Monday, January 02, 2006

Kisah Klan Otori

Kisah Klan Otori ini adalah novel trilogi karya Lian Hearn. Versi terjemahannya baru diterbitin oleh penerbit Matahati sampe buku yang kedua. Meskipun banyak pecinta buku yang suka antipati ama novel terjemahan, mending baca versi asli katanya, aku nggak terlalu peduli. Masalahnya yang terjemahan itu pasti lebih murah, soalnya kalo aku lagi kalap bisa langsung beli 5 novel sekaligus (entah bacanya kapan, itu urusan nanti :D). Jadi hubungannya ama budget emang :) Dan lagi kalo sampe diterjemahin gitu kan mestinya lumayan bagus. Jadi nggak terlalu harus berspekulasi. Meskipun nggak mesti juga sih :D

Waktu buku pertamanya terbit beberapa bulan yang lalu, Across the Nightingale Floor, rada males mo beli. Nggak terlalu tertarik baca cerita perkelahian para pendekar dengan intrik yang ruwet. Tapi waktu buku keduanya, Grass for His Pillow, terbit beberapa minggu yang lalu, eh kok pengen baca ya.. :D Ya udah, beli deh buku pertama. Sempet dianggurin seminggu, waktu giliran dibaca.. hehe.. nggak bisa berhenti. Begitu selesai, langsung beli buku kedua sabtu kemaren. Dan langsung habis sambil nunggu tahun baru :D...

Across the Nightingale Floor

Meskipun udah rada telat untuk review buku pertama, biar aja deh. Soalnya aku belum pernah bikin. Kalo langsung loncat ke buku kedua kan nggak lucu.

Nightingale Floor adalah nama untuk sejenis lantai yang dibuat sedemikian rupa sehingga kalo orang berjalan di atasnya pasti akan menimbulkan bunyi berdecit-decit mirip kicauan burung Nightingale alias burung bulbul (aduh.. dari nightingale kok jadi bulbul sih.. :D)

Yang memasang lantai ini di sekeliling rumahnya adalah Lord Iida Sadamu, pemimpin Klan Tohan. Setelah perang Yaegahara, klan Tohan telah berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Tiga Negara. Kekuasaan yang direbutnya secara paksa melalui perang itu jelas memunculkan banyak musuh yang menginginkan kematiannya. Dengan terpasangnya lantai bulbul (hehehe.. ) itu, dia akan bisa lebih nyenyak tidur di malam hari, karena tidak akan ada orang yang bisa mengendap2 melaluinya tanpa menimbulkan suara.

Dalam usahanya memperluas wilayah dan menghabisi orang2 yang dibencinya, Iida Sadamu juga membumi-hanguskan suatu desa di Mino yang dihuni kaum Hidden. Seluruh penduduk tewas. Kecuali seorang anak berusia belasan tahun. Anak ini kemudian ditemukan oleh Lord Otori Shigeru, pemimpin Klan Otori. Ia beri nama Takeo dan diangkat sebagai anak.

Takeo dididik sebagaimana layaknya anak ksatria. Dalam pelatihan2nya, Takeo menemukan kalo dirinya memiliki kemampuan supranatural yang tidak dimiliki orang biasa. Pendengarannya setajam anjing hingga bisa mendengarkan suara2 dari kejauhan. Ia juga mampu memunculkan sosok kedua untuk mengelabui lawan, dan mampu menidurkan anjing dengan tatapan mata. Yang memiliki kemampuan semacam itu biasanya adalah keturunan kaum Tribe, para pembunuh bayaran.

Lord Iida Sadamu yang sangat berkuasa, berniat membangun persekutuan dengan klan Otori dengan menikahkan Lord Otori Shigeru dengan Lady Kaede Shirakawa, dari klan Shirakawa yang telah tunduk kepada klan Tohan. Pernikahan dilakukan di tempat tinggal Lord Iida Sadamu di Inuyama, dimana Nightingale Floor terbentang....

Grass for His Pillow

Eh.. gimana ya bikin sinopsisnya buku kedua ini tanpa membocorkan ending buku pertama? errr... emmm... *bingung*

Pokoknya di buku kedua ini berkisah tentang sepasang muda-mudi yang baru berusia belasan tahun Takeo dan Kaede (yang pernah jadi calon istri Lord Otori Shigeru). Kedua orang ini di buku pertama saling tertarik dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi mereka tidak bisa bersatu begitu saja. Takeo diculik oleh kaum Tribe yang merasa berhak untuk memanfaatkan kemampuan Takeo yang memang keturunan Tribe. Padahal Takeo telah bersumpah setia kepada Lord Otori Shigeru untuk mengabdi kepada Klan Otori. Dan setelah dia resmi diangkat sebagai anak, dia adalah pewaris sah dari kepemimpinan Klan Otori.

Kaede sendiri adalah pewaris sah kepemimpinan Klan Shirakawa. Selain itu juga mendapat amanat mewarisi kepemimpinan Klan Maruyama dari kerabat dekatnya. Padahal sejak kecil dia ditahan di kastil oleh orang Tohan hingga saat dia akan dinikahkan, tanpa mendapat didikan apapun sebagai bekal untuk memimpin Klan-nya.

Kaede-pun berusaha mengejar ketertinggalannya. Di usia yang masih sangat muda, dia harus berpikiran dewasa untuk memimpin klannya. Tentu saja banyak yang meremehkan dan menolak kepemimpinan seorang wanita, tapi Kaede mengeraskan hati untuk meraih apa yang seharusnya ia raih. Walaupun setiap saat dia dilanda kerinduan kepada Takeo, yang ia tak tahu keberadaannya.

Buku kedua memang nggak terlalu seru dibanding buku pertama. Nggak terlalu banyak pertempuran. Lebih banyak ngobrol :D Tapi semua itu untuk meletakkan dasar buat buku ketiga mestinya. Takeo dan Kaede sedang mempersiapkan kekuatan untuk menyatukan wilayah yang menjadi hak mereka. Mungkin itulah makna dari judul buku kedua ini. Menyiapkan jerami untuk bantal kekuasaan kelak.

Kehidupan Jaman Feodal

Baca novel ini rasanya bisa ikut merasakan, gimana tertekannya hidup di jaman seperti itu. Pemimpin yang otoriter, salah dikit bisa dibunuh atau disiksa. Jadi rakyatnya jelas susah, tertindas banget. Jadi prajurit, mungkin ada sedikit kebanggaan, tapi nyawanya juga ada di ujung tanduk karena harus siap setiap saat untuk turun ke medan perang. Jadi bangsawannya juga banyak tekanan dan beban.

Mati kayaknya gampang banget. Prajurit dan bangsawan yang jago perang itu enak aja menebas kepala orang yang membangkang, membakar perkampungan lawan, menyiksa musuh sampai mati. Bunuh diri atau minta dibunuh dengan cepat karena rasa malu yang sangat juga gampang saja dilakukan, tanpa perlu berfikir panjang. Hidup mereka seperti sekedar bertahan hidup menunggu mati saja, sambil tetap berusaha menjaga kehormatan dan nama baik.

Eeerrrgghh.. mengerikan banget kehidupan seperti itu...

Kurang Jepang

Beberapa orang bilang kalo novel ini kurang "Jepang". Memang penulisnya bukan orang Jepang sih, orang Inggris kalo nggak salah. Dan dia cuma sempat beberapa bulan saja berada di Jepang. Latar-belakang Jepang dia bangun sendiri berdasarkan data-data yang ada dan dari narasumber orang2 Jepang.

Ya gimana nggak ilang rasa Jepangnya, kalo tokoh2nya dipanggil dengan gelar "Lady" dan "Lord" yang jelas Inggris banget (di versi terjemahan juga tetap digunakan "Lady" dan "Lord"). Istilah2 Jepang juga sangat jarang dipake. Hampir semuanya sudah dialih-bahasakan ke bahasa inggris lalu ke bahasa indonesia. Kecuali beberapa nama benda yang memang tidak ada padanannya. Jadi jangan harap bakal bisa sekalian belajar bahasa Jepang, seperti kalo lagi baca Kho Ping Hoo bisa sekalian belajar bahasa mandarin ala kangouw :D

Beberapa ciri khas yang sangat identik dengan Jepang juga hampir tidak pernah muncul. Tidak disebutkan kalo mereka makan pake sumpit. Bunga Sakura juga sepertinya tidak pernah disebutkan... Makanan2 khas Jepang seperti sushi, sashimi, dan lain2 tidak pernah disebut, apalagi restoran hoka-hoka bento... eh .. belon ada ya? .. hehehe. Padahal adegan tokohnya lagi makan itu sering banget. Paling cuma sake yang selalu disebut.

Detil, Indah, dan Dalam

Meskipun begitu, di sisi lain, penulis berhasil menciptakan suasana setting yang sesuai dengan imajinasi Jepang kuno. Aku sih patokan yang paling gampang ya, mbayangin settingnya Oshin :D Kaede juga aku bayangin kayak Oshin remaja. Cantik, putih, lemah lembut, tampak rapuh tapi bisa berperilaku keras saat dibutuhkan.

Bahasanya cukup indah berbunga-bunga saat melukiskan suasana alam, dari warna bunga, bebauannya, hingga suara2 yang terdengar. Semua dituturkan dengan detail.

Penggambaran Jepang kuno yang sangat feodal juga kena banget hingga ke detil2nya. Setiap kali ada adegan pertemuan dengan bangsawan, sang tamu selalu digambarkan membungkukkan badan hingga keningnya menyentuh lantai. Dan baru akan mengangkat tubuhnya setelah dipersilakan oleh tuan rumah. Bertatapan mata tidak boleh sembarang dilakukan. Pembicaraan antar bangsawan juga digambarkan sangat penuh basa-basi dan penuh kepura-puraan. Priyayi abis deh... :D

Detil-detil itu bikin alur cerita jadi agak lambat. Penuh konflik tapi berjalan pelan. Untungnya nggak sampe jatuh jadi membosankan. Tetap menarik, rasanya jadi seperti hanyut dalam kontemplasi tokoh utamanya.

Jadi samar2 inget ama Musashi. Alurnya yang lambat hampir mirip, sering masuk ke dalam perenungan si tokoh utama juga sama. Tapi ini nggak terlalu jauh berfilosofi seperti Musashi. Aku dulu kayaknya suka nggak sabar baca Musashi, maklum masih smp, tapi tetep maksa baca sampai selesai semua. Dan aku udah lupa jalan ceritanya kayak apa. Nyari apa sih Musashi itu? Yang keinget paling cuma waktu Musashi nangkep lalat pake sumpit :D

Full Intrik

Namanya kisah tentang para ksatria pastilah isinya tentang intrik perebutan kekuasaan. Begitu juga novel ini. Ada 5 klan besar yang berebut kekuasaan. Klan Otori, Klan Maruyama, Klan Sheisuu, Klan Shirakawa, dan Klan Tohan. Ada yang saling bersekutu, ada yang musuh bebuyutan, ada yang telah tunduk menyerah ke klan yang lain tapi tetap menyimpan dendam. Di luar itu ada yang namanya kaum Tribe. Mereka adalah orang2 yang secara alami memiliki kemampuan supranatural. Tapi tidak memihak salah satu klan. Mereka adalah orang bayaran yang bersedia diperintah para penguasa asalkan mendapatkan imbalan.

Takeo sendiri, si tokoh utama, dari garis ibunya adalah keturunan kaum Hidden yang banyak dibenci kalangan lain karena kepercayaannya kepada Tuhan yang tunggal. Sementara ayahnya adalah orang Tribe yang membelot dan dibunuh. Selain itu dia juga memiliki darah Otori. Ketiga garis darah itu sering tarik menarik dan menimbulkan kekalutan sendiri di kehidupannya.

Memang di intrik2 itulah yang bikin novel ini jadi seru. Ditambah adegan2 action berupa pertempuran, perkelahian, atau penyusupan yang walaupun penuh darah, tapi tetep diceritakan dengan elegan. Apalagi jagoannya disini punya kemampuan supranatural yang melebihi orang2 kebanyakan, wah tambah asik aja. Tapi kemampuan supranatural sang jagoan disini nggak sampe berlebihan seperti para X-men, dan diceritakan dengan tidak berlebihan juga. Jadinya si jagoan ini bisa tetap terasa sebagai manusia.

Pasti asik kalo difilmkan. Dan kabarnya hak pembuatan film untuk buku pertama telah dibeli oleh Universal Picture, meskipun belum denger kabar kelanjutannya kapan bakal direalisasikan.


Hmmmh... nunggu buku ketiga nih, Brilliance of the Moon. Mestinya seru tuh...