Monday, March 20, 2006

BIDIK!, Novel dengan Dua Sisi

"Bidik!" judulnya. Memiliki dua sisi, itulah keunikannya. Bukan hanya dalam arti sisi cerita, tapi juga dalam arti fisik. Dan dua sisi dalam bentuk fisik inilah yang paling unik, sampai mampu menggerakkan tanganku membawanya pulang. Penyusun layout dan pihak percetakan rela merepotkan diri untuk mewujudkan novel dengan dua sisi layout yang tidak lazim ini.

Jadi novel ini bisa dibaca dari dua sisi. Artinya bisa dibaca dari depan, bisa juga dibaca dari belakang. Seandainya tidak ada kotak bar code dan alamat penerbit yang lazimnya diletakkan di sampul belakang, maka orang yang memegang novel ini akan bingung menentukan mana sampul depan dan mana sampul belakang.

sampul Bidik
Membaca dari sisi belakang bukan berarti kita akan membuka halamannya dari kiri ke kanan. Tidak seperti itu. Pada sisi kedua, layout buku ini diputar 180 derajat dari layout sisi pertama, sehingga pembaca akan tetap membuka setiap halaman novel dari kanan ke kiri sebagaimana lazimnya buku berhuruf latin biasa. Dan di pertemuan kedua sisi di pertengahan buku (tidak tepat di tengah sih, karena panjang cerita kedua sisi berbeda) ada satu halaman pembatas yang memisahkan dua halaman yang terbolak balik satu sama lain.

Unik sekali idenya.

Dua Sisi Cerita dan Dua Sisi Buku

Mengapa layout novel ini dibuat seperti itu? Karena novel ini memiliki dua cerita yang berbeda tentang satu tragedi yang sama. Sesuai dengan tagline yang tercantum di kedua sisi sampulnya "Tragedi selalu memiliki dua sisi". Dua cerita dengan tokoh utama yang berbeda dengan permasalahan yang berbeda. Dua cerita ini disatukan oleh satu tokoh yang punya peran di kedua sisi. Dan kemudian akhirnya satu tragedi yang sama mengakhiri kedua sisi tersebut dengan satu sama lain tetap mengambil sudut yang berbeda.

Karena kedua kisah itu tidak diletakkan secara berurutan, melainkan disusun terpisah di sisi yang berbeda, maka terasa benar bahwa dua cerita itu adalah sisi yang tidak menyatu meskipun berada di mata uang yang sama.

Sungguh suatu ide yang unik. Dan menjadi semakin unik ketika ide novel dengan dua sisi itu bukan hanya terwujud dari segi penceritaan, tapi juga bisa dituangkan dalam bentuk layout buku dengan dua sisi...
Ya ya.. aku memang kagum banget sama ide itu, makanya aku sampe harus berulang2 menyebutkannya :P

Novel ini ditulis oleh Nugroho Nurarifin. Baru kali ini aku dengar namanya. Tapi begitu muncul langsung menawarkan sebuah terobosan yang sangat unik. Diterbitkan oleh Gramedia, Agustus 2005. Sisi pertama mengambil ruang sebanyak 92 halaman, sedangkan sisi kedua lebih panjang dengan 156 halaman.

Sisi 1 : Lomotion

Di sisi 1 ini yang menjadi tokoh utama adalah Hendrik. Seorang pria muda yang merasa punya bakat seni, namun harus terjebak dalam kehidupan yang tidak dia inginkan.

Hendrik terjebak dalam rutinitas pekerjaan kantoran yang bukan impiannya. Tugas-tugas rutin yang membuat ia jenuh ditambah bossnya yang juga rutin memarahinya. Sementara di rumah dia juga harus terjebak dengan istri yang tidak pernah ia cintai, yang selalu ngomel tentang berbagai hal dan tidak menghargai keberadaannya sebagaimana layaknya suami.

Hendrik pernah terlibat dalam berbagai proyek seni, tapi semuanya gagal total. Meskipun begitu ia tak menyerah. Ia masih selalu berusaha mencari kesempatan dimana dia bisa mewujudkan mimpinya tentang proyek yang mampu mengeksplorasi bakat seninya.

foto ala Lomography
Hingga akhirnya ia menemukan dunia Lomography. Setelah berkutat beberapa waktu mendalami dunia tersebut, akhirnya Hendrik menemukan proyek seni yang menurutnya akan mencuatkan namanya. Dia akan memotret seseorang pada waktu yang sama, di tempat yang sama, posisi yang sama, selama 22 hari.

Berkenalanlah Hendrik dengan seorang wanita yang bersedia menjadi modelnya, Astari Wirjono. Selama 22 hari kerja berikutnya Hendrik dan Astari berusaha menyelesaikan proyek "Lomotion" ini. Berhasilkah Hendrik menyelesaikannya hingga menjadi karya fenomenal yang mengangkat namanya? ... baca aja deh kalau mau

Sisi 2 : Loco Motive

'Loco' adalah bahasa slang yang bisa diartikan 'gila'. Jadi ini tentang motif gila yang menyebabkan seseorang melakukan sesuatu. Apakah sesuatu itu? nggak seru kalau diceritakan di review ini. Silakan terkejut-kejut sendiri :P

Di sisi ini ada 2 orang pelaku utama. Yang satu diceritakan secara detail, yang satu hanya disisipkan sepotong2. Siapa pelaku utama sisi 2 ini? apakah sudah muncul di sisi 1? ... pengen bocorin sih, tapi kok ya nggak seru :P

Yang jelas, pada sampul sisi 1 tergambar samar bentuk kamera, sesuai dengan proyek Lomography Hendrik. Sementara di sisi 2, yang tergambar samar di sampulnya adalah... sebuah pistol... Sesuai dengan judul novelnya, kedua benda itu bisa digunakan untuk mem-"Bidik".

Cerita Orang Kota

Mengambil setting dan cara penuturan dari kehidupan anak muda perkotaan kelas menengah ke atas. Rutinitas kegiatan di perkantoran, makan siang atau makan malam dengan rekan kerja, berlanjut ke usaha mencari peluang bisnis baru, tipikal kehidupan para eksekutif muda lah. Dan tentu saja tidak afdol jika tidak dibumbui dengan kisah-kisah jalinan hubungan antar lawan jenis. Bahkan di sisi ke-2 tema tersebut pada beberapan bagian menjadi alur utamanya.

Kehidupan Kota
Banyak berkisah tentang kegelisahan batin para pelakunya. Masing-masing pernah memiliki kegagalan dalam usahanya mengejar keinginan utama hidupnya. Meskipun sebenarnya hidup mereka sudah berkecukupan tetapi masih ada satu ruang yang belum terisi sesuai keinginan mereka masing-masing. Dan pada titik akhir di ending masing2 cerita, mereka berada bersilangan pada titik paling hampa dari kehidupannya.

Sayangnya di sisi-2 ada bagian yang berlama-lama menceritakan hal yang tidak terlalu penting. Memang ada sedikit sangkut paut dengan alur utama cerita, tapi mestinya tidak perlu sepanjang dan sedetil itu. Waktu lagi baca sih aku ikutin aja. Tapi setelah sampai endingnya, barulah protes 'jadi ngapain harus diceritain panjang lebar bagian yang nggak ada hubungannya itu?'.

Dari segi cerita, sisi-1 menurutku lebih menarik meskipun lebih pendek dan dengan karakter yang tukang memaki begitu. Itu karena tema ceritanya tidak klise, tentang seorang pecundang yang sering gagal di segala hal dan sekarang berusaha bikin proyek seni (meskipun aku ragu, apa bener proyek 'gitu aja' bakal bisa bikin terkenal). Sementara di sisi ke-2 adalah cerita tentang cinta yang tak sampai, klise banget kan.

Perbedaan Karakter

Di kedua sisi, penulis berhasil membuat tulisan dengan cara betutur yang berbeda untuk menggambarkan karakter pelaku utamanya. Di sisi 1, Hendrik digambarkan sebagai orang yang apatis dan kasar. Dia begitu muak akan hidup yang memenjarakannya. Memaki-maki sepanjang cerita dengan berbagai macam umpatan.

Sementara di sisi 2, tokoh utamanya adalah seorang yang romantis, yang sangat mengagungkan cinta bahkan rela merana karenanya. Puisi2 pendek gambaran hati si tokoh utama banyak mengawali setiap babnya. Berbeda sekali dengan sisi 1 yang penuh kata makian.

Saat masih membaca sisi 1, aku sempat terpikir apa penulisnya terinspirasi "Catcher in the Rye" yang pelaku utamanya juga memaki2 sepanjang cerita, atau bahkan mungkin karakter penulisnya sendiri yang seperti itu adanya. Tapi setelah membaca sisi 2, kekhawatiran dan pertanyaan itu pun lenyap, ternyata itu hanyalah penyelaman karakter yang mendalam saja dari penulisnya.

Ending Terbuka Tanpa Penjelasan

Kisah yang disajikan menurutku tidak terlalu kuat, agak agak datar. Kejutan paling hebat terjadi di akhir cerita, tapi sayangnya kejutan itu dibiarkan begitu saja tidak dikembangkan lebih lanjut. Endingnya dibiarin nggantung gitulah. Dan sekian banyak pertanyaan akibat ending yang mengejutkan itupun dibiarkan tidak terjawab.

Awalnya, setelah membaca ending sisi 1, aku berharap bisa menemukan jawabannya secara detil di sisi 2. Beberapa pertanyaan memang terjawab, tapi sampai di ending sisi 2 .. eh.. lha kok semakin banyak pertanyaan yang ditumpuk dan dibiarkan begitu saja.

Memang sih, ending yang terbuka gitu memberikan kebebasan pada pembaca untuk berimajinasi. Dan banyak orang yang menyukai gaya seperti itu karena tidak memaksakan kehendak si penulis. Tapi disini ending itu dibiarkan terbuka sebelum kisah ini membentuk cerita yang utuh. Cerita yang utuh selayaknya sebuah novel belum terbentuk lengkap disini, baru sampai di klimaks.. langsung diputus. Lebih terasa seperti membaca sebuah cerpen panjang dari pada sebuah novel. Dan hasilnya, tidak ada kesan yang cukup kuat terhadap kisahnya. Padahal sebenarnya penulis punya kemampuan bertutur yang cukup baik.



Yah, memang kekuatan utama dari novel ini adalah "dua sisi"-nya itu. Unik sekali. Segi itulah yang pasti akan menjadi point terpenting novel ini yang menbuatnya mudah dan selalu diingat.