Sunday, February 12, 2006

Amarah Pram

Pertama kali denger nama Pramoedya Ananta Toer kesan yang aku tangkap adalah: suatu nama yang unik dan nyeni. Nama itu aku dengar di bangku SMA dari ibu guru Bahasa Indonesia saat sedang membahas para pujangga2 Indonesia setelah masa kemerdekaan. Nama itu dilanjutkan dengan embel2 keterangan bahwa orang tersebut mendapat stempel merah di dahinya... Komunis. Itu pemahamanku pertama tentang Pram.

Setelah itu, terabaikanlah nama tersebut dari hidupku. Pertama karena memang aku tidak banyak bersinggungan apalagi tenggelam dalam hal2 yang berbau sastra. Dan kedua, karena stigma komunis itu membuat aku tidak terlalu berkeinginan untuk mengetahuinya lebih jauh. Jaman itu, yang masih terasa sampai sekarang, stigma komunis sangatlah menyeramkan.

Barulah beberapa tahun terakhir ini, saat nama Pram mulai merebak lagi, aku mendengar namanya disebut2. Saat itu rupanya Pram sudah mendapat kebebasan penuh, dan melakukan perjalanan ke banyak negara untuk berbicara di depan banyak orang yang mengagumi karya2nya di Amerika dan Eropa.

Saat aku mulai terjebak dalam keasikan membaca fiksi, aku pun tak bisa terhindar untuk mencoba mencicipi seperti apa sih karya Pram yang banyak dipuji orang itu? Itu terutama dipicu oleh munculnya buku2 karya Pram di "toko buku deket rumah" :p Kalo buku2 Pram itu masih diedarkan secara sembunyi2, mungkin aku juga belum membacanya sampai sekarang. Karena aku memang nggak sebegitunya sama buku. Nggak pernah nyari2 buku sampai bela2in ke ujung dunia :D

Menyuarakan Orang2 Tertindas

Dari beberapa karya Pram yang sudah sempat aku baca, meskipun belum terlalu banyak, hampir selalu ada satu garis merah yang cukup jelas terhubung antara karya2nya. Adanya penindasan terhadap kebebasan orang2 lemah. Tokoh2nya ada yang berhasil melawan penindasan tersebut, tapi ada juga yang terpenjara menjadi korban dan tak sanggup melawan.

Bisa dibilang Pram memang selalu berusaha menyuarakan korban2 penindasan lewat karya2nya. Dengan cara itulah dia secara simbolik mencoba melawan para penguasa yang melakukan penindasan itu atau semacam itu di dunia nyata.

Tapi karena itu semua dibalut dalam sebuah karya sastra, jadinya nggak semua orang bisa menangkapnya secara langsung. Sebelum aku paham benar tentang pemikiran2 Pram yang melatarbelakangi karya2nya, aku pikir itu semua hanyalah sebuah karakter fiksi ciptaan Pram yang semata2 hanya untuk fiksi. Pram sekedar bercerita tentang masa lalu.

Setelah membaca karya2nya lebih banyak, barulah tergambar lebih jelas. Bahwa karya2 Pram bukan cuma fiksi. Ada teriakan2 yang disampaikan Pram lewat tokoh2nya. Teriakan pemberontakan terhadap kesewenang2an.

Dan semakin jelas lagi, setelah aku membaca perbincangan antara Pram dengan Andre Vltchek dan Rossie Indira yang disunting menjadi buku "Saya Terbakar Amarah Sendirian!". Terbitan KPG Jakarta, Januari 2006. Judulnya saja penuh emosi gitu. Dan di buku itu Pram benar2 bersuara dengan lantang sebagai dirinya sendiri. Meletupkan semua amarahnya tanpa tedeng aling2, tanpa perlu diwakilkan melalui para tokoh fiksi rekaannya.

Dendam Pram

Apa sih yang membuat Pram memendam amarah, hingga ia merasa terbakar sendirian?
Banyak, banyak hal tentang negri ini yang membuatnya marah. Sebagai orang yang peduli dengan masa depan bangsa (jarang lo orang yang benar2 peduli seperti ini) dia amat sangat prihatin dengan kondisi negri kelahirannya ini. Dan karena penyebab keprihatinannya itu adalah dari perilaku para penguasa yang seharusnya mengayomi rakyat, maka keprihatinannya itu berubah wujud menjadi amarah kepada kelompok pemegang kekuatan tersebut.

Yang jelas paling membuat Pram marah, tentunya adalah semua kejadian yang ia alami sendiri. Ditangkap aparat, dipenjara bertahun-tahun hingga dibuang di Pulau Buru, semuanya tanpa proses hukum. Yang ada cuma tudingan 'komunis'.Sejumlah karyanya dibakar habis, dan karyanya yang lain dilarang terbit.

Bahkan cuplikan amarah itu ditampilkan di sampul buku ini. Ada selembar kertas yang masih terpasang di sebuah mesin ketik. Kertas itu bertuliskan *bacanya pake mikroskop nih, soalnya kecil banget :D* :

Naskah yang dibakar adalah 2 bagian Panggil Aku Kartini Saja, Wanita Sebelum Kartini, 2 bagian Gadis Pantai, Sejarah Bahasa Indonesia, Suatu Percobaan, dua naskah lagi sekarang ini aku tak dapat mengingat.
Rumah yang diserang itu adalah rumah pertama yang kudirikan di Jakarta sebagai pengarang, pengarang doang. Anak-anak dibesarkan di sini, kubangun pada 1958. Kecuali anak termuda yang baru dilahirkan tidak sempat dibesarkan di sini. Rumah ini sampai sekarang, 2003, belum juga dikembalikan padaku oleh pihak Angkatan Darat. Pada seorang penghuninya kudapat keterangan, ia meninggali rumahku atas perintah Kodam V Jaya. Kami 7 tahun meninggali rumah itu sedang orang lain 43 tahun tanpa pernah membayar


Amarah terhadap Negeri

Selain terbakar karena ketidakadilan yang ia rasakan secara langsung, Pram juga terbakar dengan kehancuran negara kita tercinta ini sejak kudeta di tahun 1965. Pram tidak melihatnya sebagai peristiwa makar yang akhirnya berhasil ditumpas dengan sukses hingga ke akar2nya, tapi bagi Pram itu adalah kudeta terhadap pemerintahan Soekarno yang diikuti pembantaian sekian juta orang.

Dan sejak itu menurutnya, Indonesia tidak lagi diarahkan oleh pemimpin yang tahu dan mengerti tentang Indonesia, yang memahami sejarah negerinya. Soekarno memang sangat dihormatinya sebagai pemimpin bangsa, baginya Soekarno memiliki pandangan yang benar terutama visi 'national and character building'. Meskipun ada beberapa kebijakan Soekarno yang tidak disetujuinya, seperti diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa. Ketidaksetujuannya itu bahkan sempat membuahkan penjara satu tahun setelah ia menulis "Hoakiau di Indonesia".

"Saya ini selalu dimusuhi pemerintah, bahkan pada zaman Soekarno", ucap Pram dengan tertawa.


Berikut ini sejumlah kutipan pernyataan Pram di dalam perbincangan pada buku tersebut:

Tentang Bangsa Indonesia

Mengapa Indonesia jadi begini? Mengapa bangsa ini hanya berani ketika berada dalam kelompok dan tidak punya individualitas dan identitas?


Di dalam kehidupan keluarga Indonesia sekarang ini, keluarga tidak mengajarkan anak-anaknya untuk berproduksi, mereka hanya diajarkan bagaimana mengonsumsi saja. Hasilnya adalah rakyat tidak tahu lagi bagaimana cara berproduksi, hanya jadi kuli, jadi suruhan saja dalam hidupnya. Dan ketika mereka tidak bisa berproduksi, mereka berusaha dengan korupsi.


Indonesia sekarang ini bersatu, tapi untuk hal-hal yang tidak benar.


Rakyat sekarang miskin karena dimiskinkan oleh kaum elit.


Sejak kecil saya sudah membaca surat kabar dalam bahasa Indonesia, bahasa Jawa dan Belanda. Tapi sekarang ini, bahkan di keluarga saya sendiri, anak dan cucu saya tidak mau membaca surat kabar.... Mereka tidak lagi punya budaya membaca, mereka lebih sering menonton televisi... Tidak punya keinginan untuk menambah ilmu.


Tentang Jawanisme

Jawanisme adalah setia dan taat kepada atasan, yang pada akhirnya menjurus kepada fasisme. Fasisme yang tidak memperbolehkan adanya perlawanan dan oposisi. Taat dan setia yang membabi-buta dan tidak memikirkan pihak lain sama sekali.


Orang Jawa hanya tahu bagaimana kerja dan patuh. Mereka tidak peduli apakah mereka diperas dan siapa yang memeras mereka... pada akhirnya mereka hanya punya satu mimpi atau cita-cita: Bagaimana supaya tidak usah bekerja lagi.


(sebagai orang yang dibesarkan Jawa, meskipun tidak dididik dengan filosofi Jawa, aku cuma bisa garuk2 kepala)

Tentang Budaya dan Sastra

Mana yang disebut budaya Indonesia? Budaya Indonesia yang sebenarnya belum lahir. Apa yang kita kenal sekarang sebagai kebudayaan Indonesia hanyalah kebudayaan lokal dan daerah aja.


Sejak beribu-ribu tahun lalu, orang-orang Cina sudah menulis karya sastra yang hebat dan juga mencatatnya, semetara orang Indonesia hanyalah menulis tentang kekuasaan dan raja-raja yang bisa dilihat di dalam prasasti-prasasti.


Soeharto dan rezimnya tidak punya idealisme. Itulah sebabnya mengapa yang dikembangkan di bidang kebudayaan hanyalah hiburan. Hiburan yang makin lama makin tidak masuk akal... Rakyat Indonesia disuapi dengan segala macam kebohongan... Setelah dihujani dengan budaya yang seperti ini selama berpuluh tahun, negeri ini hanya tahu dan kenal satu saja: hiburan, terutama perjuangan ke arah tempat tidur dan peternakan diri... sehingga tumbuh kebudayaan yang tidak usah berpikir dan gampang untuk diperintah.


T: Selain Bung, apakah ada penulis, pembuat film, atau seniman lain yang menyerukan moralitas tinggi untuk bangsa ini dan menjadi simbol oposisi?
J: Tidak ada. Seorang penulis muda yang masih bisa saya baca karyanya, paling tidak 5-7 halaman, adalah Seno Gumira Ajidarma... Tapi saya tidak pernah bisa baca karya penulis-penulis Indonesia generasi terdahulu. Bukan berarti saya sombong, tapi memang begitu kenyataannya.
Tidak ada seorangpun yang membicarakan 'nation and character building'. Para penulis seharusnya punya tanggung jawab moral yang tinggi untuk bangsanya. Mereka tidak bisa hanya menulis semaunya saja.


Tentang Angkatan Muda dan Revolusi

Yang bisa mengubah hanyalah generasi angkatan muda. Tapi angkatan muda sekarang bahkan belum bisa melahirkan pemimpin! Bagaimana ini?


T: Apa yang bisa mengubah situasi ini?
J: Hanya angkatan muda yang bisa menjawab pertanyaan ini, bukan saya. Tapi menurut pendapat saya harus dengan revolusi... Harus ada gerakan angkatan muda


Bagaimana kita bisa bersatu sebagai bangsa untuk memerangi kekuatan global kalau pemerintah dan elit kita tidak bisa dipercaya?


Itu sebabnya mengapa saya masih mengatakan lagi kepada angkatan muda untuk membentuk budaya baru dan lupakan budaya nenek moyang kita. Memang menyakitkan, tapi saya tidak bermaksud menghasut.


T: Tapi revolusi macam apa?
J: Revolusi total!


(Secara retorik memang mudah mengatakan 'revolusi total'. Tapi untuk revolusi total bukankah dari awal diperlukan ideologi yang solid yang akan dijadikan pedoman dan panji2. Di samping tentu saja perlu adanya kekuatan yang cukup mampu melakukan tindakan seekstrim itu, agar tidak menjadi tindakan konyol.
Padahal anak muda sekarang kebanyakan telah berhasil dibungkam dengan berbagai macam kesenangan yang ditawarkan dunia hiburan. Siapa yang bisa diharapkan?)

Tentang Agama

T: Ngomong-ngomong, apakah Bung percaya agama?
J: Saya hanya percaya pada diri saya sendiri. Dan dengan berjalannya waktu, saya tahu bahwa saya hanya bisa bergantung pada diri saya sendiri. Saya ditahan oleh Orde Baru selama 34 tahun di penjara dan kamp konsentrasi, dan Tuhan tidak pernah menolong saya. Orang-orang datang kepada Tuhan untuk mengemis. Menurut saya berdoa itu sama dengan mengemis


Agama mengatakan janji surga itu berasal dari Tuhan, tapi menurut saya itu hanya buatan manusia saja. Semua yang menggunakan bahasa manusia adalah produk otak manusia.


Kalau seseorang mengkritik agama, maka berarti dia mengkritik seluruh masyarakat Indonesia, dan saya kurang kuat untuk melakukan hal itu.


(yap, berdoa memang mengemis kepada Tuhan, agar manusia sadar kelemahannya dan tidak congkak saat berjalan dimuka bumi.
Lalu kalau agama menggunakan bahasa Tuhan, bagaimana manusia akan memahaminya?)

Tentang Dirinya

Menulis buat saya adalah perlawanan. Di semua buku saya, saya selalu mengajak untuk melawan. Saya dibesarkan untuk menjadi seorang pejuang.


Bukan, saya bukan Marxis, tapi "Pramis" (tertawa). Saya tidak pernah menganut suatu ajaran apapun. Saya hanya mengikuti ajaran saya sendiri. Belajar dari pengalaman hidup sendiri. Tapi saya percaya pada Keadilan dan Kesetaraan Sosial.


Saya hidup di dunia saya sendiri. Diluar itu yang ada hanya korupsi... Negara yang dulu saya perjuangkan sekarang dalam proses pembusukan, jadi bagaimana saya tidak marah?


Idealisme Pram yang Pantang Surut

Terlihat sekali, bahwa Pram masih dengan kuat memegang idealismenya. Padahal yang seringkali terjadi adalah idealisme mulai meluntur ketika berbagai kepentingan dan kebutuhan mulai muncul dengan bergeraknya usia.

Anak2 muda yang belum punya banyak kepentingan pribadi sering kali berada di puncak idealismenya. Mereka bisa bersuara dengan sangat keras atas ketidakadilan. Tapi begitu mereka mulai memiliki kebutuhan dan kepentingan pribadi, atau ketika mereka merasakan nyamannya hidup mapan tanpa konflik, idealisme pun menyurut setapak demi setapak.
Mungkin sebagian masih menyimpan idealisme itu di dalam dirinya. Mereka terpaksa menyimpannya setelah menyadari dan belajar dari pengalaman akan beratnya menjunjung idealisme sendirian, selanjutnya mau tak mau mengadakan kompromi dengan diri sendiri.

Namun Pram tetap teguh dengan idealismenya. Faktor ia sendiri sebagai korban langsung tampaknya sangat berpengaruh. Meski sebelum itupun dia sudah cukup vokal. Dengan mengambil jalur sastra sebagai alat perjuangnnya dan konsisten di dalamnya, Pram cukup aman dan malah mendapat banyak jalur untuk menyampaikan pendapatnya. Akan sangat berbeda jika Pram mengambil jalur politik. Di jalur itu, mungkin dia akan terpaksa melakukan kompromi2 jika tidak mau mengalami hal2 yang tragis :(

Meskipun saat ini Pram sudah tidak bisa lagi berkarya karena faktor kesehatannya yang tidak memungkinkan lagi, keberadaan karya2 Pram tetap akan menjadi aset sastra Indonesia yang tidak hanya sebagai karya sastra tapi juga sebagai penggugah kesadaran bangsa untuk bangkit memperbaiki negaranya.

Kabarnya sejak Januari 2006 kemaren hingga sekarang, Pram sedang dirawat di rumah sakit karena kesehatannya semakin menurun. Sementara tanggal 6 Februari kemaren ia tepat mencapai usia 81 tahun. Kabarnya lagi, 'Bumi Manusia' telah dibeli hak ciptanya untuk difilmkan dengan harga jutaan dollar...

Semoga kembali sehat, selamat ulang tahun, dan selamat atas semakin berkibarnya karya2 anda di seluruh antero bumi manusia :)