Friday, March 03, 2006

Kisah Klan Otori [Repackage]

Nggak cuman album musik doang dong yang boleh di-repackage. Posting di blog bisa juga di-repackage kalo memang perlu dikemas ulang ;) Jika albumnya Glenn, Marcell, KD di-repackage dengan menambahkah beberapa lagu baru disamping lagu2 yang udah ada sebelumnya, posting ini juga di-repackage dengan menambahkan review buku ketiga dari rentetan trilogi karya Lian Hearn ini.

Bukan sekedar ngikutin trend dunia musik, tapi juga demi kepentingan pembaca blog ini biar gak perlu nyari2 lagi posting yang membahas 2 buku sebelumnya... Kurang baik gimana coba? :P

Baiklah, dimulai saja dengan me-review ulang (re-review dong ya :D) dua buku pertama dari trilogi "Kisah Klan Otori" ini, "Across the Nightingale Floor" dan "Grass for Her Pillow". Langsung dilanjutkan dengan buku ketiganya, "Brilliance of the Moon".

Across the Nightingale Floor

Nightingale Floor adalah nama untuk sejenis lantai yang dibuat dari kayu dengan teknik pembuatan sedemikian rupa sehingga kalo orang berjalan di atasnya pasti akan menimbulkan bunyi berdecit-decit mirip kicauan burung Nightingale alias burung bulbul.

Yang keisengan masang lantai ini di sekeliling rumahnya adalah Lord Iida Sadamu, pemimpin Klan Tohan. Setelah perang Yaegahara, klan Tohan berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Tiga Negara. Kekuasaan yang direbutnya secara paksa melalui perang itu jelas memunculkan banyak musuh yang menginginkan kematiannya. Dengan terpasangnya lantai bulbul itu, dia berharap bisa lebih nyenyak tidur di malam hari, karena tidak akan ada orang yang berniat buruk terhadap dirinya yang bisa mengendap2 memasuki kamarnya tanpa menimbulkan suara.

Selain menundukkan klan2 pesaingnya, Iida Sadamu juga berusaha melenyapkan satu kelompok masyarakat yang disebut kaum Hidden. Kaum Hidden ini sebenarnya sama sekali tidak bermusuhan dengan klan manapun. Tapi karena kepercayaannya akan agama yang hanya memiliki satu Tuhan dan tidak adanya kelas2 dalam masyarakat dianggap mengancam para ksatria, maka Iida merasa perlu melenyapkan kaum ini dan kepercayaannya.

Salah satu aksinya adalah membumi-hanguskan suatu desa di Mino yang dihuni kaum Hidden. Desa itu pun luluh lantak. Seluruh penduduk tewas. Kecuali seorang anak berusia belasan tahun yang kebetulan sedang berada di hutan. Anak ini sempat mempermalukan Iida Sadamu dan segera melarikan diri. Di hutan ia ditemukan dan diselamatkan oleh Lord Otori Shigeru, pemimpin Klan Otori. Ia lantas diberi nama Takeo dan diangkat sebagai anak.

Takeo dididik sebagaimana layaknya anak ksatria. Dalam pelatihan2nya, Takeo menemukan kalo dirinya memiliki kemampuan supranatural yang tidak dimiliki orang biasa. Pendengarannya setajam anjing hingga bisa mendengarkan suara2 dari kejauhan. Ia juga mampu memunculkan bayangan sosok kedua untuk mengelabui lawan, dan mampu menidurkan anjing dengan tatapan mata. Yang memiliki kemampuan semacam itu biasanya adalah keturunan kaum Tribe, para pembunuh bayaran.

Lord Iida Sadamu yang sangat berkuasa, berniat membangun persekutuan dengan klan Otori dengan menikahkan Lord Otori Shigeru dengan Lady Shirakawa Kaede, dari klan Shirakawa yang telah tunduk kepada klan Tohan. Pernikahan dilakukan di tempat tinggal Lord Iida Sadamu di Inuyama, dimana Nightingale Floor terbentang....

Grass for His Pillow

Buku kedua ini berkisah tentang sepasang muda-mudi yang baru berusia belasan tahun Takeo dan Kaede (yang pernah jadi calon istri Lord Otori Shigeru). Kedua orang ini di buku pertama saling tertarik dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi mereka tidak bisa bersatu begitu saja. Takeo diculik oleh kaum Tribe yang merasa berhak untuk memanfaatkan kemampuan Takeo yang memang keturunan Tribe. Padahal Takeo telah bersumpah setia kepada Lord Otori Shigeru untuk mengabdi kepada Klan Otori. Dan setelah dia resmi diangkat sebagai anak, dia adalah pewaris sah dari kepemimpinan Klan Otori.

Kaede sendiri adalah pewaris sah kepemimpinan Klan Shirakawa. Selain itu juga mendapat amanat mewarisi kepemimpinan Klan Maruyama dari kerabat dekatnya. Padahal sejak kecil dia ditahan di kastil oleh orang Tohan hingga saat dia akan dinikahkan, tanpa mendapat didikan apapun sebagai bekal untuk memimpin Klan-nya.

Kaede-pun berusaha mengejar ketertinggalannya. Di usia yang masih sangat muda, dia harus berpikiran dewasa untuk memimpin klannya. Tentu saja banyak yang meremehkan dan menolak kepemimpinan seorang wanita, tapi Kaede mengeraskan hati untuk meraih apa yang seharusnya ia raih. Walaupun setiap saat dia dilanda kerinduan kepada Takeo, yang ia tak tahu keberadaannya.

Buku kedua memang nggak terlalu seru dibanding buku pertama. Nggak terlalu banyak pertempuran. Lebih banyak ngobrol :D Tapi semua itu mestinya adalah meletakkan elemen2 yang akan membangun buku ketiga. Takeo dan Kaede sedang mempersiapkan kekuatan untuk menyatukan wilayah yang menjadi hak mereka. Mungkin itulah makna dari judul buku kedua ini. Menyiapkan jerami untuk bantal kekuasaan kelak.

Brilliance of the Moon

Klan Tohan setelah sepeninggal Iida Sadamu bisa ditundukkan oleh Klan Arai yang dipimpin Lord Arai Daiichi. Arai pun otomatis menjadi penguasa Tiga Negara. Takeo yang sangat diharapkan untuk bersekutu dengan Arai, malah menghilang karena diculik Tribe. Arai merasa diabaikan oleh Takeo (Ini semua adalah bagian dari buku kedua, ditulis disini biar nyambung sama buku ketiga). Arai semakin gusar ketika mendengar Takeo menikahi Kaede di biara Terayama tanpa seijinnya. Sementara Takeo sendiri sedang dikejar2 oleh orang2 Otori yang tidak menghendaki klan Otori dipimpin oleh Takeo.

Setelah menikah Takeo dan Kaede pergi ke Maruyama untuk mengambil kekuasaan klan Maruyama yang diwariskan kepada Kaede. Melalui pertempuran di Asagawa dengan pasukan pimpinan Iida Nariaki yang juga merasa berhak memimpin Maruyama, Kaede akhirnya bisa duduk sebagai pimpinan klan Maruyama.

Selanjutnya Takeo mempersiapkan penyerbuan ke Hagi, ibukota kekuasaan klan Otori, untuk merebut kekuasaan atas klan Otori. Tapi sebelum Takeo menuntaskan semua persiapan, Kaede yang pergi menengok rumahnya di Shirakawa disandera oleh Lord Fujiwara yang didukung penuh oleh Arai. Dan pasukan Arai yang sangat besar juga telah siap untuk segera menundukkan Takeo dan pasukannya.

Sarat dengan pertempuran dan pertumpahan darah. Sebagaimana ramalan seorang perempuan pertapa yang mengatakan bahwa Takeo akan menghadapi lima peperangan dalam perjalanan mewujudkan cita2nya.

Kehidupan Jaman Feodal

Baca novel ini rasanya dibawa masuk ke masa2 pemerintahan feodal. Para bangsawan dan ksatria merasa dirinya sebagai kelas tertinggi yang boleh berbuat apa saja terhadap rakyat jelata. Petani dan nelayan adalah manusia kelas rendahan yang tidak terlalu perlu dihiraukan. Apalagi mereka yang masuk kelas gelandangan.

Tapi menjadi bangsawan juga tidak sepenuhnya enak. Intrik perebutan kekuasaan menjadi bagian dari kehidupan mereka, dengan ancaman resiko kematian setiap saat. Sementara menjadi ksatria, jelas harus juga siap mati setiap saat dalam memperjuangkan kekuasaan sang bangsawan yang ia dukung.

Dalam masa saling berebut kekuasaan seperti itu, kehidupan menjadi sangat rapuh. Mati kayaknya gampang banget. Prajurit dan bangsawan yang jago perang itu enak aja menebas kepala orang yang membangkang, membakar perkampungan lawan, menyiksa musuh sampai mati. Di lain pihak juga ada budaya harakiri alias bunuh diri jika merasa harga dirinya sudah lenyap dan tak pantas hidup lagi. Hidup mereka seperti sekedar bertahan hidup menunggu mati saja, sambil tetap berusaha menjaga kehormatan dan nama baik.

Dan sebagaimana umumnya gaya penguasa feodal, wanita selalu berada di posisi yang lebih rendah. Wanita menjadi bidak yang diatur dan dimainkan penguasanya. Bahkan Kaede maupun Naomi Murayama yang menjadi pemimpin klan tidak bisa terlepas dari pengekangan semacam itu. Meskipun mereka punya kemampuan untuk bertempur tapi mereka tetap bertindak layaknya wanita lemah yang tidak berdaya melawan dominasi kekuasaan pria.

Unsur Jepang

Beberapa orang bilang kalo novel ini kurang "Jepang". Memang penulisnya bukan orang Jepang sih, orang Inggris. Dan dia cuma sempat beberapa bulan saja berada di Jepang. Latar-belakang Jepang dia bangun sendiri berdasarkan data-data yang ada dan dari narasumber orang2 Jepang.

Ya gimana nggak ilang rasa Jepangnya, kalo tokoh2nya dipanggil dengan gelar "Lady" dan "Lord" yang jelas Inggris banget (di versi terjemahan juga tetap digunakan "Lady" dan "Lord"). Istilah2 Jepang juga sangat jarang dipake. Hampir semuanya sudah dialih-bahasakan ke bahasa inggris lalu ke bahasa indonesia. Kecuali beberapa nama benda yang memang tidak ada padanannya. Jadi jangan harap bakal bisa sekalian belajar bahasa Jepang, seperti kalo lagi baca Kho Ping Hoo bisa sekalian belajar bahasa mandarin ala kangouw :D

Detil, Indah, dan Dalam

Meskipun begitu, di sisi lain, penulis berhasil menciptakan suasana setting yang sesuai dengan imajinasi Jepang kuno dengan cukup detil. Aku sih patokan yang paling gampang ya, mbayangin settingnya Oshin :D Kaede aku bayangin sebagaimana Oshin remaja. Cantik, putih, lemah lembut, tampak rapuh tapi bisa berperilaku keras saat dibutuhkan.

Bahasanya cukup indah berbunga-bunga saat melukiskan suasana alam, dari warna bunga, bebauannya, hingga suara2 yang terdengar. Semua dituturkan dengan detail. Bagi yang suka dengan gambaran romantis alam seperti itu akan memberikan suasana yang puitis selama membacanya. Tapi bagi yang tidak nggak bakalan, ya bakalan merasa dihambat kelancarannya membaca.

Penggambaran Jepang kuno yang sangat feodal juga kena banget hingga ke detil2nya. Setiap kali ada adegan pertemuan dengan bangsawan, sang tamu selalu digambarkan membungkukkan badan hingga keningnya menyentuh lantai. Dan baru akan mengangkat tubuhnya setelah dipersilakan oleh tuan rumah. Bertatapan mata tidak boleh sembarang dilakukan. Pembicaraan antar bangsawan juga digambarkan sangat penuh basa-basi dan penuh kepura-puraan. Priyayi abis deh... :D

Detil-detil itu bikin alur cerita jadi agak lambat. Penuh konflik tapi berjalan pelan. Untungnya nggak sampe jatuh jadi membosankan buat aku. Tetap menarik, rasanya jadi seperti hanyut dalam kontemplasi tokoh utamanya.

Full Intrik

Namanya kisah tentang para ksatria pastilah isinya tentang intrik perebutan kekuasaan. Begitu juga novel ini. Ada 5 klan besar yang berebut kekuasaan. Klan Otori, Klan Maruyama, Klan Sheisuu, Klan Shirakawa, dan Klan Tohan. Kemudian muncul klan Arai pecahan dari klan Sheisuu. Ada yang saling bersekutu, ada yang musuh bebuyutan, ada yang telah tunduk menyerah ke klan yang lain tapi tetap menyimpan dendam. Di luar itu ada yang namanya kaum Tribe. Mereka adalah orang2 yang secara alami memiliki kemampuan supranatural. Tapi tidak memihak salah satu klan. Mereka adalah orang bayaran yang bersedia diperintah para penguasa asalkan mendapatkan imbalan.

Takeo sendiri, si tokoh utama, dari garis ibunya adalah keturunan kaum Hidden yang banyak dibenci kalangan lain karena kepercayaannya kepada Tuhan yang tunggal. Sementara ayahnya adalah orang Tribe berdarah campuran dengan Otori yang membelot dan dibunuh. Ketiga garis darah itu sering tarik menarik dan menimbulkan kekalutan sendiri di kehidupannya.

Memang di intrik2 itulah yang bikin novel ini jadi seru. Ditambah adegan2 action berupa pertempuran, perkelahian, atau penyusupan yang walaupun penuh darah, tapi tetep diceritakan dengan elegan. Apalagi jagoannya disini punya kemampuan supranatural yang melebihi orang2 kebanyakan, wah tambah asik aja. Tapi kemampuan supranatural sang jagoan disini nggak sampe berlebihan seperti para X-men, dan diceritakan dengan tidak berlebihan juga. Jadinya si jagoan ini bisa tetap terasa sebagai manusia.



Endingnya Kurang Hebat

Secara keseluruhan cukup menyenangkan membaca trilogi ini. Banyaknya intrik bikin pembaca penasaran gimana kelanjutannya dan gimana ending untuk masing2 tokoh. Walaupun akhir ceritanya sudah bisa ditebak, apalagi adanya ramalan yang disebutkan di buku kedua, tapi sepanjang jalur menuju ending itu cukup banyak belokan yang mengejutkan.

Yang paling memikat menurut aku adalah buku pertama, karena di bagian inilah pembaca bisa mengikuti perkembangan Takeo dari seorang anak yang lugu, kemudian berlatih dan berlatih hingga akhirnya memiliki kemampuan tinggi di atas rata2 pada usia belasan tahun. Buku kedua terasa sangat lambat plotnya, jarang ada pertempuran. Apalagi banyak menguak kelemahan Kaede dalam menghadapi nasib dan cintanya.

Buku ketiga memang banyak pertempuran, meskipun tidak semuanya digambarkan sebagai pertempuran kolosal yang seru. Cuman sayangnya pertempuran akhir yang menjadi klimaks kok nggak heboh ya? begitu saja. Pertempuran yang paling seru malah saat Takeo berusaha merebut Maruyama yang dikuasai Iida Nariaki. Karena klimaks yang nggak seru dan tidak mengerahkan semua kemampuan Takeo itu, jadinya kesan akhirnya ya nggak hebat-hebat banget.

Pertemuan kembali Takeo dan Kaede juga kurang didramatisir untuk memperindah akhir cerita. Padahal sepanjang cerita sebelumnya penuh dengan penggambaran dalamnya cinta mereka berdua. Sepertinya penulis membuat endingnya secara terburu-buru, tidak berusaha lebih jauh mengeksploitasi suasana demi ending yang lebih mengesankan.

Tapi masih ada beberapa hal yang dibiarkan menggantung tidak diungkap hingga akhir trilogi. Masih ada satu ramalan yang belum terjadi. Jadi sangat mungkin bakal ada sekuelnya yang melanjutkan trilogi ini.