Tuesday, July 24, 2007

Janda dari Jirah

Janda dari Jirah, Cok SawitriKembali sebuah novel berlatarbelakang sejarah muncul lagi di pasaran. "Janda dari Jirah" karya Cok Sawitri. Terbitan Gramedia, Juni 2007, 187 halaman. Kisah tentang seorang janda yang berilmu tinggi yang hidup di masa pemerintahan Airlangga di kerajaan Kahuripan.

Menuliskan kembali sejarah dalam bentuk fiksi sepertinya gampang2 susah. Apalagi kalau itu dari jaman yang tidak terlalu banyak dokumentasi mendetail. Penulis harus mengira-ira sendiri apa yang sebenarnya terjadi, lalu mereka-reka adegan demi adegan. Apalagi jika cerita yang ingin dituturkan adalah cerita yang sama sekali berbeda dibandingkan penuturan sejarah yang selama ini diketahui banyak orang. Dan Novel "Janda dari Jirah" ini adalah salah satu contohnya.

Versi Lain dari Kisah Calon Arang

Bersetting di sekitar tahun 940-an tahun Saka. Saat Airlangga bersama Narotama kembali ke Medang untuk merebut kembali istana dan tahta kerajaan Medang yang sempat diporakporandakan oleh Sriwijaya yang dibantu oleh kerajaan tetangga mereka Wurawuri. Meskipun Airlangga hanyalah menantu dari Raja Medang terdahulu, dan bukan keturunan wangsa Isyana, Airlangga menduduki tahta Medang dan mengganti nama kerajaan menjadi Daha (sumber lain menyebutkan sebagai kerajaan Kahuripan).

Di daerah kekuasaan Airlangga tersebutlah daerah yang bernama Kabikuan Jirah. Di kabikuan ini, tepatnya di Setra Gandamayu tinggallah seorang janda dengan putrinya bernama Ratna Manggali. Sang Ibu ini adalah penganut Budha Tantra yang sangat taat, dan ilmunya telah mencapai tingkat yang sangat tinggi. Semua orang dari rakyat jelata hingga para raja segan kepadanya.

Ibu Ratna Manggali dari tempatnya di Setra Gandamayu memiliki kekuasaannya tersendiri. Raja2 yang berkuasa di sekitarnya tidak pernah berani menyentuh tanah2 milik Kabikuan. Penduduk kabikuan adalah orang2 yang disegani karena ketaatannya dan kerendahhatiannya. Tanah kabikuan adalah tanah yang terlarang untuk dilewati oleh prajurit yang bertujuan berperang untuk membunuh musuh.

Namun saat Daha akan menyerang balas ke kerajaan Wurawuri dan sedang mencoba meminta ijin kepada Ibu Ratna Manggali untuk melintasi tanah Kabikuan, beberapa panglima yang tidak sabaran melanggar aturan kabikuan. Mereka menerobos salah satu dusun yang dikuasai Kabikuan dan menumpahkan darah.

Keadaan semakin rumit ketika Airlangga hendak menobatkan putrinya sebagai Putri Mahkota, dari Kabikuan muncul seorang pemuda yang diakui sebagai pewaris tahta yang sah dari keturunan Wangsa Isyana...

Puitis dan Teatrikal

Cok Sawitri adalah seorang penyair dan penulis naskah teater. Dan itu terasa sekali dalam novel karyanya ini. Novel ini mungkin bisa disebut sebagai prosa liris. Karena dituliskan seperti kalimat2 dalam puisi yang liris tetapi dalam bentuk prosa. Kalimat2 deskriptif nya indah layaknya puisi, dan dialog2nya teatrikal penuh perlambang.

Yang paling melambungkan imajinasi adalah pada bagian2 yang penuh fantasi. Saat pohon kepah dan kepuh di Setra Gandamayu berbicara dengan rerumputan, saat murid-murid utama Kabikuan Jirah menunjukkan kemampuan di atas normal mereka. Bagian2 itu disajikan dalam balutan kalimat2 indah yang mengajak pembaca membayangkan sebuah dunia yang penuh keajaiban.

Meskipun mungkin tidak semua orang menyukai gaya tulisan seperti itu, yang berbunga-bunga dengan simbolisme yang harus dicerna dan dicari maknanya sendiri. Tapi memang begitu kan yang namanya puisi dan teater...

Kisah Terlarang?

Entah bersumber dari mana, Cok Sawitri menyatakan bahwa kisah yang dia tulis di novel ini adalah kisah yang merupakan bagian terlarang untuk diceritakan. Para empu penulis dan penyair di masa Kediri dilarang menuliskan kisah ini karena akan mencoreng kebesaran nama Raja Airlangga yang dianggap sebagai titisan dewa Wisnu itu. Alih-alih mereka malah membuat cerita fiktif tentang Calon Arang dari desa Girah yang menyebarkan penyakit di wilayah Kediri, karena anaknya Ratna Manggali tidak ada yang melamar.

Cok Sawitri memutar balikkan posisi Ibu Ratna Manggali dari tukang tenung antagonis menjadi seorang wanita suci yang menjadi penyelamat Wangsa Isyana. Salah satu dalihnya adalah, tidak mungkin ia bisa menguasai kitab yang berisi ilmu2 tingkat tinggi - yang dalam kisah Calon Arang diperebutkan dengan Mpu Baradah - jika ia bukanlah wanita suci. Tidak ada sumber kitab lain yang ia acu untuk memperkuat teorinya.

Bisa saja benar, bisa juga tidak... toh kedua cerita itu sama2 menarik, sama2 bisa ditarik hikmahnya, dan sama2 ajaib :)

Kebenaran Sejarah

Dengan gaya bercerita yang penuh bunga-bunga, Cok Sawitri agak mengorbankan penuturan detil latar belakang kisahnya. Kronologis sejarah kerajaan Medang hingga kemudian menjadi Daha tidak diuraikan dengan cukup lengkap. Agak susah mungkin menjabarkan kronologi sejarah masa lalu dalam bahasa puitis.
Pembaca yang belum paham apa yang sebenarnya terjadi mungkin akan perlu referensi tambahan dari sumber sejarah yang lain untuk bisa mencerna cerita dengan lebih baik. Namun celakanya, saat membuka sumber yang lain, mereka akan menemukan cerita yang sama sekali berbeda tentang Janda dari Jirah ini.

Dibandingkan dengan cerita Calon Arang, jelas2 kisah ini jauh sangat berbeda. Dari sisi sejarah kerajaan Medang-Daha-Kadiri pun ada beberapa hal yang berbeda antara sumber sejarah yang tertulis di banyak tempat dengan data yang ditulis di novel ini. Di novel ini Airlangga mendirikan kerajaan Daha/Kadiri sebagai pengganti Medang, di banyak sumber lain disebutkan kerajaan yang didirikan adalah Kahuripan. Di novel ini pewaris tahta dari wangsa Isyana akhirnya menuntut haknya kepada Airlangga, di sumber lain sang pewaris tahta memilih menjadi pertapa hingga akhir hidupnya. Di novel ini Airlangga membagi Kediri menjadi dua untuk putrinya dan sang pewaris tahta wangsa Isyana, tapi di sumber lain Airlangga membagi kerajaannya untuk kedua putranya.

Entah yang mana yang benar, bagi yang peduli dengan kebenaran sejarah silakan saja dilacak. Apakah Cok Sawitri membuat cerita fiktif yang mengada-ada ataukah memang benar ini adalah kisah sebenarnya yang telah sekian ratus tahun ditutup-tutupi. Tapi bagi yang hanya ingin menikmati sebuah kisah indah bernuansa sejarah jawa masa lalu, silakan dikecap saja cerita ini tanpa banyak bertanya-tanya dan menganggapnya sebagai layaknya sebuah fiksi... :)