis-gadis kecil di Cina pada masa itu. Kaki diikat dan dipaksa sedemikian rupa agar bisa berubah bentuk menjadi seperti bunga Lili Emas yang mungil dan cantik. Karena kaki yang berbentuk bunga Lili Emas adalah salah satu kriteria untuk menjadi wanita terhormat. Dan wanita berkaki lebar yang tidak menjalani pengikatan kaki hanyalah pantas menjadi pelayan. Semua itu demi status dan kecantikan yang relatif.



Pengikatan kaki juga melambangkan kepatuhan seorang wanita dan kemampuannya bertahan dalam penderitaan. Mama Lily tak pernah bosan memberikan petuah "hanya lewat penderitaan kau akan mendapatkan kecantikan". Tapi patuh dan bertahan belumlah cukup, karena perlu keberuntungan untuk mendapatkan kaki bunga lili emas. Sebagian meninggal karena infeksi, dan sebagian lagi kakinya malah rusak tak berbentuk. Penderitaan yang sia-sia.

Budaya yang Tidak Memihak Wanita

Terkungkungnya kehidupan wanita menjadi menu utama dari kisah ini. Sebagaimana kebanyakan dari budaya dan tradisi kuno di berbagai penjuru dunia, wanita cina diletakkan hanya sebagai warga kelas dua dan sekedar pelengkap dunia laki-laki.

Kehidupan laki-laki dan kehidupan wanita dipisahkan dengan jelas. Wanita hanya boleh tinggal di ruangan lantai atas dan dapur. Tidak boleh keluar rumah tanpa pengawalan. Di ruangan lantai atas mereka membordir, membuat sepatu, atau sekedar bernyanyi dan berbagi cerita. Di luar itu adalah dunia laki-laki yang tidak perlu mereka ketahui.

Bisa dibilang wanita diperlakukan layaknya hanya sebagai alat pembuat anak laki-laki selanjutnya. Anak laki-laki adalah kebanggaan keluarga. Wanita yang tidak mampu melahirkan anak laki-laki harus siap dibuang dari keluarga suaminya. Sedangkan wanita yang mampu melahirkan banyak anak laki-laki telah mendapat tiket untuk menjalani masa depannya dengan lebih baik, karena telah memiliki pelindung dan penopang hidup.

Sepasang Kembaran Sehati

Drama yang dibangun dalam novel ini lebih menyorot tentang hubungan Lily dan Bunga Salju sebagai sepasang laotong. Tradisi dan penderitaan menjadi latar belakang layaknya arus air di sekitar mereka yang membuat hubungan mereka naik atau turun atau malah terhempas di bebatuan. Penderitaan yang dialami Lily dan Bunga Salju tidak didramatisir hingga mendayu-dayu, karena mereka bisa tetap tegar menghadapinya dan tetap merasakan kebahagiaan karena ada kembaran sehati yang selalu setia dan mendukung.

Drama dengan emosi mendalam baru tergambar saat Lily dan Bunga Salju terbentur masalah rumit dalam hubungan mereka. Sebuah kesalah pahaman mampu memporak-porandakan hubungan mereka yang sebenarnya telah berhasil melalui berbagai macam peristiwa tragis.

Hubungan sepasang laotong memang sebuah hubungan yang sangat istimewa. Bahkan dikatakan bahwa ikatan sepasang gadis sebagai kembaran sehati posisinya lebih tinggi daripada ikatan pernikahan. Pembaca yang bebas ber-'fantasi' mungkin akan segera mengidentikkan Lily dan Bunga Salju adalah sepasang, maaf, lesbian. Karena memang mereka berdua banyak mengumbar kata2 cinta dan kata2 puitis romantis satu sama lain. Tapi hanya sebatas itu, sebatas keterikatan hati, tidak lebih.

Pedih, Penuh Perjuangan

Kisah tentang wanita2 cina yang menyentuh, penuh dengan kepedihan tapi mereka berusaha menghadapinya dengan ketegaran. Perjuangan hidup untuk menjaga dan meraih kehormatan sebagai wanita yang dihargai semua orang sungguh penuh batu cadas. Bukan hanya harus mampu bertahan di bawah aturan tradisi yang merendahkan kedudukan mereka, tapi juga harus mampu bersaing dengan wanita-wanita lain yang juga tidak ingin ditindas selamanya.

Melalui novel ini kita juga akan dibawa menyelami tradisi dan kebudayaan Cina di abad 19 yang dikupas dengan detil. Rumitnya persiapan pernikahan hingga hari pernikahan, njelimetnya aturan kehidupan yang berkelas-kelas, sengsaranya menjadi wanita yang hanya diharapkan sebagai penghasil anak laki-laki, semua itu memberikan gambaran yang jelas tentang kehidupan di Cina pada abad 19.

Alur kisahnya terasa sedikit lambat, karena tampaknya penulis ingin memasukkan sebanyak mungkin paparan tentang budaya Cina yang eksotis. Tapi tidak menjadi membosankan, karena detil tentang budaya itu cukup menarik juga untuk diikuti. Pembaca wanita mungkin akan menjadi marah terhadap budaya yang sangat merendahkan kaum wanita itu, dan kemudian gemas dengan kepasrahan tokoh2 wanita yang tidak mampu menentang tradisi. Namun ya itulah yang terjadi pada masa itu, ini hanya cerita tentang masa lalu yang semoga bisa menjadi guru untuk masa sekarang.

PS.
Eh, sebentar... waktu aku selesai membaca novel ini, menutupnya dan meletakkannya di tumpukan novel2, kok kayaknya ada yang aneh...
Ah! itu dia!... kenapa kok tulisan di samping sampulnya terbalik ya kalau dibandingkan yang lain?
Sengaja pengen tampil bedakah? atau memang tidak ada aturan baku untuk posisi tulisan di punggung buku? Tapi kan jadi aneh kalo dijajarkan dengan novel2 lain... :)