Friday, November 17, 2006

Tsotsi

Kalo suka mengikuti ajang penghargaan Film international yang namanya Oscar, mestinya pernah dengar judul itu. "Tsotsi" antara lain adalah judul sebuah film asal Afrika Selatan yang memenangkan penghargaan Oscar untuk kategori Film Asing Terbaik di ajang Academy Award 2006. Dan film "Tsotsi" tersebut dibuat berdasarkan novel berjudul sama karya Athol Fugard. Seorang penulis naskah drama kawakan asal Afrika Selatan.

Novel "Tsotsi" sebenarnya sudah cukup lama diterbitkan, yakni di tahun 1980. Bahkan sebenarnya juga novel ini telah selesai ditulis jauh lebih lama lagi. Setelah selesai ditulis di tahun 1962, Athol Fugard menyimpan naskah ini karena merasa tidak layak diterbitkan. Athol Fugard merasa lebih ingin dikenal hanya sebagai penulis drama, bukan penulis prosa. Dua puluh tahun kemudian naskah ini ditemukan dalam dokumentasi karya Athol Fugard yang dikirimkan ke Museum. Atas ijin Athol Fugard, naskah tersebut diedit dan akhirnya diterbitkan.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Bentang Pustaka, September 2006, dalam 352 halaman. Diterjemahkan dengan baik oleh Teh Femmy Syahrani, dan disunting oleh Kang Hermawan Aksan .. *duh sok akrab gitu gw* :D

Penjahat Di Afrika Selatan

Berkisah tentang seorang pemuda yang menamai dirinya sebagai "Tsotsi". Dalam bahasa Afrika "Tsotsi" berarti penjahat. Dan Tsotsi memang seorang penjahat. Setiap malam ia bersama genknya yang terdiri dari Boston, Die Aap, Jagal dan dirinya sendiri, berkeliaran dalam keremangan untuk memilih korban. Korban yang akan mereka bunuh dengan pisau atau ditusuk jantungnya dengan jari2 sepeda, lalu mereka ambil hartanya. Mereka melakukannya setiap malam dengan darah dingin. Hanya Boston yang sebenarnya pernah kuliah yang suka muntah2 setiap kali mereka selesai beraksi.

Hingga suatu malam, setelah mereka beraksi, Boston yang terlalu banyak bicara melakukan satu kesalahan besar. Boston menanyakan masa lalu Tsotsi. Tsotsi yang tidak lagi memiliki ingatan tentang masa kecil, mengamuk dan menghajar Boston. Tsotsi marah karena dia tidak memiliki jawaban atas pertanyaan Boston.

Setelah menghajar Boston, Tsotsi berlari ke perkampungan kulit putih. Di dalam rerimbunan pohon putih, tiba-tiba Tsotsi bertemu seorang perempuan yang membawa sebuah kotak sepatu. Perempuan itu menyerahkan kotak itu kepada Tsotsi dan meninggalkannya begitu saja. Ketika Tsotsi membukanya, sesosok bayi berkulit hitam meringkuk di dalamnya.

Entah apa yang menyergap ke dalam diri Tsotsi. Tsotsi sang pembunuh berdarah dingin yang tidak pernah menyukai anak2 itu malah membawa bayi itu ke rumahnya, meskipun dengan sangat canggung. Melalui bayi itu perlahan2 Tsotsi menemukan masa lalunya.

Malam hari selanjutnya, Tsotsi telah mengincar dan membuntuti seorang pengemis cacat yang memakinya sebagai korban malam itu. Namun sekali lagi ada suatu perasaan asing yang menyergap diri Tsotsi. Bayi itu dan pengemis cacat itu menyalakan setitik sinar kehidupan di mata Tsotsi yang selama ini gelap gulita.

Novel Psikologi yang Kelam

Ditulis dengan kalimat2 yang indah dan puitis. Dan penterjemahnya juga bisa dengan baik mempertahankan keindahan detil2 kalimatnya dengan pilihan kata yang bagus. Novel ini minim dialog, lebih banyak menarasikan konflik psikologis yang terjadi pada tokoh2nya. Konflik psikologis itu digambarkan dengan begitu rinci, hingga seolah pembaca bisa menyelami jiwa sang tokoh.

Bukan hanya tokoh utama yang dikorek perjalanan psikologisnya, tapi juga tokoh2 pendukung. Boston calon guru yang terjebak dalam dunia hitam mendapat porsi untuk dikisahkan konflik masa lalunya. Juga Morris Tshabalala, si pengemis cacat. Bahkan juga Gumboot Dhlamini, korban genk Tsotsi di kereta, diceritakan masa lalunya dengan cukup panjang. Bikin terkecoh juga sih penuturan panjang itu, sempat bikin menebak2 apakah Gumboot akan ambil bagian di masa lalu Tsotsi?

Memang, kalimat2 indah dan detil itu membuat jalan cerita menjadi terasa lambat. Tapi itu malah mempertegas suasana kelam yang melingkupi kehidupan para penjahat malam. Dinginnya hati Tsotsi, kacaunya kehidupan Boston, keputusasaan si pengemis cacat, tergambarkan dengan mendetail. Ini memang novel psikologis.

Dramatis dan Indah

Ada bagian2 yang terasa seperti tempelan yang tidak perlu memang. Tempelan yang tidak ambil bagian di alur cerita utama tapi diceritakan dengan detil. Seperti cerita masa lalu Gumboot, kemudian juga tentang Isaiah si lelaki tua di gereja. Masa lalu mereka tidak ada pengaruhnya dengan kehidupan Tsotsi. Tapi cara penuturan Athol Fugard membuat pembaca akan tetap bisa menikmatinya sebagai pelengkap cerita. Seperti ketika melihat detil gambar di sudut sebuah lukisan besar.

Cukup bisa dirasakan bahwa novel ini ditulis oleh seorang penulis drama kawakan. Settingnya digambarkan dengan lengkap. Adegan per adegan, dan gerakan setiap tokohnya diatur dengan begitu rapi. Terasa seperti sedang dimainkan dengan total di atas panggung. Adegan dan gerakan dramatis tentang dunia yang kelam.

Dan tidak heran, jika kemudian ketika difilmkan menjadi sebuah film yang memukau hingga memenangkan Oscar. Bakal beredar di Indonesia nggak ya?