Monday, May 14, 2007

The Attack

Diterjemahkan dari buku berbahasa Perancis "L'Attentat" terbitan tahun 2005, novel fiksi ini adalah karya dari Yasmina Khadra, yang nama aslinya adalah Mohamed Moulessehoul. Entah kenapa terjemahan dalam bahasa Indonesianya diterbitkan dengan judul bahasa Inggris "The Attack", padahal sumbernya berbahasa Perancis. Pustaka Alvabet menerbitkannya pada Januari 2007, dalam 304 halaman.

Tema ceritanya sangat menarik perhatian. Sebuah fiksi tentang seorang suami yang berusaha mengorek informasi kesana kemari tentang istri yang dicintainya, yang tiba-tiba menjadi seorang martir yang melakukan bom bunuh diri di Tel Aviv.

Bom Bunuh Diri Menghancurkan Segalanya

Sebuah ledakan terjadi di Tel Aviv, Israel, menewaskan belasan orang di sebuah restoran. Dr. Amin Jaafari seorang dokter bedah terkemuka pun segera disibukkan dengan tindakan penyelamatan bagi puluhan korban ledakan. Namun sebuah pukulan hebat menghantamnya ketika ia diberi tahu bahwa Sihem, istri yang sangat dicintainya, adalah salah satu korban tewas dalam peristiwa ledakan tersebut. Dan semakin meremukkan hati dan jiwa Amin, ketika para dokter yang lain dan polisi mengkonfirmasi bahwa dilihat dari kondisi tubuhnya Sihem ternyata adalah pelaku peledakan bunuh diri tersebut...

Kehidupan Amin Jaafari pun berubah total. Amin meratapi kematian istrinya, yang selama ini ia pikir telah berusaha sangat keras untuk ia bahagiakan. Amin tak habis pikir, bagaimana bisa istrinya menyembunyikan semua rencana itu dari dirinya, dan ia sendiri tak pernah melihat tanda-tanda bahwa istrinya bergabung dengan para fundamentalis.

Amin dan istrinya bukan orang Yahudi, dan bukan juga keturunan Israel. Mereka keturunan Arab dan masih berstatus Muslim meskipun tidak lagi taat menjalankan ibadah. Mereka berdua meninggalkan tanah kelahiran mereka dan bergabung menjadi warga naturalisasi di Israel. Amin berusaha keras menjaga reputasinya di kalangan orang2 Israel. Dan ia berhasil, karirnya sebagai dokter bedah melaju pesat dan ia disegani oleh banyak orang Israel. Tak lagi dianggap sebagai orang Arab yang musuh bebuyutan Israel.

Tapi setelah peristiwa itu, ketika semua orang akhirnya tahu siapa tersangka utama pelaku peledakan itu, reputasi Amin langsung hancur berantakan. Polisi menggeladah habis rumahnya, meskipun tak bisa menemukan apa-apa. Tetangganya memintanya pergi dari kompleks mereka, dan rumahnya dirusak. Beberapa koleganya di rumah sakit yang menyimpan dengki karena keberhasilannya, membuat petisi yang meminta pihak rumah sakit mengeluarkan Amin.

Untunglah ada Kim, sejawat dokter yang bersimpati dan bersedia menampung Amin di apartemennya. Ada juga Naved, petugas kepolisian yang tetap percaya akan integritas Amin dan tidak terlibat sama sekali dengan tindakan istrinya.

Di tengah kehancuran hidupnya, Amin Jaafari berusaha menelusuri jejak istrinya. Mencari tahu siapa yang telah merubah Sihem menjadi seorang ekstremis tersembunyi. Amin pun berusaha masuk ke jantung persembunyian para mujahid Palestina, dan mendapati dirinya berada di lubang singa yang tidak menghendaki keberadaannya.

Tragisnya Hidup dalam Peperangan

Bagian awal kisah ini sempat bikin bingung. Terjadi sebuah ledakan, si penutur menjadi korban. Entah siapa si penutur ini. Pada bab selanjutnya langsung melompat ke kesibukan rumah sakit yang dikejutkan oleh terjadinya bom bunuh diri di sebuah restoran, dengan Amin Jaafari menjadi penutur orang pertama. Pembaca pasti akan bingung karena penutur yang di bab pertama diceritakan terluka parah karena ledakan bom, tiba2 di bab kedua penuturnya menjadi seorang dokter di rumah sakit. Tapi ikuti saja terus ceritanya dan tinggalkan saja dulu kebingungan itu, karena nanti akan terjawab dalam ending yang mencekam tapi disajikan dengan indah...

Kisah fiksi ini tidak secara langsung bercerita tentang bagaimana seseorang bisa begitu nekat menjadi martir pengebom bunuh diri. Lebih banyak bercerita tentang Amin Jaafari yang kehidupannya jadi hancur lebur karena istrinya meledakkan diri. Melalui kenekatan Amin menelusuri jejak istrinya tanpa peduli ia harus memasuki daerah konflik dan juga tanpa peduli dia harus mengalami berbagai siksaan fisik dan mental, akhirnya sedikit demi sedikit terkuaklah semua jawaban.

Keputus-asaan Amin digambarkan dengan baik oleh penulis. Kehilangan Amin yang sangat dalam terhadap istrinya, runtuhnya karir Amin yang sekian lama telah diperjuangkan mati2-an, terpuruknya harga diri Amin ketika dilecehkan oleh para tetangga, oleh polisi yang menginterogasi, juga oleh para pejuang Palestina. Nyaris tiada henti hingga akhir cerita.

Tidak Memihak

Penulis tampaknya berusaha untuk bersikap netral dan tidak memihak siapapun. Pemilihan tokoh utamanya dari orang Arab yang berkebangsaan Israel, yang muslim tapi tidak taat, sudah menunjukkan penulis ingin berada di posisi tengah. Amin Jaafari sendiri diceritakan memiliki prinsip lebih memihak kepada hidup, tidak kepada fanatisme akan satu hal tertentu. Itulah kenapa dia begitu rajin menekuni pekerjaannya sebagai dokter yang berusaha menyelamatkan hidup orang lain, dan tidak peduli pada peperangan yang terus bergejolak. Dan itulah juga kenapa dia tampak begitu kehilangan pegangan ketika istrinya ternyata mengambil peranan dalam perang.

Meskipun tampaknya sang penulis lebih memposisikan dirinya sebagai Amin Jaafari yang apapun alasannya tetap tidak setuju dengan adanya perang yang mengorbankan rakyat, Yasmina Khadra tetap bisa bercerita dengan lancar ketika harus menampilkan tokoh mujahid Palestina dengan segala argumennya. Mengesankan sekali debat antara Amin dan Komandan mujahid Palestina. Argumen yang disampaikan oleh keduanya sangat mendalam sesuai dengan prinsip yang dipegang masing2. Orang palestina yang berjuang karena merasa kehilangan tanah air, sementara Amin lebih ingin berjuang demi kehidupan semua orang.

Pada akhirnya pembaca memang digiring untuk tidak menyetujui adanya perang. Perang hanya menimbulkan kerusakan, baik fisik maupun mental dari seluruh masyarakat yang terjebak di dalamnya. Tapi di sisi lain, penulis juga memberikan pandangan yang membuat kita mengerti bagaimana kondisi perang itu bisa melahirkan martir yang siap melakukan apapun bahkan menjemput ajal demi menjunjung tinggi kedaulatan negaranya.