Saturday, January 28, 2006

Manusia dan Alfabet

Posting ini sebenernya bagian dari review novel Fifth Mountain. Tapi karena kayaknya bakalan panjang kalo dibahas di review itu, nggak jadi aku ikutkan. Dan setelah kepikiran lagi, kok rasanya sayang untuk dibuang.

Ada satu bagian di novel itu yang membangkitkan keinginanku untuk membahasnya lebih jauh. Satu bagian yang nggak terlalu terkait dengan inti cerita, tapi cukup berperan karena memberikan motif pada salah satu tokoh untuk melakukan sesuatu.

Bagian itu adalah, masa2 pertama kalinya tulisan mulai dikenal dan dipelajari oleh umum. Novel ini mengambil tempat pada masa2 itu.

Awal Munculnya Alfabet

Imam Agung di kota Akbar di novel Fifth Mountain dikisahkan memiliki satu ketakutan yang sangat hebat yang membuatnya mampu dan tega mengorbankan manusia2 tak berdosa di kotanya sendiri. Ketakutan akan alfabet.... (Silakan terheran-heran :p)

Alfabet pada masa itu, 870 SM, mulai banyak dipelajari oleh para pedagang yang berkeliling dari satu kota ke kota lain. Dengan alfabet itu mereka bisa menuliskan catatan perdagangan dan perjalanan mereka. Alfabet yang mereka kuasai itu didasarkan pada sistem penulisan yang ditemukan oleh orang2 Byblos. Yang kemudian oleh orang Yunani diadaptasi dan ditambahkan elemen vokal untuk lebih mempermudah pembacaan. Orang Yunani juga yang kemudian memberinya nama Alfabet. Tentunya ini adalah yang kemudian kita kenal sebagai huruf Yunani, Alpha-Beta-Gamma.

Sebelum itu sebenarnya sudah dikenal sistem penulisan ala Mesir yang dikenal dengan Hieroglif. Sistem tulisan model pictograph yang menggunakan begitu banyak gambar dan simbol untuk mewakili setiap istilah itu sulit dipelajari. Hanya sedikit orang yang bisa menguasainya. Di antara orang2 yang menguasai Hieroglif ini, ya para Imam Agung itu.

Sementara sistem baru ala Byblos itu sebagaimana alfabet yang kita pakai sekarang ini, menggunakan simbol2 sederhana untuk mewakili setiap variasi bunyi yang keluar dari mulut. Jadi sistem tulisan ini tidak terikat dengan bahasa tertentu. Makanya sistem tersebut dengan mudah diterima dan diterapkan oleh berbagai bangsa dengan bahasa yang berbeda2. Tidak perlu menghafalkan ratusan macam simbol sebagaimana hieroglif, cukup dengan mengubah pengucapan suatu kata ke dalam bentuk rangkaian konsonan dan vokal.

Ancaman Alfabet

Pasti bakal menimbulkan pertanyaan, kenapa sang Imam Agung sampe bisa ketakutan dengan alfabet? Apa yang bisa menimbulkan ancaman dari suatu sistem penulisan yang bisa dikuasai banyak orang?

Seorang Imam pada kisah itu adalah orang punya kedudukan tinggi, yang sangat dihormati dan disegani. Dia adalah orang yang dianggap paling suci, paling faham tentang agama, yang dianggap punya wewenang dan kemampuan untuk berhubungan langsung dengan Tuhan.

Hanya seorang Imam yang punya pengetahuan tentang sejarah agama, kisah2 mitos keagamaan, norma2, mantra2, tata cara ritual agama dan sebagainya. Dan pengetahuan itu semuanya diajarkan dan diwariskan melalui huruf2 hieroglif yang rumit. Karena hanya Imam yang menguasai sistem penulisan itu, maka ya hanya Imam yang menguasai semua pengetahuan keagamaan tersebut.

Dan yang menjadi ancaman adalah, jika kemudian ada suatu sistem penulisan yang dapat dikuasai oleh banyak orang, dan selanjutnya orang2 mulai membuat catatan atas segala kejadian dan informasi kemudian menyebarkannya kepada orang2 lain, maka pengetahuan itu bukan lagi kekuasaan mutlak sang Imam Agung.

Sang Imam Agung dalam novel itu berdalih tentang menyelamatkan agama dan demi menjaga kehormatan para dewa. Jika semua orang kemudian akan tahu dan bisa melakukan ritual2 yang selama ini hanya dia yang tahu, jika mereka tahu mantra2 yang bisa mempengaruhi keputusan para dewa, maka akibatnya tentu akan sangat fatal. Setiap orang kemudian akan bisa mempengaruhi para dewa sesuai dengan keinginannya masing2. Selanjutnya tentu akan timbul kekacauan dan para dewa akan marah karena merasa dipermainkan. Begitu menurut dalih Sang Imam Agung.

Namun sepertinya tak perlu diperdebatkan lagi, bahwa sebenarnya yang ditakutkan Sang Imam adalah kehilangan kekuasaan. Kekuasaan akan pengetahuan dan informasi. Yang namanya kekuasaan memang dimana2 sering kali membutakan hati seorang manusia yang tamak.

Jika Tidak Ada Tulisan

Kebayang nggak sih, masa dimana tulisan belum dikuasai oleh banyak orang?

Nggak ada orang yang bisa menulis berarti tidak ada pencatatan sejarah. Kisah-kisah perjalanan suatu kaum hanya disampaikan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Padahal tahu sendiri kan gimana informasi yang disampaikan dari mulut ke mulut itu sangat mudah mengalami distorsi, karena dipengaruhi daya tangkap dan daya ingat si penyampai informasi. Beda orang bisa beda versinya.

Apalagi pada masa itu sering terjadi peperangan antar bangsa atau suku. Kalau satu kaum dikalahkan oleh kaum yang lain, kadang terjadi pembantaian habis2an semua penduduknya. Musnahlah kaum itu beserta segala sejarahnya karena tidak ada tulisan yang bisa mencatat dan mengabadikan sejarah kaum itu.

Tidak ada tulisan, berarti tidak ada sarana untuk berkembangnya ilmu pengetahuan. Ilmu dan pengetahuan yang ada hanya akan seputar hal2 praktis. Seperti bagaimana bertani, bagaimana beternak, bagaimana menenun kain, yang diajarkan secara langsung oleh praktisinya.
Adanya catatan akan membuat manusia bisa bertindak dan berpikir secara lebih sistematis. Adanya tulisan juga mengembangkan kemampuan manusia untuk berpikir abstrak yang selanjutnya menumbuhkan ilmu2 baru. Apalagi setelah ditemukannya angka dan tata cara perhitungannya.

Catatan ilmu tentu saja kemudian diperlukan untuk penyebarluasannya ke orang banyak. Terlalu berat jika suatu ilmu disebarluaskan hanya mengandalkan hafalan memori manusia yang terbatas. Apalagi untuk ilmu2 yang membutuhkan keakuratan.

Bibit Demokrasi

Ada yang bilang 'literacy' atau kemampuan baca-tulis pada semua tingkatan masyarakat adalah bibit awal dari demokrasi. Ada benarnya juga...

Rakyat yang tidak tahu apa2 tentang pengetahuan dan informasi yang benar akan mudah saja dikendalikan oleh penguasanya. Sementara penguasa yang tiran akan dengan leluasa membuat berita2 dan klaim ngawur yang sesuai dengan keinginannya demi melanggengkan kekuasaan.

Dengan adanya kemampuan baca-tulis, dan kemudian kemampuan berpikir abstrak dan berpikir sistematis yang dimudahkan oleh adanya tulisan, akan membuat orang mulai berpikir maju. Muncullah masyarakat yang diistilahkan terpelajar, yang mampu berpikir secara rasional dan tidak hanya semata2 tunduk pada dogma dan mitos. Ditambah pula dengan adanya informasi dan pengetahuan dari bangsa lain akan ikut mendorong mereka melakukan perbandingan dan pertukaran ide.

Dengan ikut memiliki kekuasaan menggenggam informasi dan pengetahuan di kalangan terpelajar, akan timbul kepercayaan diri bahwa mereka seharusnya tidak hanya menjadi obyek penguasa. Dan selanjutnya akan mulai terbersit tentang kesetaraan kedudukan. Awal dari Demokrasi.

Sudah Seharusnya Ada

Tulisan memang sudah seharusnya ada dalam kehidupan manusia. Sebagai mahluk yang dikaruniai kecerdasan, manusia akan memahami keterbatasannya dan selanjutnya mencari cara untuk mengatasinya.

Keterbatasan daya ingat, tidak memungkinkan manusia menyimpan semua informasi yang didapatnya hanya dengan mengandalkan hafalan. Keterikatan manusia akan dimensi ruang dan waktu, mengharuskan mereka mencari cara untuk menyampaikan informasi dan pemikiran nya kepada orang lain yang berada di ruang dan waktu yang berbeda.

Dan manusia sekarang tidak akan bisa dilepaskan dari tulisan. Apalagi di era yang katanya adalah era informasi ini. Dari bangun tidur pagi hari sampai tidur lagi di malam harinya, manusia selalu dikelilingi oleh tulisan yang memberi mereka berbagai macam informasi. Tulisan adalah bagian penting dari budaya manusia.

Jika kejahatan paling keji terhadap manusia adalah pembantaian, maka kejahatan paling keji terhadap budaya adalah pemusnahan tulisan2 hasil pemikiran manusia. Seperti banyak kejadian pembakaran perpustakaan pada masa2 abad pertengahan. Tragis. Dan sangat bisa dimaklumi jika orang seperti Pramoedya Ananta Toer masih menyimpan dendam dan trauma atas delapan naskahnya yang dibakar habis tak bersisa oleh militer saat ia ditangkap pada tahun 1965.

Tulisan Mengabadikan Pemikiran

"Ikatlah ilmu dengan menuliskannya", begitu kata khalifah Ali bin Abi Thalib. Disamping jika dituliskan maka akan lebih mudah jika kita ingin mengulang membacanya pada lain waktu, dengan menuangkan pemikiran2 ke dalam bentuk tulisan, pemikiran itu akan menjadi abadi. Saat raga si penulis sudah tidak bernyawa lagi, tulisan itu akan tetap ada mewakili keberadaan pemikiran sang penulisnya.

Seperti juga posting ini :D
Ini awalnya hanyalah sesuatu yang terbersit di pikiranku saat selesai membaca kembali novel Fifth Mountain. Awalnya hanyalah lompatan2 pikiran yang berkhayal seandainya tidak ada tulisan. Melompat2 kesana kemari tanpa arah. Kemudian muncul keinginan untuk menuliskannya. Ketika dituliskan, pikiran2 yang tadinya melompat2 tanpa arah harus aku saring dan pilah untuk dibuat suatu tulisan yang runtut dan sistematis, agar mudah dimengerti.

Seandainya nggak dituliskan, pikiran2 itu bakal tetap melompat2 nggak terarah. Dan seandainya nggak dituliskan, pikiran2 itu bisa hilang tanpa jejak dalam waktu yang tidak terlalu lama, karena tertindih oleh berbagai macam pikiran2 baru yang datang dari kejadian2 yang aku alami.

Untung juga ada blog ini, sehingga pikiran2 yang sudah tertulis itu bisa aku abadikan dan aku share dengan orang lain. Dan kemudian ada sampean yang kurang kerjaan sehingga sempet2nya baca posting ini sampe habis :P

O ya, satu lagi. Kalo nggak ada tulisan... apa jadinya orang2 yang males bicara kayak aku ini.. :D hehehe...