Monday, March 27, 2006

Flowers for Algernon

Buku aslinya sudah diterbitin lama banget. Pertama kali terbit tahun 1959, dan berhasil menangin Hugo Award. Tahun 1966 buku ini diterbitkan ulang dalam versi yang sudah dikembangkan jadi lebih tebal, dan meraih Nebula Award. Dan pada tahun 1968 sebuah film berjudul "CHARLY" (tepatnya dengan huruf R yang terbalik kanan-kiri) diangkat berdasarkan novel ini. Cliff Robertson yang memerankan Charlie dalam film itu berhasil membawa pulang Oscar Aktor Pria Terbaik.

Penulisnya adalah Daniel Keyes. Merasa pernah dengar nama ini? Yap, ini adalah penulis yang juga menulis buku "24 Wajah Billy". Tampaknya menulis kisah drama psikologis dari seorang penderita kelainan kejiwaan menjadi spesialisasi dari Daniel Keyes.

Dan yang aku baca ini adalah versi terjemahannya. Diterbitkan oleh Ufuk Press, Februari 2006, tetap dengan judul "Flowers for Algernon" dan dilengkapi subjudul "Charlie, Si Jenius Dungu".

Catatan Harian Seorang Terbelakang

Buku ini dibuat dalam bentuk catatan harian. Catatan Harian Charlie Gordon seorang laki-laki berusia 30-an yang mengalami keterbelakangan mental. Berkat kemauan kerasnya untuk menjadi pandai, dia berhasil menguasai kemampuan membaca dan menulis sehingga dia bisa membuat catatan harian ini. Dan tentu saja catatan harian ini akan tertulis sesuai dengan kemampuan intelektual seorang Charlie yang ber-IQ 68. Sehingga harap dimaklumi jika dalam tulisannya banyak terdapat kesalahan eja, kesalahan grammar, topik yang melompat-lompat, atau arah yang tidak jelas.

Jadi jangan merasa kesal kalau membaca bagian awal buku ini akan menemukan banyak kesalahan ketik. Bukan editor yang tidak cermat, tapi memang itu yang diinginkan penulis untuk mengajak pembaca menyelami daya berpikir Charlie. Melalui tulisan yang menggambarkan dunia langsung melalui mata dan pikiran Charlie, pembaca akan ikut merasakan betapa sederhananya Charlie menanggapi kejadian2 di sekitarnya.

Lalu bagaimana bisa orang sesederhana Charlie terpikir untuk membuat catatan harian? Untuk apa?
Memang catatan harian itu dibuat bukan atas keinginannya sendiri. Bahkan Charlie dengan keterbatasannya sering merasa berat saat mengisinya. Tapi dia tetap memaksakan diri untuk melakukannya, karena Professor Nemur dan Dr. Strauss yang menyuruhnya. Dan karena Professor Nemur telah menjanjikan akan mengoperasinya untuk menjadikan Charlie seorang yang pandai.

Dari Dungu Menjadi Jenius

Professor Nemur dan Dr. Strauss telah menemukan satu metode yang mampu meningkatkan kecerdasan. Metode penyuntikan enzim itu telah berkali-kali diujicobakan ke tikus dan terus menerus dikembangkan. Tikus terakhir yang berhasil bertahan lama dengan kecerdasan yang telah ditingkatkan adalah seekor tikus putih yang diberi nama Algernon. Keberhasilan terhadap Algernon mendorong mereka untuk menguji coba metode ini kepada manusia. Dan Charlie-lah yang terpilih menjadi obyek pengujian.

Charlie pun menjalani operasi untuk ujicoba peningkatan kecerdasan pada manusia.

Perkembangan Charlie sebagai hasil dari operasi itu bisa diikuti pembaca dalam tulisan di catatan hariannya. Hari demi hari kesalahannya dalam menulis semakin berkurang. Terasa juga Charlie mulai bisa memahami dunia nyata dengan lebih baik. Perkembangan kecerdasannya membuatnya haus untuk belajar. Jika sebelum operasi charlie selalu kalah dengan Algernon dalam memecahkan teka-teki labirin, setelah operasi Charlie mulai dapat mengalahkannya.

Dan tiga bulan kemudian Charlie mewujud menjadi seorang jenius. Tidak secara tiba-tiba, tapi melalui suatu proses belajar yang cepat. Segala macam buku di perpustakaan dilahapnya. Sekian banyak bidang ilmu telah dipahaminya. Sejumlah bahasa asing telah dikuasainya... Dan Charlie terheran-heran ketika melihat kenyataan orang2 di sekitarnya ternyata hanya menguasai bidang ilmu yang menjadi spesialisasinya saja, dan hanya menguasai satu-dua bahasa. Kecerdasan Charlie telah melampaui manusia normal.

Drama Psikologis

Namun ini bukanlah novel Science-Fiction. Memang ada unsur science disini tapi tidak menjadi fokus utama. Metode peningkatan kecerdasan yang ditemukan Profesor Nemur tidak pernah dibahas secara detil, hanya sekilas saja. Karena memang pada kenyataannya hal itu belum pernah ada, hanya ada di sebuah cerita fiksi.

Novel ini berfokus pada drama psikologis menyusuri perubahan2 yang dialami Charlie saat ia berubah menjadi manusia jenius. Bukan hanya proses peningkatan kecerdasan dalam hal ilmu pengetahuan, tapi juga proses peningkatan pemahaman Charlie terhadap lingkungannya. Ia belajar memahami perasaan orang lain, belajar menahan diri dari emosi, juga belajar tentang lawan jenis.

Charlie juga bisa mengingat kembali satu demi satu kisah masa lalunya seperti sebuah rekaman video yang diputar ulang dalam otaknya. Rekaman flash back itu ia tuliskan dengan detil dalam catatan hariannya. Kelamnya masa kecil Charlie yang dulu tidak pernah bisa ia pahami sekarang terbuka dengan lebar. Ibunya membenci keberadaannya terutama setelah ia memiliki adik perempuan yang normal. Adik perempuannya yang ia harapkan bisa menjadi teman bermain ternyata juga membencinya. Hanya ayahnya yang berusaha keras melindunginya, tapi itu pun tak bertahan lama. Pada usia belasan tahun ia dibuang oleh keluarganya.

Menjadi Hebat Tidak Selalu Indah

Seiring dengan kemajuan kecerdasannya, Charlie sering berbenturan disana-sini dengan kenyataan yang tidak ia harapkan. Ia melihat orang-orang yang melakukan kecurangan demi kepentingan pribadi. Ia menyaksikan orang2 mentertawakan seorang anak idiot sebagaimana dirinya dulu dan sadar bahwa itu adalah penghinaan, bukan ajakan untuk bergembira bersama. Ia juga harus menelan kekecewaan saat bertemu kembali dengan keluarganya.

Dia juga harus menghadapi kenyataan bahwa kejeniusannya membuat orang2 yang dulu hangat dan menerima dirinya apa adanya sekarang malah menjauh. Mereka merasa tidak nyaman dengan perubahan drastis yang dialami Charlie. Bukan hanya karena Charlie telah berubah, tapi juga karena berada di dekat Charlie membuat mereka merasa bodoh.

Menjadi pandai ternyata tidak seindah seperti yang ia bayangkan dulu. Kekecewaan demi kekecewaan menumpuk di depan matanya. Apalagi saat Charlie menyadari bahwa Profesor Nemur menganggap dirinya hanyalah obyek yang diciptakan dari hasil penelitiannya, tidak lebih seperti si tikus Algernon, ia pun memberontak.

Anti klimaks dari novel ini diawali dengan kemunduran kondisi Algernon. Dengan kejeniusannya, Charlie dapat menemukan kesalahan dalam metode yang dipakai oleh Prof. Nemur yang menyebabkan kemunduran kondisi Algernon. Saat Algernon akhirnya mati, Charlie menguburkannya di halaman apartemen. Secara rutin ia menempatkan bunga di kuburan Algernon. Dan Charlie pun harus bersiap menghadapi masa depannya.

Menyisakan Perenungan

Sebuah kisah menyentuh tentang pencarian dan penemuan jati diri dari seorang dengan keterbelakangan mental yang kemudian menjadi jenius. Saat Charlie masih terbelakang, dia sangat ingin menjadi pandai. Tapi saat ia akhirnya bisa memiliki kepandaian, ternyata hidupnya tidak menjadi lebih mudah, malah menjadi lebih rumit dan kompleks.

Banyak hal yang muncul dan memicu perenungan setelah membaca novel ini. Pertama tentu saja pemahaman yang lebih mendalam tentang orang2 dengan keterbelakangan mental. Betapapun mereka itu terasa sebagai beban bagi keluarga dan lingkungan, mereka tetap berhak mendapat perlakuan selayaknya manusia.

Saat Charlie mulai terbentur dengan kenyataan dari sikap2 manusia di sekitarnya, kita juga diajak bercermin bahwa manusia ternyata memang lebih sering egois dan hipokrit demi kepentingan pribadinya.

Perubahan Charlie menjadi jenius yang ternyata malah membuat hidupnya lebih rumit, mengingatkan kita bahwa setiap kondisi kehidupan memiliki konsekuensinya sendiri2, ada kemudahan dan kesulitannya masing2. So, tidak perlu berharap memiliki kehidupan seperti orang yang kita anggap hebat, jalani dan hadapi apa yang ada di depan kita.

Dan yang paling membuatku tergugah adalah peringatan halus dari novel ini bahwa kemampuan dan kesempatan yang saat ini kita miliki tidak akan bertahan selamanya. Selama itu masih ada, sudah seharusnya kita gunakan dengan sebaik-baiknya. Karena suatu saat kita juga akan menua, pikun, dan tidak akan mampu lagi melakukan kegiatan yang saat ini kita bisa lakukan...