Sunday, March 12, 2006

Filosofi Kopi Dee

Kemasannya keren, artistik dan antik. Dominasi warna coklat dengan butiran2 biji kopi mengkilat sebagai latar belakang. Tumpukan biji kopi itu pada bagian tengah ditutup motif kertas sampul coklat. Kertas sampul coklat yang udah nggak jaman lagi saat ini, tapi justru itu yang membuatnya terasa antik. Kertas itu pada masanya dulu identik dengan kerapian dan memberikan kelas tersendiri untuk buku2 yang tersampul olehnya. Itu juga yang tersirat saat aku melihat sampul buku ini. Tulisan judul bukunya tercetak rapi di atas motif sampul coklat dengan dekorasi garis lengkung dan garis lurus yang artistik. Berkelas.

Judulnya pun terasa berkelas. "Filosofi", ah.. kata yang berat. Di dalam kata itu terbayang sederetan kalimat panjang berbelit-belit hanya untuk menjabarkan sebuah kata. Tapi saat disandingkan dengan kata "Kopi", jadi terasa lebih ringan. Karena kopi identik dengan keseharian. Gambarannya yang didapat pun jadi lebih jelas, ringan tapi berkelas.

Awas, hati-hati membaca judul buku ini. Bisa2 lidah jadi belibet. "Filosofi Kopi". Bukan "Filosopi Kopi", ataupun "Filosofi Kofi"! Dua yang terakhir memang lebih gampang diucapkan, apa lagi buat yang lidahnya rada medok :P

Kumpulan Prosa

Buku ini disebutkan sebagai "Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade, 1995 - 2005". Penerbitnya Truedee dan GagasMedia, Februari 2006. Mengumpulkan 18 karya Dee, atau Dewi Lestari, selama sepuluh tahun tersebut. Memang lebih cocok disebut sebagai kumpulan prosa, karena sebagian diantaranya adalah prosa pendek puitis yang memang penuh filosofi ala Dee. Beberapa cerita yang ada di dalamnya juga terlalu panjang untuk disebut cerpen.

Diterbitkan pada waktu yang tepat untuk mengobati rasa rindu pencinta tulisan Dee. Sambil menunggu kelarnya Supernova ke-4, yang kabarnya bakal berjudul "Partikel". Supernova rata2 dikeluarkan dengan jeda 2 tahun, jadi mungkin bakalan baru awal tahun depan akan muncul kembali sekuel berikutnya. Dan buku ini bisa mengisi kekosongan itu buat yang ingin menikmati "kopi2" bikinin Dee. Nikmat, hangat, terasa manis meskipun namanya kopi pastilah ada rasa pahit. Kadang ringan tapi kadang juga sedikit bikin pusing.

Filosofi Kopi yang Berbeda

Cerita utama yang sekaligus dijadikan sebagai judul buku ini, menurutku memang cerita terbaik di buku ini yang pantas dijadikan judul. Di samping judul tersebut menggelitik, juga bisa mencerminkan keseluruhan cerita di dalamnya tentang hidup yang mau tidak mau akan diwarnai kepahitan sebagaimana kopi. Juga memberikan sugesti kepada pembacanya untuk menikmatinya dengan santai sambil minum2 kopi.

Filosofi Kopi bercerita tentang Ben dan Jody yang membuka cafe dengan menu utama aneka macam racikan minuman kopi dari berbagai penjuru dunia. Ben sangat terobsesi dengan kopi, hingga rela menguras tabungannya untuk berkeliling dunia mencari aneka ramuan2 kopi langsung dari sumbernya. Setelah mendapatkan semuanya, obsesi Ben beralih ke pencarian racikan minuman kopi paling sempurna.

Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.


Cerita itu menjadi sangat unik karena mengambil topik yang sangat berbeda dari cerita lainnya. Tahu kan, cerita yang selalu dan selalu menjadi topik pilihan mayoritas penulis? Apalagi kalo bukan: Kisah cinta antar manusia.

Walaupun di bagian prosa pendek puitis "Salju Gurun", Dee memberikan gagasan dan pandangan tentang salju di gurun untuk membangkitkan keberanian "menjadi berbeda". Toh pada akhirnya, Dee tidak bisa menolak untuk menyisakan sebagian besar tulisannya sebagai tulisan tentang Cinta, sebagaimana pasir2 di gurun. Yah, salju di gurun pun tak akan bisa berlama2 bertahan dalam bentuk salju, dalam sekejap dia akan mencair menelusup di antara butir pasir dan menguap terbang menjadi bagian tak berbeda dari elemen gurun yang lain.

Aku yakin, meskipun salju Dee di gurun tidak selamanya berwujud salju, tapi mencairnya Dee tidak akan mewujud menjadi "sastrawan kembang". Hopefully. And please... don't.

Cerita-cerita Pendeknya

"Mencari Herman", cerita tentang pencarian atas seseorang bernama Herman. Cerita ringan yang berkesan rada lucu2an. Tapi sesaat aku jadi ingat kalau aku pun tidak punya seorang teman yang bernama "Herman", tanpa embel2. :)

"Surat Yang Tak Pernah Sampai", tentang surat2 cinta yang tak pernah sampai. Dee menghamburkan filosofi2-nya tentang hubungan antara dua anak manusia yang dikenal dengan istilah Cinta.

"Sikat Gigi", kisah cinta Egi dan Tio. Dua orang yang sangat berbeda. Yang satu romantis, puitis, dan sensitif, satunya lagi kaku dan sangat rasional. Perbedaan yang malah saling melengkapi. Di dalamnya Dee berhasil mengangkat rutinitas menyikat gigi menjadi suatu kegiatan bermakna lain. Tapi sayangnya tidak mampu mempertahankan Tio sebagai sosok yang kaku dan rasional. Karena cerita ini ditulis secara romantis maka Tio pun akhirnya melebur dalam kalimat2 puitis.

"Sepotong KUe Kuning", kisah perselingkuhan. Hingga akhir cerita aku tetap tidak bisa menangkap apa arti dari metafora "Kue Kuning".

"Lara Lana", hmmm... cinta tak selalu harus memiliki bukan?. Pada beberapa paragraf terakhir kita akan dipaksa untuk membaca ulang dari awal dengan sisi pandang yang berbeda.

"Buddha Bar", bukan kisah cinta sih. Lebih tentang persahabatan lima orang dengan berbagai karakter yang melebur dalam satu keutuhan bersama. Emh.. mungkinkah ini tulisan tentang perkenalan Dee dengan Buddha?

"Rico de Coro". Fabel tentang kecoak yang jatuh hati pada manusia.

Prosa-prosa Puitis-nya

Dan bagian2 lainnya adalah prosa pendek puitis, meletupkan cara Dee memandang dan memaknai kejadian dan situasi yang ada di sekelilingnya. "Salju Gurun", "Kunci Hati", "Selagi Kau Lelap", "Jembatan Zaman", "Kuda Liar", "Diam", "Cuaca", "Lilin Merah", "Spasi", dan "Cetak Biru".

Paling mengesankan buat aku adalah saat Dee memberi makna tentang "Spasi", perlunya ada ruang untuk bergerak dalam sebuah hubungan, dan juga pandangan Dee tentang "Jembatan Zaman", tentang perubahan seorang manusia di setiap masa usianya dimana dia tidak akan mampu memahami masa usianya yang lain.

Filosofi-filosofi Dee terasa sangat dalam di prosa2 pendek puitisnya. Sehingga terkesan Dee adalah seorang perenung yang memikirkan setiap detil dari kehidupannya untuk dicari filosofi dan maknanya terhadap hidup secara keseluruhan. Mungkin kesan itu tidak terlalu salah, karena di cerita2 yang riang dan ringan pun masih terselip satu dua kalimat berisi filosofi atau metafora yang bisa direnungi.

Racikan Pengobat Rindu

Dee banyak bermain dalam usaha pemaknaan kembali, dan tidak banyak bereksperimen dengan menyajikan plot atau cara bertutur yang berbeda-beda. Usahanya tersebut sering kali berhasil dalam membentuk persepsi baru atas satu peristiwa atau satu bagian kehidupan yang membuat pembaca ikut bercermin ke dalamnya.

Kadang imajinasinya sangat ringan melompat-lompat seperti "Petir", kadang dalam penuh makna meski getir seperti "Akar". Meskipun di buku ini tidak ada yang se-'ilmiah' "Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh". Itu semua menunjukkan kembali bahwa Dee memang mampu meracik tulisan dalam berbagai aroma, meskipun dibatasi dalam ruangan2 sempit sebuah cerita pendek atau prosa puitis pendek.

Dan dengan berbagai macam corak tulisan seperti itu, buku ini memang tepat sebagai pengobat rindu sambil menunggu bagian berikutnya dari Supernova.