Sunday, December 11, 2005

Laskar Pelangi

Rekomendasi dari beberapa orang atas novel ini, awalnya tidak terlalu bikin penasaran. Masalahnya masih banyak utang buku yang belum sempat aku bayar dengan membacanya :( ... Lagipula waktu lagi mengadakan kunjungan rutin ke toko buku dekat rumah, buku ini belum menampakkan dirinya di deretan buku2 baru. Tapi waktu tahu kalo novel ini dijadikan topik dalam diskusi buku di Perpustakaan Diknas, aku mulai penasaran. Secara khusus aku nyari buku ini pada kunjungan ke toko buku berikutnya. Dan ketemu juga akhirnya... Walaupun novel ini baru terbit september 2005, tapi tidak diletakkan di tumpukan novel baru. Juga tidak diletakkan di tumpukan novel laris...

Beberapa orang yang memberi rekomendasi mengatakan kalo buku ini adalah Toto Chan ala Indonesia. Toto Chan?... belum baca tuh :P Jadi ya nggak punya bayangan, kayak apa isinya dan nggak bisa membandingkan satu sama lain. Yah.. aku memang tidak selalu membaca semua buku yang ngetop di kalangan pencinta buku. Beberapa orang lain menambahkan kalo buku ini sangat bagus untuk memberikan inspirasi dalam memajukan dunia pendidikan, terutama untuk kalangan bawah.

Tentang Sebuah SD Kampung

Ini adalah novel pertama dari Andrea Hirata Seman. Pertama kali dengar nama "Andrea Hirata", aku pikir ini adalah penulis asal Jepang :D, dan novel ini adalah novel terjemahan. Ternyata bukan. Andrea Hirata berasal dari Belitong. Dan novel ini kabarnya adalah memoar masa kecilnya dan semua pelakunya adalah nyata. Laskar Pelangi adalah teman2 masa kecilnya saat bersekolah di sekolah kampung yang miskin di Belitong. Tapi tidak disebutkan secara eksplisit dalam novel ini oleh Andrea Hirata bahwa ini adalah kisah nyata.

Diawali saat SD Muhammadiyah, sekolah kampung di Belitong dengan fasilitas yang sangat terbatas bahkan minus, membuka pendaftaran untuk murid baru kelas satu. Hingga saat2 terakhir pendaftaran hanya 9 orang anak yang mendaftar dan siap masuk kelas di hari pertama. Padahal sekolah reot ini sudah diancam untuk membubarkan diri jika murid barunya kurang dari 10 orang.

Di kalangan bawah, menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada beban biaya yang harus ditanggung selama bertahun2. Dan tertutupnya kesempatan untuk mempekerjakan si anak secara penuh waktu demi membantu mengurangi beban hidup yang semakin berat. :(

Jika tak ada Harun, seorang anak berusia 15 tahun dengan keterbelakangan mental, yang disekolahkan oleh ibunya agar tidak cuma mengejar anak ayam di rumah, tentu tidak pernah terjadi kisah ini. Ikal tidak akan pernah bertemu, berteman satu kelas dengan Lintang, Mahar, Syahdan, A Kiong, Kucai, Borek alias Samson, Sahara, Trapani, dan Harun. Tidak akan pernah bertemu Bu Muslimah, guru penuh kasih namun penuh komitmen untuk mencerdaskan anak didiknya. Dan tidak akan pernah ada Laskar Pelangi, yang di musim hujan selalu melakukan ritual melihat pelangi sore hari dengan bertengger di dahan2 pohon filicium yang ada di depan kelas mereka.

Perjalanan Laskar Pelangi

Selanjutnya dikisahkan ragam kejadian yang penuh suka dan duka dari kesepuluh anak anggota Laskar Pelangi. Nantinya di tengah cerita Laskar Pelangi mendapat anggota kesebelas, anggota wanita kedua, Flo.

Berkisah tentang Lintang, anak super genius didikan alam, yang rumahnya berjarak 40 km dari sekolah dan dilaluinya dengan bersepeda setiap hari tanpa mengeluh. Bahkan ketika suatu hari rantai sepedanya putus, dia rela berjalan kaki menuntun sepedanya ke sekolah. Dan merasa bahagia karena masih mendapat kesempatan ikut menyanyikan Padamu Negeri di jam pelajaran terakhir.... *merinding*... (jaman SMP aku sempat kagum dengan teman2 yang setiap harinya mengayuh sepeda dari rumahnya yang berjarak 10 km dari sekolah, demi bisa menuntut ilmu di SMP Negeri yang baru ada di kota kecamatan... tapi ternyata itu belum ada apa2nya).

Berkisah tentang Mahar anak genius berikutnya, tapi yang satu ini genius dalam bakat seni. Berkisah tentang rutinitas membeli kapur tulis di toko yang jauh dari sekolah dan berbau busuk, menggiring ke kisah cinta pertama Ikal kepada A Ling yang berkuku indah. Tentang keberhasilan mereka mengangkat nama SD Muhammadiyah yang selama ini selalu dianggap remeh dalam acara karnaval 17 Agustus dan lomba cerdas-cermat. Tentang cita-cita Ikal. Tentang hilangnya Flo. Tentang petualangan mistis ke Pulau Lanun menemui Tuk Bayan Tula bersama Flo dan Mahar. Dan bagian pertama ini ditutup dengan kesedihan mendalam yang sangat mengharukan saat Laskar Pelangi harus merelakan perginya seorang teman yang kurang beruntung... :(

Bagian pertama itu mengambil rentang waktu dari hari pertama Laskar Pelangi masuk kelas satu Sekolah Dasar Muhammadiyah hingga empat bulan menjelang Ebtanas SMP di gedung sekolah yang sama dengan orang2 yang sama (tambah Flo tentunya).

Pada bagian kedua, kisah ini melompat dua belas tahun kemudian saat Laskar Pelangi telah menjadi sosok2 dewasa yang harus berjuang menggapai peruntungannya dalam kehidupan nyata. Masing2 menjalani suratan hidupnya yang sudah ditetapkan. Ada yang berjalan sesuai cita2nya, ada yang tidak terduga lompatannya, ada juga yang menyerah pada nasib yang sudah tergambar jelas sejak dahulu.

Berjuang dalam Keterbatasan

Suatu rangkaian cerita yang menyenangkan untuk dibaca. Mengenang masa kecil memang selalu indah. Walaupun kadang dibumbui dengan kepahitan2 yang menyedihkan, tapi selalu ada kegembiraan di masa kecil. Karena anak kecil pasti bisa menemukan kegembiraan, menemukan sesuatu untuk dimainkan dengan penuh keriangan betapapun sulitnya keadaan. Asalkan mereka tetap dibiarkan bebas bermain tentunya.

Anak-anak Laskar Pelangi dalam keterbatasan dan kesederhanaan bisa menemukan pencapaian2 puncak dan petualangan2 seru di masa kanak2 hingga remajanya. Kesederhanaan mereka memang membatasi, dan kadang membuat mereka sedih dan minder, tapi mereka tidak tenggelam dalam keluhan dan tangisan. Anak-anak itu tetap berjuang hingga batas terakhir kemampuannya.

Dipandu oleh Bu Mus, seorang ibu guru yang mengabdikan hidupnya untuk mendidik anak2 walaupun tidak memberikan materi yang mencukupi. Wanita lembut penuh kasih tapi juga bisa tegas ketika anak didiknya melenceng dari jalur. Dia memberikan kesempatan anak didiknya untuk berkembang seluas2nya, walau tetap dalam keterbatasan.

Gangguan2 Kecil

Meskipun begitu, terus terang, dari awal aku sudah merasa terganggu dengan beberapa hal. Terutama dari cara penulis menuturkan kisah2nya.

Pertama, aku sering kehilangan frame waktu. Kisah2nya kadang berlompatan dari satu frame waktu ke frame waktu yang lain tanpa urutan yang jelas dan tanpa penjelasan kepada pembaca tentang sedang berada di waktu yang mana saat itu. Seringkali tidak dijelaskan satu kejadian ini terjadi pada saat mereka kelas berapa. Tiba-tiba saja Ikal jatuh cinta, tiba-tiba saja Lintang membicarakan teori Fisika, padahal beberapa lembar sebelumnya mereka baru masuk kelas satu SD.

Masalahnya perbedaan usia pada masa anak2 dan remaja itu kan sangat berpengaruh pada cara berpikir. Antara anak kelas satu SD dan kelas tiga SD saja sudah berbeda, Apalagi dengan anak SMP.

Kedua, kehilangan frame usia pelakon. Andrea Hirata memilih cara bertutur orang pertama melalui tokoh Ikal, yang memang representasi dari dirinya sendiri. Tapi dia menceritakannya dengan gaya bertutur dan berpikir orang dewasa, bahkan pada saat Ikal baru masuk kelas satu SD. Keluguan seorang anak kecil yang baru masuk sekolah tidak dapat aku tangkap.

Western Minded?

Ketiga, terlalu banyak nama latin dan bahasa asing untuk kisah tentang anak2 di sekolah kampung. Imbas dari poin kedua juga tampaknya. Bukannya mau meremehkan bahwa anak2 sekolah kampung tidak pantas memakai bahasa asing, tapi memang pemakaiannya sudah melewati batas yang menurutku realistis.

Di lembar pertama saja ketika berkisah saat baru masuk SD aku sudah heran dengan penyebutan pohon di depan kelas dengan nama latinnya. Pohon Filicium, begitu selalu disebut. Sekolah itu terletak di kampung yang bukan tempat orang2 yang terpelajar yang tahu nama2 latin pohon. Mestinya penduduk sekitar situ punya nama sebutan sendiri atas pohon tua itu. Ya mungkin saja sih, itu pohon asing yang dari awal diperkenalkan sebagai "pohon filicium" kepada masyarakat. Tapi tetap saja terasa aneh. Dan lembar2 selanjutnya bertaburan nama2 latin untuk hampir setiap tumbuhan yang ada di sekolah itu.

Bukan itu saja, istilah2 ilmiah dan istilah2 asing juga banyak dipakai dimana2. Membuka daftar isinya saja, terbaca sekian banyak bab yang diberi judul dengan istilah asing. "Antediluvium", "The Tower of Babel", "Zoom Out", "Center of Excellence", "Be There of Be Damned!", "Elvis has left the building"... Ini beneran cerita tentang anak2 SD di kampung? aku bertanya-tanya..

Ungkapan2 asing yang sebenarnya ada kalimat padanannya dalam bahasa Indonesia juga mewarnai beberapa lembar novel ini. Seperti "sense of fashion", "simply irresistable", "superb", "standing applause", "The distinguished Miss A Ling herself". Tidak terlalu banyak, tapi menggangguku. Ini bukan teenlit tentang anak2 borju di kota kan?

Mahar sang seniman genius juga dikisahkan lebih menyukai memainkan lagu2 berbahasa asing daripada lagu2 lokal. Pertama kali dia 'ditemukan' oleh Bu Mus, saat dia pertama kali disuruh menyanyi di depan kelas, Mahar menyanyikan lagu "Tennesse Waltz" dengan iringan ukulele yang dibawanya dalam tas. Selanjutnya pada kesempatan lain dia menyanyikan "Leaving on a Jet Plane". Grup band yang dibentuk Laskar Pelangi juga menyukai lagu asing seperti "Light My Fire" dan "Owner of a Lonely Heart". Sementara lagu kebangsaan Ikal saat dia jatuh cinta adalah "Have I Told You Lately That I Love You" dan "All I Have to Do is Dream"....

Mungkinkah anak2 SD kampung itu memang dididik untuk menjadi western-minded? atau memang dibuat begitu agar novel ini berkesan "modern"?...

Ada yang Berlebihan

Keempat, ada hal-hal yang terasa terlalu dilebih-lebihkan atau terasa tidak pas dengan kenyataan. Ini bikin aku bertanya, apa benar ini kisah nyata? kok sepertinya 'too good to be true' (ikut2an pake istilah asing ah.. ;) )

Tentang kegeniusan Lintang misalnya. Memang mungkin saja ada anak genius yang sehebat Lintang yang tinggal di kampung miskin. Tapi prosentase probabilitas kejadiannya tentulah sangat kecil. Dan ini membuat kisah ini terasa seperti tidak menjejak bumi, bukan kisah semua orang dan memberi jarak terhadap kehidupan nyata yang dialami pembaca.

Di hari pertama kelas dua SD, Bu Mus sudah menanyakan soal2 perkalian rumit diatas sepuluh yang digabung dengan penjumlahan dan pengurangan. Lintang menyambar dengan cepat setiap pertanyaan, sementara yang lainnya sibuk menghitung dengan lidi. Padahal seingatku dulu dan waktu lebaran kemaren bantuin ponakan ngerjain pr liburannya, di kelas dua SD itu baru akan diajarkan perkalian sederhana di bawah sepuluh. Dan mungkinkah soal perkalian Bu Mus yang hasilnya ratusan bahkan ribuan itu dihitung dengan lidi?

Kemudian saat cerdas cermat SMP, ada soal2 matematika integral yang ditanyakan dalam lomba. SMP udah ada integral?... Bukannya SMP itu masih sibuk dengan persamaan kuadrat? Kalo Lintang sudah menguasai perhitungan integral itu tidak aneh dan sangat mungkin. Tapi kalo sampai ada pertanyaan integral dalam cerdas cermat SMP yang mestinya mengikuti standar kurikulum, itu jelas aneh.

Dan tahu nggak apa saja jawaban yang diberikan Lintang untuk pertanyaan2 dalam cerdas cermat tersebut? "Thermoluminescent dating", "Vincent Van Gogh", "Menyasszonytanc", "Paradoks air", "Medula Spinalis", "Basedow", "Extremly Low Frequency"... fuih!! cerdas cermat SMP atau pengujian calon Doctor sih? (Sangaji, si jenius di sinetron 80-an Rumah Masa Depan, masih digambarkan lebih membumi daripada ini)

Sementara si hebat satunya lagi, Mahar sang maestro seni, masih bisa diterima dan dibayangkan kehebatannya. Tapi saat diceritakan bahwa Laskar Pelangi punya grup band yang dilengkapi dengan Electone, Standing Bass, Drum, Tabla dan Rebana, aku bertanya lagi... ini bener murid2 sekolah kampung yang miskin itu? Belum sehebat Band Dekils-nya si Unyil sih, tapi sudah terasa aneh.

Terasa aneh lagi saat karnaval 17 Agustus, Mahar mampu menyediakan 30 buah Tabla untuk pertunjukan dalam karnaval itu. Apakah Tabla itu alat musik lokal yang dimainkan dan dimiliki oleh banyak orang? Di kampungku di jawa sana, untuk mendapatkan 30 buah kendang yang alat musik lokal saja pastilah perlu keliling ke seluruh penjuru kabupaten dan menyewanya dengan biaya tidak sedikit.

Minim dialog

Kelima, minimnya dialog. Andrea Hirata sangat pelit dengan dialog. Dia lebih sering bertutur sendiri menceritakan kisah2nya dalam pandangan pelaku pertama. Aku jadi serasa menikmati sebuah film bisu yang diberi narasi. Ada emosi2 yang tidak tersampaikan. Terasa ada jarak dari pembaca dengan kisah2 tanpa dialog itu, tidak merasakan emosi pelakunya yang biasanya tersampaikan lewat dialog2 antar pelaku.

Pada bagian2 yang dilengkapi dengan dialog, aku bisa merasakan kehangatan dan kehidupan cerita. Tapi di bagian yang tanpa dialog, aku seperti sedang nonton film dokumenter, dingin hampir tanpa emosi.

Akhir yang Menyentuh

Yah, walaupun begitu banyak keluhanku atas gangguan2 yang aku rasakan di novel ini, tapi aku menutupnya dengan perasaan dan kesan yang menyenangkan. Sebuah gambaran kehidupan yang menyentuh. Apalagi ditutup dengan cerita saat Laskar Pelangi sudah dewasa ketika mereka bertemu kembali dengan membawa cerita kehidupan mereka masing2. Aku ikut merasa kangen dengan serunya masa kecil mereka, dan terharu dengan segala nasib dan pencapaian mereka di saat dewasa.

Penuh hikmah kehidupan yang diajarkan oleh orang2 sederhana itu, walaupun tidak dituturkan dengan sederhana (hayah!.. nggak usah mulai lagi deh :P )

Selain penuh dengan istilah ilmiah, di saat yang lain cerita ini juga penuh dengan bahasa2 yang indah. Bahasa indah itu dicurahkan terutama saat menggambarkan keindahan suasana alam yang masih asli dan tentunya untuk menggambarkan suasana hati Ikal saat sedang jatuh cinta :) Ini dia contohnya, sebuah puisi pendek bikinan Ikal untuk A Ling seorang...

Bunga Krisan

A Ling, lihatlah ke langit
Jauh tinggi di angkasa
Awan-awan putih yang berarak itu
Aku mengirim bunga-bunga krisan untukmu



huhuhuhu.... aku termehek-mehek membaca puisi ini... gombal banget nggak sih :P