Wednesday, June 07, 2006
Digital Fortress
Udah lama sebenernya pengen baca novel karya Dan Brown yang satu ini. Tapi nggak tahu kenapa kok selalu cuma aku angkat dari rak di toko, aku bolak-balik, lantas dikembalikan lagi ke rak. Padahal harga paperback yang versi Inggris ini tidak terlalu mahal. Dalam hati ada yang bisikin, jangan-jangan nggak sehebat DVC atau A&D, buktinya nggak meledak. Apalagi kan ini karya2 awalnya Dan Brown sebelum DVC dan A&D, mungkin dia belum cukup piawai saat itu.
Dan akhirnya malah kedahuluan dengan keluarnya versi terjemahan dari "Digital Fortress" ini. Penerbitnya masih tetap Serambi, yang juga penerbit terjemahan karya Dan Brown sebelumnya. Tampaknya Serambi mencoba mengambil peluang dengan menerbitkan novel ini bersamaan dengan dirilisnya film "Da Vinci Code" yang juga berasal dari karya Dan Brown itu.
Tapi pertama kali melihat buku ini dijajaran buku baru, kesan yang muncul adalah, "ampun deh, Serambi ini nggak kreatif banget ya". Bagaimana nggak muncul kesan itu, kalo yang terpampang di depan mata pertama kali adalah layout sampul dari "Digital Fortress" ini yang dibikin mirip dengan layout sampul terjemahan "Da Vinci Code" dan "Angels & Demons". Kalo layout sampul yang seragam ini keren sih okelah, lha ini layout sampulnya bisa dibilang sederhana banget seperti text-book. Memang pake kertas glossy dan hurufnya pake warna emas, tapi layoutnya itu kok kesannya seadanya saja, nyontek dari novel sebelumnya pula. Padahal yang DVC dan A&D sudah diterbitkan ulang dengan sampul yang jauh lebih menarik dari sebelumnya.
Ah, Serambi... buku terbitannya sebenernya lumayan bagus-bagus, terjemahannya juga baik, tapi kok nggak didukung secara lengkap sih ya. Seperti Negara Kelima, novel hebat yang sayangnya dibiarkan berkeliaran sendiri tanpa promosi...
Sepotong Cerita
Berbeda dengan DVC dan A&D yang berlatarbelakang agama dan banyak bersetting di gereja, Digital Fortress sama sekali tidak bersangkut paut dengan hal itu. Novel ini berkisah tentang "Benteng Digital", sebuah algoritma penyandian canggih yang diterapkan pada email agar tidak bisa disadap oleh orang lain.
Adalah Susan Fletcher seorang wanita muda yang sangat ahli dalam hal persandian, tiba-tiba dipanggil oleh atasannya Trevor J. Strathmore untuk bekerja di hari Sabtu. Mereka berdua adalah ujung tombak dari NSA, National Security Agency, sebuah lembaga pemerintah US yang bertugas memecahkan kode sandi dari berbagai informasi yang diperoleh oleh pemerintah.
Strathmore sedang berkutat dengan sebuah kode baru yang dinamakan "Benteng Digital" yang dipublikasikan oleh Ensei Tankado, seorang ahli kriptologi juga yang mantan pegawai NSA. Algoritma kode tersebut sedemikian rumitnya, sehingga mesin pemecah kode TRANSLTR milik NSA, yang supercanggih dan berukuran delapan lantai, harus bekerja belasan jam untuk memecahkannya dan belum juga berhasil.
"Benteng Digital" adalah calon musuh besar bagi NSA, karena NSA belum sanggup memecahkannya. Sementara Ensei Tankado telah menawarkan ke seluruh dunia bagi penawar tertinggi. Jika "Benteng Digital" mendunia dan menjadi standar untuk penyandian email secara internasional, NSA akan mati kutu. Mereka tidak akan bisa lagi menyadap email dari para teroris, pedagang narkotika, penyelundup dan para penjahat lain.
Sementara itu David Becker, seorang profesor bahasa asing yang juga tunangan Susan Fletcher, tidak bisa menolak ketika diminta Strathmore sedikit bantuan. David diminta pergi ke Spanyol untuk mengambil beberapa benda penting. Benda penting milik Ensei Tankado yang mungkin menjadi kunci pemecah dari sandi "Benteng Digital". Ensei Tankado sendiri ditemukan tewas terbunuh di sebuah taman di Spanyol beberapa saat sebelumnya, sebelum sempat menjual atau mempublikasikan kode pemecah sandi "Benteng Digital".
Sangat Khas Dan Brown
Dan Brown rupanya sejak awal sudah memiliki ciri khasnya sendiri. Cara berceritanya di 3 novel yang sudah aku baca bisa dibilang mirip satu sama lain. Ketiganya dibuka dengan adegan kematian seorang tokoh yang berperan penting dalam cerita. Kemudian berlanjut dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi beruntun dalam satu rentang waktu yang pendek. Kejar-kejaran ditambah dengan usaha memecahkan sandi. Dengan plot cerita yang dipelintir-pelintir tak terduga.
Semuanya dikisahkan dalam bab-bab pendek yang berganti-ganti fokus dari satu tokoh di satu tempat ke tokoh lain di tempat lain pula. Dan setiap bab hampir selalu diakhiri dengan kejutan yang membuat pembaca semakin penasaran. Cara bercerita yang menarik yang mampu mempermainkan emosi pembaca hingga tak mau berhenti sebelum selesai.
Begitu juga dengan novel "Digital Fortress" ini. Meskipun sudah mengenal gaya bercerita Dan Brown, tapi tetap saja terbawa dalam alur ceritanya yang naik turun tiba-tiba. Ketika suatu masalah kelihatannya sudah menemukan titik terang, mendadak terjadi suatu hal yang mementahkan semuanya. Dan itu hampir selalu terjadi. Jadinya udah bisa nebak juga bahwa menjelang akhir bab akan ada kejutan yang memutarbalikkan semuanya.
Belum Sehebat DVC dan A&D
Kekhawatiranku ternyata ada benarnya. Novel ini tidak se"wah" DVC atau A&D, meskipun tetap enak diikuti khas cara bercerita Dan Brown. Tidak ada rahasia besar yang kontroversial yang diungkap disini. Tentang bahwa ada badan pemerintah AS yang ternyata menyadap setiap email yang keluar-masuk dunia maya, tidak lah terlalu mengherankan.
Permainan sandinya juga tidak sehebat DVC dengan anagramnya, apalagi dibanding A&D dengan ambigramnya yang menakjubkan itu. Hanya beberapa permainan kode sederhana. Bahkan pemecahan sandi terakhir yang seharusnya menjadi puncak dan klimaks kisah ini, ternyata begitu saja. Apalagi adegan pada ending ini menurutku rada keteteran. Kode yang sebenarnya sederhana tampak dirumit-rumitkan oleh Dan Brown. Pada kondisi yang sangat kritis, tokoh2nya malah membahas berpanjang-panjang hal yang tidak penting.
Yang cukup rumit adalah twist dari tokoh2nya. Pada satu titik pembaca akan dibingungkan harus berpihak pada siapa. Siapa antagonis dan siapa protagonis. Mana yang berniat menolong dan mana yang sebenarnya ingin mencelakakan.
Film dan Bonus
Memang cukup terasa bahwa disini Dan Brown belum sematang saat mengerjakan DVC dan A&D. Tapi Dan Brown sudah menemukan ciri dan bentuknya disini. Sebuah cara bercerita yang mampu membawa pembacanya hanyut dalam arus yang deras dan bergelombang naik dan turun tak terduga.
Dengan gaya bercerita seperti itu, novel2 Dan Brown sudah terasa filmis. Di setiap akhir bab selalu terbayang bahwa setelah kejutan dramatis di akhir bab itu layar akan meredup dan kemudian berpindah ke adegan tokoh lain yang juga sedang dicekam ketegangan. Dan ketika novel tersebut difilmkan dan harus dipadatkan demi durasi, maka suasana dramatis di setiap akhir bab itupun hilang. Berganti dengan rentetan peristiwa berurutan saja. Mungkin itulah yang membuat film DVC tidak sehebat novelnya...
Selain bonus berupa stiker bergambar sampul buku "Da Vinci Code" (kenapa bukan pembatas buku aja sih?), di bagian akhir buku ini ada sebuah kejutan tambahan. Ada 21 halaman ekstra yang berisi terjemahan 4 bab awal dari "Deception Point", novel kedua dari Dan Brown. Membaca teaser ini, ternyata memang Dan Brown sangat teguh dengan ciri khasnya, hingga pembaca sedikit banyak akan merasa deja vu.
Lebih nungguin novel Dan Brown yang sekarang lagi digarap sih, yang katanya bakal berjudul "The Solomon Key"...
Dan akhirnya malah kedahuluan dengan keluarnya versi terjemahan dari "Digital Fortress" ini. Penerbitnya masih tetap Serambi, yang juga penerbit terjemahan karya Dan Brown sebelumnya. Tampaknya Serambi mencoba mengambil peluang dengan menerbitkan novel ini bersamaan dengan dirilisnya film "Da Vinci Code" yang juga berasal dari karya Dan Brown itu.
Tapi pertama kali melihat buku ini dijajaran buku baru, kesan yang muncul adalah, "ampun deh, Serambi ini nggak kreatif banget ya". Bagaimana nggak muncul kesan itu, kalo yang terpampang di depan mata pertama kali adalah layout sampul dari "Digital Fortress" ini yang dibikin mirip dengan layout sampul terjemahan "Da Vinci Code" dan "Angels & Demons". Kalo layout sampul yang seragam ini keren sih okelah, lha ini layout sampulnya bisa dibilang sederhana banget seperti text-book. Memang pake kertas glossy dan hurufnya pake warna emas, tapi layoutnya itu kok kesannya seadanya saja, nyontek dari novel sebelumnya pula. Padahal yang DVC dan A&D sudah diterbitkan ulang dengan sampul yang jauh lebih menarik dari sebelumnya.
Ah, Serambi... buku terbitannya sebenernya lumayan bagus-bagus, terjemahannya juga baik, tapi kok nggak didukung secara lengkap sih ya. Seperti Negara Kelima, novel hebat yang sayangnya dibiarkan berkeliaran sendiri tanpa promosi...
Sepotong Cerita
Berbeda dengan DVC dan A&D yang berlatarbelakang agama dan banyak bersetting di gereja, Digital Fortress sama sekali tidak bersangkut paut dengan hal itu. Novel ini berkisah tentang "Benteng Digital", sebuah algoritma penyandian canggih yang diterapkan pada email agar tidak bisa disadap oleh orang lain.
Adalah Susan Fletcher seorang wanita muda yang sangat ahli dalam hal persandian, tiba-tiba dipanggil oleh atasannya Trevor J. Strathmore untuk bekerja di hari Sabtu. Mereka berdua adalah ujung tombak dari NSA, National Security Agency, sebuah lembaga pemerintah US yang bertugas memecahkan kode sandi dari berbagai informasi yang diperoleh oleh pemerintah.
Strathmore sedang berkutat dengan sebuah kode baru yang dinamakan "Benteng Digital" yang dipublikasikan oleh Ensei Tankado, seorang ahli kriptologi juga yang mantan pegawai NSA. Algoritma kode tersebut sedemikian rumitnya, sehingga mesin pemecah kode TRANSLTR milik NSA, yang supercanggih dan berukuran delapan lantai, harus bekerja belasan jam untuk memecahkannya dan belum juga berhasil.
"Benteng Digital" adalah calon musuh besar bagi NSA, karena NSA belum sanggup memecahkannya. Sementara Ensei Tankado telah menawarkan ke seluruh dunia bagi penawar tertinggi. Jika "Benteng Digital" mendunia dan menjadi standar untuk penyandian email secara internasional, NSA akan mati kutu. Mereka tidak akan bisa lagi menyadap email dari para teroris, pedagang narkotika, penyelundup dan para penjahat lain.
Sementara itu David Becker, seorang profesor bahasa asing yang juga tunangan Susan Fletcher, tidak bisa menolak ketika diminta Strathmore sedikit bantuan. David diminta pergi ke Spanyol untuk mengambil beberapa benda penting. Benda penting milik Ensei Tankado yang mungkin menjadi kunci pemecah dari sandi "Benteng Digital". Ensei Tankado sendiri ditemukan tewas terbunuh di sebuah taman di Spanyol beberapa saat sebelumnya, sebelum sempat menjual atau mempublikasikan kode pemecah sandi "Benteng Digital".
Sangat Khas Dan Brown
Dan Brown rupanya sejak awal sudah memiliki ciri khasnya sendiri. Cara berceritanya di 3 novel yang sudah aku baca bisa dibilang mirip satu sama lain. Ketiganya dibuka dengan adegan kematian seorang tokoh yang berperan penting dalam cerita. Kemudian berlanjut dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi beruntun dalam satu rentang waktu yang pendek. Kejar-kejaran ditambah dengan usaha memecahkan sandi. Dengan plot cerita yang dipelintir-pelintir tak terduga.
Semuanya dikisahkan dalam bab-bab pendek yang berganti-ganti fokus dari satu tokoh di satu tempat ke tokoh lain di tempat lain pula. Dan setiap bab hampir selalu diakhiri dengan kejutan yang membuat pembaca semakin penasaran. Cara bercerita yang menarik yang mampu mempermainkan emosi pembaca hingga tak mau berhenti sebelum selesai.
Begitu juga dengan novel "Digital Fortress" ini. Meskipun sudah mengenal gaya bercerita Dan Brown, tapi tetap saja terbawa dalam alur ceritanya yang naik turun tiba-tiba. Ketika suatu masalah kelihatannya sudah menemukan titik terang, mendadak terjadi suatu hal yang mementahkan semuanya. Dan itu hampir selalu terjadi. Jadinya udah bisa nebak juga bahwa menjelang akhir bab akan ada kejutan yang memutarbalikkan semuanya.
Belum Sehebat DVC dan A&D
Kekhawatiranku ternyata ada benarnya. Novel ini tidak se"wah" DVC atau A&D, meskipun tetap enak diikuti khas cara bercerita Dan Brown. Tidak ada rahasia besar yang kontroversial yang diungkap disini. Tentang bahwa ada badan pemerintah AS yang ternyata menyadap setiap email yang keluar-masuk dunia maya, tidak lah terlalu mengherankan.
Permainan sandinya juga tidak sehebat DVC dengan anagramnya, apalagi dibanding A&D dengan ambigramnya yang menakjubkan itu. Hanya beberapa permainan kode sederhana. Bahkan pemecahan sandi terakhir yang seharusnya menjadi puncak dan klimaks kisah ini, ternyata begitu saja. Apalagi adegan pada ending ini menurutku rada keteteran. Kode yang sebenarnya sederhana tampak dirumit-rumitkan oleh Dan Brown. Pada kondisi yang sangat kritis, tokoh2nya malah membahas berpanjang-panjang hal yang tidak penting.
Yang cukup rumit adalah twist dari tokoh2nya. Pada satu titik pembaca akan dibingungkan harus berpihak pada siapa. Siapa antagonis dan siapa protagonis. Mana yang berniat menolong dan mana yang sebenarnya ingin mencelakakan.
Film dan Bonus
Memang cukup terasa bahwa disini Dan Brown belum sematang saat mengerjakan DVC dan A&D. Tapi Dan Brown sudah menemukan ciri dan bentuknya disini. Sebuah cara bercerita yang mampu membawa pembacanya hanyut dalam arus yang deras dan bergelombang naik dan turun tak terduga.
Dengan gaya bercerita seperti itu, novel2 Dan Brown sudah terasa filmis. Di setiap akhir bab selalu terbayang bahwa setelah kejutan dramatis di akhir bab itu layar akan meredup dan kemudian berpindah ke adegan tokoh lain yang juga sedang dicekam ketegangan. Dan ketika novel tersebut difilmkan dan harus dipadatkan demi durasi, maka suasana dramatis di setiap akhir bab itupun hilang. Berganti dengan rentetan peristiwa berurutan saja. Mungkin itulah yang membuat film DVC tidak sehebat novelnya...
Selain bonus berupa stiker bergambar sampul buku "Da Vinci Code" (kenapa bukan pembatas buku aja sih?), di bagian akhir buku ini ada sebuah kejutan tambahan. Ada 21 halaman ekstra yang berisi terjemahan 4 bab awal dari "Deception Point", novel kedua dari Dan Brown. Membaca teaser ini, ternyata memang Dan Brown sangat teguh dengan ciri khasnya, hingga pembaca sedikit banyak akan merasa deja vu.
Lebih nungguin novel Dan Brown yang sekarang lagi digarap sih, yang katanya bakal berjudul "The Solomon Key"...
<< Home