Monday, February 27, 2006

Wajah Terlarang

"My Forbidden Face", ditulis oleh Latifa seorang wanita Afghanistan. Terjemahannya diterbitkan oleh Freshbook, Januari 2006. Ini buku kedua yang aku baca yang bersetting kehidupan di Afghanistan, setelah Kite Runner. Keduanya berkisah tentang kehidupan di Kabul sebelum dan ketika dikuasai rezim Taliban. Tetapi ada beberapa perbedaan dari sudut pandang penceritaaannya. Kite Runner adalah sebuah novel dengan mengikuti kaidah cerita fiksi, dari pengenalan karakter, konflik, hingga ending. Sedangkan My Forbidden Face ini adalah sebuah memoar kisah nyata. Walaupun beberapa orang mencurigai bahwa Kite Runner adalah juga sebuah memoar dari penulisnya yang disusun dalam bentuk novel.

Perbedaan yang lain, Kite Runner bertokoh utama Amir seorang anak laki2 hingga masa dewasanya, sementara My Forbidden Face mengambil sudut pandang dari mata Latifa seorang remaja perempuan. Jika Amir pada masa pecahnya perang saudara berimigrasi ke Amerika bersama Baba ayahnya, Latifa harus mengalami segala kekacauan perang dan kekerasan rezim Taliban karena memutuskan bertahan di Kabul.

Jeritan Wanita Afghanistan

Latifa adalah seorang remaja perempuan yang berhasil pergi ke Paris bersama orang tuanya, keluar dari kungkungan penindasan Taliban, untuk memberi kesaksian dan membuka mata dunia tentang kondisi Afghanistan yang sebenarnya. Bagaimana negerinya telah hancur dilumat perang saudara, bagaimana keluarganya harus bertahan hidup dalam ketakutan setiap saat, dan bagaimana kaum perempuan Afghan harus terpenjara di dalam rumah tanpa harga diri dan masa depan.

Buku ini ditulis oleh Latifa setelah ia tidak mungkin kembali ke Kabul. Wawancaranya di majalah dan televisi Perancis dan pertemuannya dengan Parlemen Eropa di Brussel, yang memaparkan keganasan Taliban terhadap warga Afghan telah membuat telinga pembesar Taliban panas. Demi keselamatan mereka, wawancara itu dilakukan dengan nama samaran dan saat wawancara di tv, Latifa berada di belakang tabir. Taliban menyangkal semuanya, mengecap mereka pembohong, dan mengancam akan membunuh mereka jika kembali ke Kabul. Saudara2 Latifa yang sebelumnya tetap tinggal di Kabul pun harus mengungsi ke Pakistan.

Hidup dalam Peperangan

Pada masa Afghanistan dikuasai Sovyet kemudian dikuasai Mujahidin, Latifa masih bisa beraktifitas layaknya anak2 dan remaja pada umumnya. Bisa bersekolah dengan bebas, berpesta, nonton film, mendengarkan musik. Semuanya bisa dilakukan meskipun tidak sebebas negara barat karena ada batasan2 tertentu dari tradisi dan syariat agama Islam. Latifa bahkan baru saja dinyatakan lulus dari tes masuk universitas untuk menyongsong cita2nya menjadi seorang jurnalis.

Kebebasan itu bisa ia peroleh meskipun negaranya masih dalam carut-marut perebutan kekuasaan. Sejak lahir Latifa sudah hidup di arena peperangan. Tahun 1979 Sovyet telah mengintervensi Afghanistan. Dan sejak itu Mujahidin melancarkan perang gerilya terhadap Sovyet dan antek2nya yang menguasai Afghanistan. Sepuluh tahun kemudian, ketika Mujahidin berhasil menguasai Afghanistan yang terjadi malah perebutan kekuasaan antar etnik. Terutama antara etnik Pashtun dan etnik Tajik. Latifa lahir pada tahun 1980, di tengah kecamuk perang saudara. Jadi mungkin ia sudah terbiasa dengan ledakan bom sewaktu2 atau bangunan2 yang tiba2 hancur dihantam roket musuh. Tapi paling tidak, dia masih bisa bebas beraktivitas, meskipun harus selalu waspada.

Keadaan yang sudah buruk itu ternyata belum apa2, masih menjadi suatu keadaan yang bisa dibilang jauh lebih baik. Karena sejak tanggal 27 September 1996, semuanya terpuruk jatuh ke dalam jurang kemanusiaan yang tidak adil dan tidak beradab, ketika Taliban berhasil merebut dan menguasai Kabul.

Otoriternya Taliban

Bukankah Taliban mempunyai visi tentang negara yang sepenuhnya berdasarkan syariat Islam? Arab Saudi, Malaysia, juga berdasar syariat Islam, dan menjadi negara yang makmur dan berkeadilan... Apa yang salah dengan keinginan Taliban membentuk sistem yang berdasar syariat Islam?

Yang salah adalah Taliban hanya ingin berkuasa sepenuhnya. Rakyatnya ditekan sekeras mungkin agar tidak sedikitpun menggerogoti kekuasaan mutlaknya. Syariat Islam hanya dijadikan pijakan awal untuk membentuk kekuasaan otoriter yang sama sekali tidak menghormati hak2 sipil.

Aturan2 yang diterapkan Taliban antara lain: Perempuan harus mengenakan burqa (bukan sekedar jilbab atau cadar, burqa ini hanya menyisakan sebuah lobang sekitar mata dan hidung untuk melihat dan bernafas. Itupun harus ditutup dengan sulaman benang untuk menyamarkan wajah. Latifa menyebutnya 'penjara berjalan') dan tidak diijinkan bekerja di luar rumah. Laki2 harus berjenggot, mencukur kumis, dan memakai sorban atau peci. Dasi dan kemeja ala barat dilarang. Perempuan harus ditemani muhrim jika keluar rumah. Dilarang mendengarkan musik, dilarang membuat foto dan video.

Sebagai pengukuh kekuasaan mutlak penguasa, dicantumkan pula aturan: "Ketika polisi menghukum para pelanggar, tak seorang pun mempunyai hak untuk bertanya atau mengkritik tindakan tersebut. Semua pelanggar yang melawan dekrit hukum syariah akan dihukum di depan umum"

Dan yang terbentuk bukanlah masyarakat yang bermoral tinggi penuh kesadaran menjalankan syariat Islam, tapi malah masyarakat yang tertekan, ketakutan dan menyimpan dendam kepada penguasa. Polisi yang setiap saat berpatroli sangat mudah mengayunkan cambuk untuk menghukum orang-orang yang dianggapnya melanggar aturan Taliban, tidak peduli itu wanita atau anak2. Sementara para pelanggar berat akan dieksekusi di depan umum.

Kesengsaraan Hidup Rakyat Afghan

Kehidupan keluarga Latifa dan juga keluarga lain di Kabul pun menjadi terhimpit. Stasiun Televisi sudah tidak beroperasi. Listrik tidak lagi menyala. Jaringan air bersih juga tidak lagi mengalir. Tidak ada surat kabar. Stasiun Radio milik Taliban hanya menyiarkan aturan2 Taliban dan berita menurut versi mereka. Untuk mendapatkan berita yang lebih akurat Latifa mengandalkan radio transistor untuk menangkap berita dari Iran atau BBC. Itupun harus dengan sembunyi2 dengan suara yang dilirihkan, karena jika ketahuan polisi mereka bisa dihukum.

Bahan makanan sulit didapat, kalaupun ada mereka harus rela antri berjam-jam. Banyak orang kehilangan pekerjaan. Dalam keputusasaan, akhirnya mereka harus rela bersimpuh di tepi jalan untuk mengemis (Di novel Kite Runner, ketika Amir kembali ke Kabul dia sempat menemui pengemis yang sebelum kekuasaan Taliban adalah seorang guru besar universitas...). Janda2 yang tidak bisa lagi bekerja, mau tidak mau mempekerjakan anaknya untuk mengemis di jalanan.

Anak2 tidak bisa lagi sekolah sebagaimana biasanya. Yang ada tinggal pelajaran membaca dan menghafal Al-Quran di masjid. Itupun hanya untuk anak laki2. Dan para Mullah yang mengajar selalu siap dengan cambuk untuk murid yang tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik.

Kehidupan bertetangga juga memburuk. Antar keluarga tidak bisa lagi saling percaya begitu saja. Penuh kecurigaan di antara mereka. Satu sama lain bisa melapor kepada polisi jika melihat tetangganya melakukan aktivitas yang melanggar aturan Taliban. Keluarga Latifa hanya bisa percaya kepada anggota keluarga besarnya dan beberapa teman dekat.

Perlawanan Latifa

Ibu Latifa yang seorang tenaga medis secara diam2 melakukan praktek bawah tanah untuk para wanita. Pasien2 datang secara sembunyi2 untuk mendapatkan pengobatan. Tidak banyak yang bisa ia lakukan karena terbatasnya obat2an. Dia tidak bisa lagi menggunakan jarum suntik hanya untuk sekali pakai. Latifa ikut membantu merebus dan mensterilkan kembali jarum suntik bekas pakai.

Latifa yang tidak tahan terpenjara di rumah tanpa bisa melakukan apa2, akhirnya tergerak untuk melakukan sesuatu atas usulan seorang temannya. Ia membuka kelas untuk anak2 di sekitar rumahnya. Sekolah bawah tanah. Tidak terlalu banyak murid yang ia ambil, itu pun hanya sebatas anak2 tetangga. Untuk mereka Latifa mengajarkan berbagai macam pelajaran yang biasa diajarkan di sekolah umum.

Agar tidak menimbulkan kecurigaan, anak2 itu diminta berangkat sendiri2. Pulang ke rumah pun harus digilir agar tidak mencolok. Buku dan alat tulis disimpan di rumah Latifa. Kadang ibu mereka ikut mengantar. Latifa tidak terlalu takut kalau2 keluarga muridnya melaporkan kegiatan ini, karena kalau dia dilaporkan maka si murid juga akan ikut tersangkut.

Hingga suatu saat pada tahun 2000, sebuah majalah wanita di Perancis berkeinginan mengungkap kehidupan wanita Afganishtan. Latifa ditawari untuk pergi ke Paris menceritakan kehidupannya dan kegiatan sekolah bawah tanahnya. Karena merasa bahwa selama ini dunia sudah melupakan Afganishtan dan dianggap hilang, maka Latifa dan orang tuanya menerima tawaran itu untuk membuka mata dunia. Mereka pun pergi ke Perancis dengan sembunyi2 melalui Pakistan.

Harapan akan Kebebasan

Buku ini ditulis dalam bentuk memoar. Potongan2 kehidupan Latifa selama berada di Kabul dalam kekuasaan Taliban. Bertutur layaknya orang bercerita, seringkali melompat2 dari masa sekarang dan masa lalu, hingga menjadi bentuk utuh yang menggambarkan bagaimana kehidupan Latifa saat itu dan sebelumnya. Harapannya hanya satu, kebebasan. Demikian berharapnya akan kebebasan, Latifa sempat melepaskan seekor burung Kenari peliharaannya untuk bisa melihat kegembiraan ketika seekor burung mendapatkan kebebasannya.

Sebuah tragedi kemanusiaan terutama bagi kaum perempuan. Menyisakan pertanyaan sebegitu rendahkah wanita di mata kaum Taliban? Tidakkah mereka ingat siapa yang melahirkan mereka? Tidakkah mereka ingat hadits Nabi yang mewajibkan semua muslim menghormati ibunya? Apalagi dengan adanya berita yang mengatakan bahwa kaum Taliban sendiri ternyata banyak memperkosa wanita...

Tidak henti bersyukur atas segala kenikmatan yang saat ini bisa kita rasakan. Meskipun banyak ketidakpuasan dan kekecewaaan disana-sini yang memerlukan perbaikan, namun masih jauh... jauh lebih baik daripada apa yang dialami Latifa dan keluarganya. Saat ini Afghanistan telah memiliki pemerintahan baru dari hasil Pemilu. Semoga semuanya telah berjalan lebih baik dengan jaminan hak2 sipil yang lebih manusiawi.