Sunday, December 04, 2005

Berani Karena Nekat

Jumat malem kemaren aku nonton satu acara talkshow di tivi. Yang jadi bintang tamunya malam itu adalah Khairiansyah Salman. Mantan auditor BPK yang membongkar kasus suap gedhe2an di KPU. Ini acara talkshow ringan, bukan diskusi politik, jadi lebih mengungkap sisi humanis dari Khairiansyah Salman.

Khairiansyah banyak dipuji orang sebagai seorang pemberani, karena di jaman dimana korupsi dan suap adalah kegiatan sehari-hari yang lazim dilakukan oleh banyak orang ini dia berani menentang arah. Terlepas dari saat ini dia malah sedang diragukan integritasnya karena dituduh terlibat dalam kasus penyalahgunaan Dana Abadi Umat.

Menjadi Orang Nekat

Ketika ditanya bagaimana dia bisa sedemikian berani mengambil jalur yang melawan banyak pejabat, dia menjawab bahwa orang bisa nekad karena dua hal:
- Karena berpikiran pendek
- Karena dilakukan bersama orang banyak

Berpikiran pendek maksudnya adalah tidak terlalu mempedulikan akibat-akibat yang bisa terjadi, tanpa terlalu panjang membuat pertimbangan untuk melakukan sesuatu. Lalu poin kedua, sudah lazim diketahui bahwa orang akan jauh lebih berani jika melakukan sesuatu secara bersama-sama.

Khairiansyah mengatakan bahwa dia tahu resikonya jika dia melakukan itu, apalagi dia punya keluarga dengan enam anak yang masih belia. Tapi dia tidak mau berpikir mempertimbangkan terlalu lama dan panjang, dia paham resikonya dan akan dihadapinya nanti dengan dipasrahkan kepada Allah. "Bismillah saja..", katanya. Dan ketika kejadian itu sudah dipaparkan ke publik, Khairiansyah dan keluarganya pun harus rela rumahnya dijaga ketat, dipasang kamera pengintai, dan bepergian selalu dengan pengawal, demi keamanan dirinya dan keluarganya.

Dan ternyata, sebenarnya Khairiansyah melakukan itu juga bersama banyak orang. Dari ekspos media Khairiansyah-lah yang dianggap sebagai tokoh utama pengungkapan kasus korupsi ini. Tapi dia mengatakan bahwa dia cuma salah satu pemeran saja. Di belakang dia banyak orang dari KPK yang mendukung dan menyiapkan skenario serta peralatan. Kebetulan dia yang menjadi ujung dari peluru.

Dipikir Secukupnya

Pada kenyataan sehari-hari, berpikiran pendek dan bersama banyak orang sering menjadikan orang nekad melakukan perbuatan negatif. Koruptor adalah orang2 berpikiran pendek, didukung dengan orang2 sekitar dia yang juga melakukan hal yang sama. Tawuran, sudah jelas, mengandalkan gerombolan dan pikiran sempit. Bom bunuh diri, indoktrinasi dengan ideologi yang salah mampu memutus jalur berpikir untuk membenarkan terorisme, didukung dengan kelompok yang sangat solid membuat jaringan.

Tapi di lain pihak, berpikiran pendek dan bersama banyak orang juga bisa menjadikan orang nekad melakukan hal positif yang tidak lazim dan beresiko tinggi.

Berpikiran pendek bukan maksudnya tanpa pertimbangan. Tapi sebagian orang kadang terlalu banyak pertimbangan dalam melakukan satu hal, jadinya malah nggak jalan-jalan. Hanya maju mundur di tempat. Memikirkan dan membayangkan seribu satu resiko buruk yang mungkin muncul, dari yang memang logis hingga yang paling absurd. Gimana kalo nanti jadinya begini ya... gimana kalo begitu... berulang2 dan berputar2 ... (pengalaman pribadi juga sih..*malu..* )

Mempertimbangkan resiko memang perlu, tapi mestinya cukup dipikirkan sekali lalu siapkan solusi dan serahkan pada waktu pasrahkan pada Tuhan, apapun yang nanti akan terjadi :) *menasehati diri sendiri* :P

Fear Factor

Dan malam ini, aku baru saja nonton Fear Factor Indonesia. Di suatu tower yang sangat tinggi sejumlah peserta harus mengambil dan memasang bendera pada sebuah jalur sempit yang menjulur di awang-awang. Kemudian di dalam sebuah box dengan dikerubuti ribuan ulat besar peserta harus membuka gembok yang mengikat tangan dan kakinya.

Nekad dan berpikiran pendek tampaknya juga jadi faktor kunci. Lakukan dan hadapi saja. Terlalu mikirin ketakutan malah bikin panik. Mikirin ketinggian yang menyeramkan, mikirin ketakutan kalau sampai jatuh, mikirin geli dan jijiknya dikerubutin ulat. Terlalu dipikirin malah bikin semakin takut. Harusnya fokus dan tidak mikirin hal2 lain. Matikan semua perasaan takut... Fear is not a factor.

Matikan Rasa

Yap... kalo saja kita ini robot yang tidak punya perasaan, kayaknya bakal lebih mudah melakukan banyak hal. Tidak ada rasa takut, tidak ada rasa malu, tidak ada rasa jijik, nggak mikirin masa depan, nggak mikirin apa kata orang... Mati rasa. Seperti robot.

Namun kita ternyata bukan robot. Kemampuan berpikir yang dianugerahkan pada manusia dapat menciptakan alasan2 untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Alasan yang bisa berasal dari logika, bisa juga berasal dari perasaan atau insting bawah sadar.

Tapi ada saatnya, dimana manusia harus nekad, tidak terlalu menghiraukan banyak pertimbangan rasa. Ada hal-hal yang menuntut dilakukan secara spontan tanpa pertimbangan terlalu banyak. Manusia sebenarnya bisa dengan sadar mematikan rasa-rasa yang tidak diperlukan, yang menghambat untuk mencapai tujuan. Mematikannya untuk sementara, pada saat-saat tertentu. Dan lakukan saja tindakan nekad itu. Bisa yang positif, bisa yang negatif.

Dan seringkali, setelah dilakukan, ternyata tidak seseram dan sesulit yang dibayangkan.. ;)

Nekat dalam Budaya Ewuh-pakewuh

Menghubungkan antara program Fear Factor Indonesia dan kasus Khairiansyah Salman.

Ada sesuatu yang terasa jelas berbeda antara Fear Factor yang asli dengan peserta2 dari US dengan Fear Factor dengan peserta dari Indonesia, meskipun berusaha dikemas dengan sangat mirip. Orang Indonesia itu umumnya .... terlalu ramah :P (Ini sebenarnya mungkin lebih ke budaya orang jawa, tapi apa boleh buat bahwa kenyataan mengatakan kalo orang jawa jumlahnya paling banyak.. dan kemudian budaya jawa berimbas ke banyak orang)

Persaingan antara peserta Indonesia kurang terasa tajam, mereka malah tampak akrab satu sama lain. Sedangkan pada program dengan peserta dari US, terasa sekali persaingannya. Mereka bisa saling mengejek, saling menyombongkan diri, saling menjatuhkan mental dengan sepenuh hati.

Nah... di lingkungan yang ramah dan penuh keakraban seperti itu, tampaknya memang berat untuk bisa menjadi seorang Khairiansyah Salman. Kebanyakan orang Indonesia enggan menjadi antagonis dan enggan menjadi orang yang berbeda dari yang lain... apalagi jika dalam pengawasan bos atau direkam oleh kamera teve nasional yang bisa menjatuhkan kondite diri.

Walaupun tampaknya berat, tapi mestinya tetap bisa dilakukan. Dengan melihat kenyataan bahwa Indonesia bisa menciptakan sejumlah orang nekat yang mau menjadi pengebom bunuh diri, seharusnya Indonesia bisa juga menciptakan sejumlah orang nekat untuk menjadi Khairiansyah Salman yang lain...