Monday, April 10, 2006

The Kite Runner [extended]

Ya, sekali lagi aku bikin review tentang novel memikat namun menyayat karya Khaled Hosseini ini. Review yang setahun lalu (bisa dibaca disini) aku tulis setelah membaca novel versi berbahasa inggrisnya. Saat itu aku berhasil dibuat hanyut teriris-iris mengikuti tragedi demi tragedinya.

Dan yang sekarang ini ditulis setelah aku membaca versi terjemahan Indonesianya. Diterbitkan oleh Qanita, Maret 2006, dalam 616 halaman. Bukan maksud pemborosan jika aku memiliki dua buku dari novel berjudul sama. Tapi ya tidak bisa ditolak dong kalo yang satu ini dikirimin langsung oleh sang penterjemahnya sendiri, Berliani 'Antie' Nugrahani... Tashakor :)

Terpikat untuk Kedua Kalinya

Begitu melihat sampulnya yang sama sekali berbeda dengan versi aslinya, aku langsung tercekat. Ah, peristiwa itu... peristiwa yang paling memilukan itu yang dipilih menjadi sampulnya. Memang bukan adegan pahit itu yang digambarkan secara langsung, hanya ilustrasi saat Amir mengintip dari balik tembok, terpaku tak mampu berbuat apa-apa menyaksikan kejadian itu. Terbayanglah apa yang sedang diintip oleh Amir, dan kepedihan yang pernah aku rasakan saat membacanya pun membayang kembali.

Menelusuri lagi halaman demi halaman sebuah novel yang sudah pernah aku baca sebelumnya memang membuat aku tidak terkejut lagi dengan tanjakan dan tukikan tiba-tibanya. Meskipun begitu aku tetap bisa dibuatnya mendung saat menyimak detil-detil dari tragedi yang terjadi. Apalagi Khaled Hosseini menuliskannya dengan plot dan alur yang indah, dan dengan karakter-karakter yang tergali sangat dalam. Tidak ada peristiwa yang ditulisnya hanya sekedar tempelan, setiap kejadian merupakan bagian utuh dari inti cerita.

Awalnya aku melihat bagian cerita tentang kehidupan Amir di Amerika terlalu panjang dan sia-sia, begitu juga saat Amir harus terlibat birokrasi rumit di akhir cerita terasa sedikit mengganggu. Tapi setelah aku cermati lagi, bagian-bagian itu ternyata memiliki andil dalam memberi makna dan membangun cerita. Sisipan-sisipan flashback saat ketegangan memuncak, yang mestinya bisa mengganggu keasyikan membaca, disini ternyata mampu memberikan pemahaman yang lebih kuat pada setiap kejadian.

Salut juga buat Antie yang berhasil menterjemahkan tanpa kehilangan keindahannya (sssst... entar kirimin lagi kalo ada yang baru ya ;) hehehe...)

Dan yang terjadi adalah, meskipun ini adalah membaca ulang, aku terpaku tak mampu melepaskannya. Sempat terhenti di akhir bab kelima yang ditutup dengan kalimat "Dan sungguh ironis. Karena pada musim dingin itulah Hassan berhenti tersenyum.".... ugh, aku merasa ngeri untuk membayangkan kelanjutannya, sehingga aku mengambil jeda beberapa waktu. Saat merasa sudah siap mengikuti kembali tragedi2nya, aku melanjutkan bacaanku, dan ternyata aku tidak mampu berhenti membacanya. Selesai dalam satu hari.

Luka Demi Luka

Membaca untuk kedua kalinya aku melihat sisi-sisi lain yang ingin ditampilkan oleh Khaled Hosseini. Sebuah garis merah tebal tampak menghubungkan setiap tokoh-tokohnya. Mereka adalah orang-orang dengan luka masa lalu yang terus membayangi. Bagaimana mereka masing-masing memikulnya digambarkan secara berbeda-beda.

Hassan membawa luka yang pedih dan dipenuhi trauma. Tapi dia mantap meletakkan luka itu sebagai pengabdian totalnya kepada Amir. Sehingga dia tidak menyesali dan tidak menangisinya. Tidak ada dendam kepada Amir, bahkan ketika Amir mengenyahkannya. Pengabdiannya begitu tulus tanpa mengharapkan balasan. "Untukmu, keseribu kalinya!". Entahlah, adakah manusia tanpa egoisme sama sekali seperti Hassan ini?

Sementara luka yang diderita Amir adalah penyesalan atas ketidakmampuannya menyelamatkan Hassan. Dia tahu dia adalah seorang pengecut. Pengorbanan Hassan malah dia gunakan untuk kepentingan pribadinya. Untuk merebut perhatian Baba, ayahnya, yang selama ini menganggap dia sebagai anak laki-laki lemah yang tidak mampu membela dirinya sendiri.

Bukannya mencoba memperbaiki kesalahan, Amir malah membuat luka baru dengan menyingkirkan Hassan dari hidupnya. Hanya agar luka sebelumnya terlupakan dan tidak terasa perih. Kembali ia berbuat pengecut yang semakin menambah rasa sesalnya di kemudian hari.

Di usianya yang ke-18 Amir bersama Baba berimigrasi ke Amerika untuk menyelamatkan diri dari perang. Disana luka yang tak pernah sembuh itu tertimbun oleh kesulitan hidup mereka yang harus memulai segalanya dari awal kembali.

Saat Amir hendak menikahi Soraya sesama imigran dari Afghan, Amir mendapat pelajaran dari Soraya tentang manusia dengan luka masa lalu. Sebelum menerima pinangan Amir, Soraya membuka rahasia masa lalunya agar tidak menjadi penghalang dalam hubungan mereka. Luka lama Amirpun tersayat lagi.

Dan pada tahun ke-20 tinggal di Amerika, Amir menerima panggilan dari sahabat ayahnya untuk berkunjung ke Pakistan. Disana dia diberi kesempatan untuk menyembuhkan lukanya, menebus dosanya dengan kembali ke Kabul untuk memperjuangkan sesuatu.

Di bagian itu terungkap bahwa Baba, ayahnya, ternyata menyembunyikan beban luka yang memalukan. Baba sepanjang hidupnya berusaha keras menutupi luka itu dari siapapun demi harga dirinya. Ingin sekali ia membayar tunai dosa masa lalunya, tapi harga dirinya terlalu tinggi. Dan luka itu pun ia bawa hingga akhir hidupnya. Untunglah ia sempat membayar kesalahannya kepada Amir.

Di bagian akhir cerita muncul pula seorang anak bernama Sohrab berusia sepuluh tahun. Pada usia semuda itu ia sudah harus dihantui trauma yang begitu mengerikan. Trauma yang sempat menguapkan harapannya dan melenyapkan senyuman dari wajahnya.

Untukmu, Keseribu Kalinya

Getir memang, begitu banyak luka dan trauma masa lalu yang terlibat dalam kisah ini. Masing-masing tokoh berusaha mengatasi luka miliknya dengan caranya sendiri. Hassan meletakkan lukanya di altar pengabdian. Soraya menyembuhkan kepedihan masa lalunya dengan membukanya secara jujur kepada orang yang dikasihinya. Baba membawa lukanya hingga ke dasar bumi.

Sementara Amir, dalam kegamangan, berusaha menebus lukanya.
Miris sekali mengikuti saat Amir harus hancur lebur untuk membayar dosa masa lalunya. Tapi sangat bisa dipahami jika pada kondisi seperti itu, Amir malah tertawa lepas sepuas-puasnya karena merasa dosa dan lukanya telah tersembuhkan.

Dan sungguh menyentuh saat Amir, yang dulunya seorang anak manja yang selalu dilayani, dengan tulus menyerukan kalimat pengabdian total kepada orang lain. "Untukmu, keseribu kalinya!". Kalimat yang sering diucapkan Hassan untuknya.