Wednesday, September 27, 2006

Inside The Kingdom

"Inside The Kingdom, Kisah Hidupku di Arab Saudi", sebuah kisah nyata tentang kehidupan seorang wanita berdarah dan berpendidikan Eropa saat ia menjalani hari-harinya di dalam sebuah klan terkemuka di Arab Saudi. Klan Bin Laden. Diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia oleh penerbit Alvabet (September 2006, 254 halaman).

Nama pengarangnya adalah daya tarik utama dari buku ini, Carmen Bin Ladin. Penyandang nama belakang yang sama dengan seseorang yang sangat kontroversial. Seorang teroris besar bagi sebagian dunia, tapi juga seorang pejuang kharismatik bagi sebagian dunia yang lain. Osama Bin Laden. Orang pasti ingin tahu seperti apa keluarga Bin Laden itu dari dalam, hingga bisa melahirkan dan memunculkan seorang Osama.

Tapi buku ini bukan tentang Osama. Ini tentang Carmen. Memang ada beberapa potong kisah tentang Osama yang bisa memberikan sedikit gambaran dan latarbelakang kehidupan Osama di dalam klannya, namun tidak terlalu mendetil.

Wanita Eropa Dalam Keluarga Bin Laden

Carmen adalah keturunan campuran dari ibu Persia dan ayah Swiss. Dibesarkan di Swiss membuat ia banyak menyerap pendidikan dan perilaku dunia Barat. Satu saat Ia bertemu dengan seorang pria Saudi, Yeslam bin Ladin yang sedang berlibur di Swiss. Yeslam adalah anak laki-laki ke sepuluh dari Muhammad Bin Laden, pendiri klan Bin Laden yang paling berpengaruh di Arab Saudi setelah keluarga kerajaan. (Dalam buku ini Carmen memakai nama "Bin Ladin" untuk keluarga kecilnya, dan "Bin Laden" untuk klannya)

Yeslam yang berpikiran terbuka dan bisa menerima nilai-nilai barat berhasil memikat perhatian Carmen. Merekapun menikah pada tahun 1971. Setelah sempat tinggal di Amerika beberapa tahun untuk melanjutkan sekolah, Yeslam dan Carmen memutuskan kembali ke Saudi yang sedang kebanjiran uang dari minyak untuk mengembangkan perusahaan Bin Laden.

Hidup di Saudi, Carmen mau tidak mau harus berhadapan dan menjalani sendiri suatu kehidupan yang penuh dengan batasan. Baik itu dari aturan pemerintah Saudi yang menerapkan secara ketat syariah Islam mazhab Wahabi, maupun pembatasan berdasarkan tradisi dan adat khas klan2 Saudi yang dahulunya adalah suku nomad badui.

Carmen tentu saja tersiksa oleh batasan2 yang dianggapnya sebagai keterbelakangan dan kebodohan sisa2 abad pertengahan. Kungkungan bagi Carmen bukan hanya dari aturan yang lebih memihak pada kaum laki-laki, tapi juga berasal dari dalam lingkungan wanita2 Bin Laden sendiri. Di kalangan wanita Bin Laden sendiri Carmen sering dicemooh dan tidak diindahkan karena dia adalah orang asing bukan orang Saudi.

Beruntunglah Yeslam, suaminya, menghargai nilai2 barat. Ia memberikan celah2 kebebasan bagi Carmen dalam beberapa hal. Beruntung pula Carmen berada dalam lingkaran keluarga Bin Laden yang kaya raya dan berpengaruh besar di seluruh kerajaan Saudi. Materi berlimpah meskipun terkurung. Mereka juga bisa menikmati banyak kemudahan dengan mengandalkan nama besar klan Bin Laden pemilik perusahaan2 besar di Saudi dan disegani seluruh rakyat Saudi.

Carmen sempat memiliki harapan besar akan perubahan di Saudi. Seiring dengan pembangunan pesat di Saudi, semangat kebebasan mulai menular dari barat. Beberapa wanita muda mulai berani membuka cadar penutup muka di tempat umum. Anak2 perempuan telah dibangunkan sekolah khusus. Carmen juga mulai berani berbicara secara langsung kepada para saudara ipar laki-laki dan memberi perintah kepada pembantu laki-laki

Namun pada tahun 1979, semuanya harus berputar kembali ke awal mula. Diawali oleh Revolusi di Iran yang menjatuhkan kerajaan dan bercokolnya Ayatullah Khomeini sebagai penguasa yang menerapkan aturan Islam secara ketat. Dilanjutkan dengan dikuasainya Masjidil Haram oleh segerombolan pemberontak. Pada tahun yang sama Sovyet menyerang dan menguasai Afghanistan. Semua kejadian itu membuat pemerintah Saudi kembali memperketat pelaksanaan aturan bagi masyarakat Saudi terutama wanita. Harapan Carmen pun memudar.

Benturan Dua Budaya

Sebuah kisah tentang benturan dua budaya yang saling bertolak belakang, dimana masing-masing budaya menolak budaya yang lain. Dan Carmen adalah orang yang terjebak di antara keduanya. Dia adalah penganut fanatik salah satu budaya, tapi terpaksa harus hidup di lingkungan penganut fanatik budaya yang lain. Yang terjadi tentu saja adalah penolakan dan pemberontakan.

Carmen terjebak karena cintanya kepada Yeslam yang hidup dalam dua dunia. Secara pemikiran Yeslam mengikuti nilai2 barat, tapi secara fisik dia masih setia dengan nilai2 yang dianut secara ketat oleh keluarganya. Ketika mereka berdua memutuskan tinggal di Saudi, konsekuensinya Carmen dituntut untuk menyesuaikan diri dengan nilai2 di Saudi. Dan karena pertentangan antara kedua budaya itu lebih banyak terdapat di area kehidupan wanita, maka Carmen lah yang harus lebih banyak merasakan benturan dan kekangan.

Carmen hanya mampu menyesuaikan diri secara fisik dengan mematuhi segala aturan yang sangat ketat, terutama bagi wanita. Jika keluar rumah ia tidak pernah sendirian dan selalu memakai abaya lengkap dengan cadar. Di Saudi Ia juga nyaris tidak pernah berbicara dengan laki-laki selain Yeslam, kalaupun ia berbicara dengan laki-laki lain pastilah akan ditatap dengan heran lalu diabaikan.

Carmen tentu saja secara resmi telah menjadi muslimah, tapi sekali lagi itu hanya secara fisik. Ia tidak pernah merasa sepenuhnya sebagai muslim. Bahkan ia sempat was-was ketika memasuki perbatasan kota Mekkah yang terlarang bagi non-muslim. Carmen tidak pernah bisa memahami orang-orang yang mengabdikan dirinya dan begitu tunduk kepada agama.

Kekangan dan Kemunafikan

Mengikuti cerita Carmen, terasa sekali begitu terbatasnya gerak kehidupan wanita2 Saudi. Carmen bahkan menjuluki kehidupan Saudi bagaikan hidup di bawah rezim Taliban tapi bergelimang kemewahan. Wanita hanyalah mahluk2 pasif yang menjadi perhiasan rumah seorang pria dan pemberi keturunan. Kalaupun ada wanita yang mau aktif dalam kegiatan di luar rumah tangga, seringkali itu adalah kegiatan keagamaan, yang bagi Carmen itu bukanlah kegiatan yang perlu diperjuangkan.

Bukan hanya masalah kekangan terhadap wanita yang merisaukan Carmen, namun juga kenyataan yang dilihatnya di balik ketatnya nilai2 tinggi yang dipaksakan itu, ternyata banyak kemunafikan yang terjadi. Wanita2 Saudi di sekeliling Carmen adalah orang yang suka bergunjing, pandai memanipulasi orang lain, gemar merendahkan orang, dan kejam terhadap pembantu. Ketika Saudi mulai dirambah oleh produk2 Eropa, wanita2 itu berlomba2 untuk memiliki benda2 termahal dan termutakhir untuk mereka pamerkan ke sesama wanita.

Itu semua membuat Carmen semakin antipati terhadap kehidupan Saudi. Hanya demi anak dan suaminya ia mau berusaha terus bertahan, tapi dengan tekad bahwa anak2nya tidak boleh terpenjara pikirannya sebagai mana wanita Saudi pada umumnya.

Osama di Mata Carmen

Osama bin Laden di mata Carmen adalah pria Saudi yang tergolong sangat alim, bahkan cenderung ekstrim. Dan tentu saja Carmen tidak akan pernah bisa berbicara langsung dengan Osama, karena dia hanyalah saudara ipar. Namun Carmen sering berbicara dengan istri Osama, Najwa. Najwa adalah wanita sederhana yang pemurung yang sangat patuh terhadap setiap larangan suaminya. Dari dialah Carmen banyak mengetahui tentang Osama.

Osama pada awalnya adalah sebagaimana pemuda Saudi yang alim. Setelah ia kuliah barulah tampak kecenderungannya menjadi ekstrim. Ketika ia menulis artikel yang memprotes kebobrokan moral para pangeran kerajaan Saudi, iapun diasingkan. Selanjutnya Osama ikut terlibat dan mendanai pemberontakan di Afghan.

Sebagai anak laki2 dari keluarga Bin Laden, Osama tetap berhak atas pembagian keuntungan dari perusahaan besar Bin Laden yang kaya raya dan menguasai banyak bidang di Arab Saudi. Meskipun banyak yang tidak setuju dengan sepak terjang Osama, tidak seorangpun bisa memutus hak Osama atas bagiannya.

Carmen dan anak2nya yang menyandang nama Bin Laden mau tidak mau terkena imbas saat Osama dituduh berada di balik tragedi 11 September. Carmen bahkan merasa perlu untuk menulis artikel di surat kabar Swiss untuk menyatakan bahwa dia tidak memiliki keterkaitan apapun dengan kegiatan Osama.

Namun hingga saat ini Carmen dan anak2nya tidak mau merubah nama belakang mereka, meskipun mereka harus menanggung konsekuensi atas hal itu. Betapapun ia tidak menyukai kehidupan di Arab Saudi yang bagaikan penjara, bagi Carmen nama itu adalah bagian dari hidupnya yang tak mungkin ia lepaskan.

Dua Sisi yang Berlawanan

Benturan dua budaya yang dialami Carmen memang sesuatu yang tak terhindarkan. Kedua budaya yang berhadapan dalam kehidupan Carmen adalah budaya yang bertolakbelakang dalam banyak hal. Tidak adanya celah untuk kompromi membuat Carmen tidak mampu berbuat banyak untuk melawannya. Masing2 budaya memiliki alasan sendiri dari pedoman hidup yang berbeda untuk tetap kukuh mempertahankan nilai2 yang dibentuknya.

Sebagaimana Osama, bagi sebagian orang Carmen adalah seorang pejuang kebebasan wanita, tapi bagi sebagian orang yang lain bisa jadi dia dianggap sebagai perusak nilai2 luhur. Hal itu diakui sendiri oleh Carmen, sebagaimana ia tulis dalam kalimat ini:

Ia mungkin melemparkan senyumannya padaku, mungkin sambil berkata dalam hati,
"Kasihan sekali wanita itu, ia akan masuk neraka."
Dan aku berbisik dalam hati,
"Kasihan sekali wanita itu, ia hidup dalam neraka."