Monday, August 28, 2006

Daughter of God

Kesan pertama membaca promosi buku ini di milis-milis buku: 'ah... satu lagi pengekor Da Vinci Code'. Kesan itu tetap ada saat melihat buku ini mulai bertumpuk di rak buku baru di toko buku. Tapi nggak tahu bagaimana, dari sekian banyak buku baik itu fiksi atau non fiksi yang berada pada area kisah yang sejalur dengan Da Vinci Code-nya Dan Brown, hanya buku ini yang terangkut untuk aku beli dan baca.

Membuka halaman awalnya, satu prasangka besarku langsung gugur. Daughter of God ini ditulis oleh Lewis Perdue pada tahun 2000. Dan karena DVC diterbitkan pertama kali tahun 2003, maka buku ini jelas bukan pengekor. Hanya telat saja diterbitkan di Indonesia. Terjemahan Indonesia-nya dirilis oleh Dastan Books, Agustus 2006, dalam 621 halaman.

Perburuan Relik Kuno

Diawali dengan kisah saat Zoe Ridgeway, seorang wanita kurator benda-benda seni terkenal, yang terkagum-kagum ketika diundang oleh Willi Max ke Mansionnya di Kreuzlingen untuk meneliti koleksinya. Koleksi benda seni Willi Max sebagian besar adalah hasil jarahan Nazi pada masa perang dunia yang bisa ia selamatkan. Karena merasa usianya tidak akan lama lagi, Max ingin mengembalikan benda2 curian itu kepada para pemiliknya yang sah atau kepada museum. Untuk itu ia membutuhkan keahlian Zoe.

Bukan hanya Zoe yang ia undang dari Amerika ke Swiss, tapi juga suami Zoe, Seth Ridgeway. Seth adalah seorang profesor di bidang filosofi terutama dalam hal perbandingan dan sejarah agama. Dari Willi Max, Seth mendapatkan sejumlah manuskrip kuno yang menceritakan tentang keberadaan seorang juru selamat wanita di daerah Turki beberapa ratus tahun setelah kehidupan Jesus.

Sophia, Sang juru selamat itu memiliki kharisma dan kemampuan mendatangkan mukjizat sebagaimana Jesus pada usianya yang masih belasan tahun. Namun Kaisar Roma pada masa itu menganggap keberadaannya sebagai ancaman terhadap kekuasaannya. Sehingga Sophia dan para pengikutnya dibantai oleh prajurit Kaisar.

Secarik kain kafan yang padanya tergambar dengan jelas bayang2 wajah dan tubuh seorang wanita dan luka2nya, diyakini sebagai bukti otentik keberadaan Sophia. Pihak Gereja Vatikan berusaha menutup-nutupi dan tidak mengakui keberadaan dan keotentikan Sophia's Passion (istilah untuk kain kafan dan manuskripnya). Terakhir kali, kain kafan itu menjadi salah satu koleksi hasil jarahan Nazi yang kabarnya dimanfaatkan oleh Hitler untuk membungkam Paus selama perang dunia.

Banyak pihak merasa berkepentingan untuk bisa memiliki Sophia's Passion dengan tujuan mereka masing2. Setelah Willi Max meninggal mendadak, Zoe dan Seth pun menjadi incaran banyak orang.

Zoe diculik tidak lama setelah Max meninggal. Seth kebingungan mencari2 Zoe selama beberapa bulan di Zurich. Ketika akhirnya ia kembali ke Amerika tanpa Zoe berbagai kejadian yang menewaskan beberapa orang harus ia hadapi. Setelah mendapatkan beberapa petunjuk dan didorong pula oleh kerinduan mendalamnya kepada Zoe, Seth nekat menantang maut dengan kembali ke Eropa untuk mencari Zoe dan memecahkan teka-teki tentang Sophia.

Fiksi yang Berdasarkan Fakta

Kontroversinya menurutku tidak seheboh yang dijajakan novel Da Vinci Code. Tentang keberadaan Sophia Sang Juru Selamat kedua sepertinya tidak terlalu membuat heboh, karena Sophia adalah tokoh baru yang selama ini jarang terdengar. Tapi permainan2 tidak fair yang terjadi di dalam lingkaran Vatikan yang berusaha menutup-nutupi atau bahkan menghapuskan legenda dan kepercayaan tentang keberadaan Sophia lah yang bisa menimbulkan kontroversi lebih tajam.

Lewis Perdue, penulisnya, mengakui bahwa ini hanyalah sebuah novel fiksi. Tapi fiksi yang berdasarkan fakta. Bagian yang merupakan fakta antara lain adalah bahwa Nazi memang pernah menjarah sejumlah besar benda2 seni bernilai tinggi dari berbagai negara selama perang dunia dan mengumpulkannya di suatu tempat yang hingga kini tidak seorangpun mengetahuinya (tidak berbeda dengan novel The Amber Room). Dan legenda Sophia memang benar2 ada dan beredar di kalangan gereja meskipun kebenarannya masih menjadi kontradiksi. Sementara pandangan bahwa Sophia adalah seorang perempuan, bahkan sebagai perwujudan sisi feminin Tuhan, sepenuhnya opini dan khayalan penulis.

Yap, penulis tampaknya sangat ingin menyampaikan opininya tentang sisi feminin Tuhan. Sejarah beragama dan bertuhan sejak jaman purba sempat ia tuturkan panjang lebar untuk mengungkap bahwa dulunya sosok Tuhan itu adalah sosok feminin yang dirupakan dalam bentuk sesembahan berbentuk Dewi. Lalu seiring dengan menguatnya dominasi pria, Tuhanpun berubah gender menjadi maskulin dan lebih memihak kaum pria.

Banyak Tempelan

Selain kalah dari sisi kekuatan bom kontroversinya, jika dibandingkan DVC, novel ini juga kalah dari segi olahan fiksi dan cara berceritanya. Yah, mau nggak mau sih aku akan membandingkannya dengan DVC. Dalam hal riset untuk penuturan sejarahnya baik tentang sejarah ketuhanan, Vatikan, ataupun Nazi memang lumayan lengkap. Tapi kekuatan cerita fiksinya tidak sampai membuatku terpaku seperti DVC.

Beberapa bagian fiksinya kadang terasa kurang tergali, mengambang seperti dibuat asal ada. Kadang juga terasa ada lompatan cerita yang tidak dijelaskan sehingga menimbulkan tanda tanya atas logika alur cerita. Kejutan-kejutannya terasa datar, tidak sampai membuat pembaca menahan nafas, karena tidak dibuat sedemikian rupa agar terasa dramatis.

Rentetan aksinya lumayan seru. Sekian banyak orang tertembak dan mati dengan mudah setelah memberikan secuil sumbangan peranan dalam cerita. Dan sekali lagi jadinya malah terasa seperti adegan aksi tempelan hanya agar ceritanya menjadi lebih mencekam karena berdarah-darah.

Namun penulis tampaknya cukup bijak dan berhati-hati saat menutup novel ini. Dia tetap berusaha berada di posisi netral atas semua kontroversi yang ia kisahkan. Meskipun ia membuat kisah yang membuka borok petinggi agama, tapi ia tidak memprovokasi untuk memusuhi gereja dan menjadi anti agama. Di akhir cerita ia tetap mengajak untuk menguatkan keimanan pada Tuhan, siapapun Tuhan kalian.