Sunday, June 17, 2007
A Thousand Splendid Suns
Novel pertamanya aku baca dua tahun yang lalu. Itupun sudah terbit dua tahun sebelumnya. "The Kite Runner" pertama terbit tahun 2003, dan aku baru membacanya di tahun 2005 dengan hati teriris-iris. Tahun 2006 kembali aku terpaku hening waktu membaca terjemahannya.
Dan tahun ini, begitu aku mendapat info bahwa novel kedua Khaled Hosseini sudah diterbitkan, rasa penasaran ingin segera membaca langsung meruap-ruap. Apalagi ternyata setumpuk pujian telah menyambut kehadirannya. Dan saat melihat deretan novel ini di toko buku, meski sempat mikir sejenak mempertimbangkan harga, tak tahan lagi dengan godaan rasa penasaran untuk segera membelinya. Buku yang aku beli adalah terbitan Bloomsbury, 2007, 370 halaman.
"A Thousand Splendid Suns", judul yang sangat puitis dilabelkan Khaled Hosseini untuk novel keduanya ini. Sejenak mengingatkan pada kalimat dramatis "For you, a thousand times over" yang selalu diucapkan Hassan sebagai gambaran pengabdian totalnya kepada Amir di novel pertama.
Masih mengambil setting latar belakang yang sama tentang Afghanistan dan bercerita tentang perjuangan penduduk kota Kabul untuk bertahan hidup selama perang. Khaled Hosseini tampaknya masih ingin menggali kekuatan dan kelebihan yang ia miliki dibanding penulis lain, yakni mengalami sendiri kesengsaraan selama masa perang di Afghanistan.
Dua Wanita dalam Kecamuk Perang
Berbeda dengan novel pertamanya yang tokoh utamanya adalah dua orang anak laki-laki yang berbeda kelas, di novel ini tokoh utamanya adalah dua orang wanita. Diawali sejak Mariam masih berusia lima tahun pada tahun 1964, dan berakhir dengan kehidupan keluarga Laila pada tahun 2003.
Sejak kecil Mariam seringkali mendengar Nana, ibunya, jika sedang kesal menyebutnya sebagai harami. Anak haram. Dan memang itulah status yang disandangnya. Mereka berdua dibuang tinggal di sebuah gubuk terpencil oleh keluarga ayah kandungnya. Jalil, ayah kandungnya yang merupakan orang terpandang di Herat, berkunjung seminggu sekali dan menjadi saat yang sangat dinantikan Mariam. Tapi Jalil yang telah mempunya tiga istri dan sepuluh anak itu tak punya hati untuk membawa Mariam ke rumahnya dan mengakuinya sebagai anak.
Hingga pada saat Mariam berusia limabelas tahun, sebuah tragedi membawa Mariam tinggal di rumah ayahnya. Namun ketiga istrinya segera mengirim Mariam ke Kabul yang berjarak 650 km dari Herat untuk menikah dengan Rasheed yang tigapuluh tahun lebih tua. Mariam telah belajar dari ibunya, bagaimana bertahan dalam kehidupan yang sangat sulit dan menghadapi kenyataan bahwa kaum lelaki seringkali menyalahkan wanita dalam segala hal.
Cerita kemudian beralih ke tetangga Rasheed dan Mariam di Kabul. Laila gadis sembilan tahun yang cantik dan cerdas tinggal bersama kedua orang tuanya beberapa rumah dari tempat tinggal Mariam. Kedua kakak laki-lakinya pergi berperang bersama para Mujahidin untuk melawan Sovyet. Ibunya selalu dalam kesedihan karena cemas akan kedua anak kesayangannya. Sementara Laila menjalin hubungan yang akrab dengan Tariq, anak lelaki tetangga sebelah rumah.
Lima tahun kemudian, dalam kecamuk perang yang semakin mengganas, sebuah tragedi mendamparkan Laila ke rumah keluarga Rasheed dan Mariam. Keluarga yang tidak bahagia itu semakin runyam dengan kehadiran Laila.
Mariam semula amat membenci Laila, tapi seiring waktu dan sederet penderitaan yang mereka alami, hubungan keduanya menjadi semakin erat dan saling menopang satu sama lain. Bukan hanya dalam menghadapi penderitaan akibat perang yang silih berganti tanpa akhir, tapi juga dalam menghadapi kekasaran dan kekejaman Rasheed yang temperamental. Bahkan Mariam rela mengorbankan segalanya demi Laila dan anak2nya.
Dramatis Sebagaimana Sebelumnya
Khaled Hosseini memang ahlinya dalam hal menuturkan sebuah cerita dramatis yang menyentuh. Jalinan kalimat puitis yang indah menghiasi bagian2 saat ia menggambarkan setting lingkungan atau suasana hati para tokohnya. Adegan demi adegan, dan dialog demi dialog mengalir lancar secara realistis. Kejutan dan tikungan tajam ia bangun dengan logis dan tak terbayangkan sebelumnya.
Adegan-adegan dramatis kadang hanya digambarkan dalam beberapa kalimat saja di akhir bab, dan dibiarkan menggantung sesaat sebelum dijelaskan di bab berikutnya pada paragraf kesekian. Tapi itu tidak menghilangkan kesan dramatis dari adegan tersebut. Kejutan dalam beberapa kalimat itu akan membuat pembaca terkesiap sesaat dan penasaran mencari penjelasan di bab berikutnya yang kadang tahu-tahu sudah meloncat beberapa waktu ke depan.
Ada satu bagian yang sangat menarik dan terasa sangat filmis, saat Khaled bermain-main dengan plot maju-mundur untuk mendramatisasi dua kejadian yang berbeda waktu. Agak membingungkan awalnya, tapi kemudian menjadi sangat menarik dan menjadi lebih dramatis daripada jika diceritakan berurutan. Dan memang ini adalah adegan puncak yang layak didramatisir karena kemudian memutarbalikkan segala keadaan.
Perpindahan karakter utama dari Mariam ke Laila kemudian ke Mariam lagi dan seterusnya, mungkin memaksa pembaca untuk berkali-kali mengubah sudut pandang. Tapi dengan cara ini karakter Mariam dan Laila menjadi terasa lebih dalam tergali.
Perang adalah Kesengsaraan
Sembari menuturkan kisah utamanya, Khaled Hosseini menyisipkan perkembangan politik dan peperangan yang menjadi latar belakang kisahnya. Sejak berkuasanya Raja Zahir Syah di Afghanistan pada saat kelahiran Mariam, pendudukan Sovyet, hancurnya Sovyet, perang saudara antar faksi Mujahidin, berkuasanya Taliban, hingga runtuhnya menara kembar WTC di New York yang memicu Bush untuk menyatakan perang terhadap penguasa Taliban. Lebih lengkap dan lebih mendetail dari novel pertama. Semuanya runtut dan diikuti dengan cermat untuk membangun plot kisah utamanya.
Kengerian dan kesengsaraan yang dialami penduduk Kabul selama perang tergambar cukup jelas disini. Hujan roket yang bisa menghunjam kapan saja dimana saja menghantui setiap orang. Bukan hanya anak laki-laki yang pergi ke medan perang yang bisa tewas kapan saja, tapi juga mereka yang tinggal di rumah harus waspada dengan roket yang tiba2 menghancurkan seisi rumah.
Mereka yang tidak tahan dengan kecemasan berada di kota yang berada dalam fase penghancuran oleh pihak lawan, segera memutuskan untuk mengungsi pergi dari Kabul. Tapi mereka yang tidak punya kerabat sebagai tujuan pasti di luar Afghanistan harus rela hidup di tenda pengungsian dan siap menghadapi kesengsaraan dalam bentuk yang lain.
Tampaknya salah satu pesan utama Khaled Hosseini dalam novel ini adalah perang apapun alasannya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Ribuan manusia yang tidak memiliki kepentingan dalam perang itu hanya akan menjadi korban sia-sia demi ego beberapa gelintir penguasa.
Bikin Merinding
Novel ini dibagi dalam 4 bagian, dan 51 bab. Bagian pertama bercerita tentang Mariam. Bagian kedua tentang Laila. Bagian ketiga bertemunya Mariam dan Laila dalam satu cerita. Dan bagian keempat sebagai antiklimaks. Pada bagian pertama dan kedua alur cerita terasa agak lambat. Menarik dan beberapa kejadian terasa membuat miris tapi tidak ada yang sangat istimewa. Mungkin karena cerita tentang penderitaan wanita sudah begitu banyak dikisahkan, jadi tidak terasa terlalu istimewa lagi buat aku.
Pada bagian ketiga mulailah Khaled Hosseini menunjukkan taringnya, dan menancapkan kukunya dalam-dalam pada emosi pembaca. Kadang dalam bentuk uraian panjang, tapi yang seringkali bikin merinding malah yang hanya dituliskan dalam satu dua kalimat saja. Seperti "Cut me open!", atau "Kneel here, hamshira"...
Terus terang aku tidak sempat terharu sampai berkaca-kaca membaca novel ini sebagaimana saat membaca The Kite Runner. Tapi sejak akhir bagian kedua dan berlanjut ke bagian selanjutnya aku sering merasa merinding membayangkan dramatisasi beberapa adegan yang dikisahkan. Merinding karena tersentuh dan terharu, atau merinding karena ngeri.
Mungkin jika aku membacanya kembali, aku akan merinding sepanjang cerita karena sudah tahu bagaimana akhir segalanya. Bagaimana kedua wanita itu dengan tegarnya mampu bertahan menghadapi segala bentuk peristiwa dan penderitaan.
Seribu Matahari Sempurna
Lalu apa hubungannya dengan "Seribu Matahari Sempurna"? Itu adalah cuplikan sebuah puisi dari abad 17 karya Saib-e-Tabrizi yang menggambarkan perpisahan dengan kota Kabul dan kerinduan akannya, yang dikutip oleh ayah Laila saat mereka berencana meninggalkan Kabul.
One could not count the moons that shimmer on her roofs
Or the thousand splendid suns that hide behind her walls
Indah sekali. Begitu pula novel ini :)
Dan sepertinya penerbit Qanita sudah nggak sabar untuk segera merilis terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Berliani "Antie" Nugrahani, yang pernah menterjemahkan Kite Runner dengan penuh perasaan, sudah selesai menterjemahkan novel ini... tinggal tunggu tanggal terbitnya saja :D
Dan tahun ini, begitu aku mendapat info bahwa novel kedua Khaled Hosseini sudah diterbitkan, rasa penasaran ingin segera membaca langsung meruap-ruap. Apalagi ternyata setumpuk pujian telah menyambut kehadirannya. Dan saat melihat deretan novel ini di toko buku, meski sempat mikir sejenak mempertimbangkan harga, tak tahan lagi dengan godaan rasa penasaran untuk segera membelinya. Buku yang aku beli adalah terbitan Bloomsbury, 2007, 370 halaman.
"A Thousand Splendid Suns", judul yang sangat puitis dilabelkan Khaled Hosseini untuk novel keduanya ini. Sejenak mengingatkan pada kalimat dramatis "For you, a thousand times over" yang selalu diucapkan Hassan sebagai gambaran pengabdian totalnya kepada Amir di novel pertama.
Masih mengambil setting latar belakang yang sama tentang Afghanistan dan bercerita tentang perjuangan penduduk kota Kabul untuk bertahan hidup selama perang. Khaled Hosseini tampaknya masih ingin menggali kekuatan dan kelebihan yang ia miliki dibanding penulis lain, yakni mengalami sendiri kesengsaraan selama masa perang di Afghanistan.
Dua Wanita dalam Kecamuk Perang
Berbeda dengan novel pertamanya yang tokoh utamanya adalah dua orang anak laki-laki yang berbeda kelas, di novel ini tokoh utamanya adalah dua orang wanita. Diawali sejak Mariam masih berusia lima tahun pada tahun 1964, dan berakhir dengan kehidupan keluarga Laila pada tahun 2003.
Sejak kecil Mariam seringkali mendengar Nana, ibunya, jika sedang kesal menyebutnya sebagai harami. Anak haram. Dan memang itulah status yang disandangnya. Mereka berdua dibuang tinggal di sebuah gubuk terpencil oleh keluarga ayah kandungnya. Jalil, ayah kandungnya yang merupakan orang terpandang di Herat, berkunjung seminggu sekali dan menjadi saat yang sangat dinantikan Mariam. Tapi Jalil yang telah mempunya tiga istri dan sepuluh anak itu tak punya hati untuk membawa Mariam ke rumahnya dan mengakuinya sebagai anak.
Hingga pada saat Mariam berusia limabelas tahun, sebuah tragedi membawa Mariam tinggal di rumah ayahnya. Namun ketiga istrinya segera mengirim Mariam ke Kabul yang berjarak 650 km dari Herat untuk menikah dengan Rasheed yang tigapuluh tahun lebih tua. Mariam telah belajar dari ibunya, bagaimana bertahan dalam kehidupan yang sangat sulit dan menghadapi kenyataan bahwa kaum lelaki seringkali menyalahkan wanita dalam segala hal.
Cerita kemudian beralih ke tetangga Rasheed dan Mariam di Kabul. Laila gadis sembilan tahun yang cantik dan cerdas tinggal bersama kedua orang tuanya beberapa rumah dari tempat tinggal Mariam. Kedua kakak laki-lakinya pergi berperang bersama para Mujahidin untuk melawan Sovyet. Ibunya selalu dalam kesedihan karena cemas akan kedua anak kesayangannya. Sementara Laila menjalin hubungan yang akrab dengan Tariq, anak lelaki tetangga sebelah rumah.
Lima tahun kemudian, dalam kecamuk perang yang semakin mengganas, sebuah tragedi mendamparkan Laila ke rumah keluarga Rasheed dan Mariam. Keluarga yang tidak bahagia itu semakin runyam dengan kehadiran Laila.
Mariam semula amat membenci Laila, tapi seiring waktu dan sederet penderitaan yang mereka alami, hubungan keduanya menjadi semakin erat dan saling menopang satu sama lain. Bukan hanya dalam menghadapi penderitaan akibat perang yang silih berganti tanpa akhir, tapi juga dalam menghadapi kekasaran dan kekejaman Rasheed yang temperamental. Bahkan Mariam rela mengorbankan segalanya demi Laila dan anak2nya.
Dramatis Sebagaimana Sebelumnya
Khaled Hosseini memang ahlinya dalam hal menuturkan sebuah cerita dramatis yang menyentuh. Jalinan kalimat puitis yang indah menghiasi bagian2 saat ia menggambarkan setting lingkungan atau suasana hati para tokohnya. Adegan demi adegan, dan dialog demi dialog mengalir lancar secara realistis. Kejutan dan tikungan tajam ia bangun dengan logis dan tak terbayangkan sebelumnya.
Adegan-adegan dramatis kadang hanya digambarkan dalam beberapa kalimat saja di akhir bab, dan dibiarkan menggantung sesaat sebelum dijelaskan di bab berikutnya pada paragraf kesekian. Tapi itu tidak menghilangkan kesan dramatis dari adegan tersebut. Kejutan dalam beberapa kalimat itu akan membuat pembaca terkesiap sesaat dan penasaran mencari penjelasan di bab berikutnya yang kadang tahu-tahu sudah meloncat beberapa waktu ke depan.
Ada satu bagian yang sangat menarik dan terasa sangat filmis, saat Khaled bermain-main dengan plot maju-mundur untuk mendramatisasi dua kejadian yang berbeda waktu. Agak membingungkan awalnya, tapi kemudian menjadi sangat menarik dan menjadi lebih dramatis daripada jika diceritakan berurutan. Dan memang ini adalah adegan puncak yang layak didramatisir karena kemudian memutarbalikkan segala keadaan.
Perpindahan karakter utama dari Mariam ke Laila kemudian ke Mariam lagi dan seterusnya, mungkin memaksa pembaca untuk berkali-kali mengubah sudut pandang. Tapi dengan cara ini karakter Mariam dan Laila menjadi terasa lebih dalam tergali.
Perang adalah Kesengsaraan
Sembari menuturkan kisah utamanya, Khaled Hosseini menyisipkan perkembangan politik dan peperangan yang menjadi latar belakang kisahnya. Sejak berkuasanya Raja Zahir Syah di Afghanistan pada saat kelahiran Mariam, pendudukan Sovyet, hancurnya Sovyet, perang saudara antar faksi Mujahidin, berkuasanya Taliban, hingga runtuhnya menara kembar WTC di New York yang memicu Bush untuk menyatakan perang terhadap penguasa Taliban. Lebih lengkap dan lebih mendetail dari novel pertama. Semuanya runtut dan diikuti dengan cermat untuk membangun plot kisah utamanya.
Kengerian dan kesengsaraan yang dialami penduduk Kabul selama perang tergambar cukup jelas disini. Hujan roket yang bisa menghunjam kapan saja dimana saja menghantui setiap orang. Bukan hanya anak laki-laki yang pergi ke medan perang yang bisa tewas kapan saja, tapi juga mereka yang tinggal di rumah harus waspada dengan roket yang tiba2 menghancurkan seisi rumah.
Mereka yang tidak tahan dengan kecemasan berada di kota yang berada dalam fase penghancuran oleh pihak lawan, segera memutuskan untuk mengungsi pergi dari Kabul. Tapi mereka yang tidak punya kerabat sebagai tujuan pasti di luar Afghanistan harus rela hidup di tenda pengungsian dan siap menghadapi kesengsaraan dalam bentuk yang lain.
Tampaknya salah satu pesan utama Khaled Hosseini dalam novel ini adalah perang apapun alasannya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Ribuan manusia yang tidak memiliki kepentingan dalam perang itu hanya akan menjadi korban sia-sia demi ego beberapa gelintir penguasa.
Bikin Merinding
Novel ini dibagi dalam 4 bagian, dan 51 bab. Bagian pertama bercerita tentang Mariam. Bagian kedua tentang Laila. Bagian ketiga bertemunya Mariam dan Laila dalam satu cerita. Dan bagian keempat sebagai antiklimaks. Pada bagian pertama dan kedua alur cerita terasa agak lambat. Menarik dan beberapa kejadian terasa membuat miris tapi tidak ada yang sangat istimewa. Mungkin karena cerita tentang penderitaan wanita sudah begitu banyak dikisahkan, jadi tidak terasa terlalu istimewa lagi buat aku.
Pada bagian ketiga mulailah Khaled Hosseini menunjukkan taringnya, dan menancapkan kukunya dalam-dalam pada emosi pembaca. Kadang dalam bentuk uraian panjang, tapi yang seringkali bikin merinding malah yang hanya dituliskan dalam satu dua kalimat saja. Seperti "Cut me open!", atau "Kneel here, hamshira"...
Terus terang aku tidak sempat terharu sampai berkaca-kaca membaca novel ini sebagaimana saat membaca The Kite Runner. Tapi sejak akhir bagian kedua dan berlanjut ke bagian selanjutnya aku sering merasa merinding membayangkan dramatisasi beberapa adegan yang dikisahkan. Merinding karena tersentuh dan terharu, atau merinding karena ngeri.
Mungkin jika aku membacanya kembali, aku akan merinding sepanjang cerita karena sudah tahu bagaimana akhir segalanya. Bagaimana kedua wanita itu dengan tegarnya mampu bertahan menghadapi segala bentuk peristiwa dan penderitaan.
Seribu Matahari Sempurna
Lalu apa hubungannya dengan "Seribu Matahari Sempurna"? Itu adalah cuplikan sebuah puisi dari abad 17 karya Saib-e-Tabrizi yang menggambarkan perpisahan dengan kota Kabul dan kerinduan akannya, yang dikutip oleh ayah Laila saat mereka berencana meninggalkan Kabul.
Or the thousand splendid suns that hide behind her walls
Indah sekali. Begitu pula novel ini :)
Dan sepertinya penerbit Qanita sudah nggak sabar untuk segera merilis terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Berliani "Antie" Nugrahani, yang pernah menterjemahkan Kite Runner dengan penuh perasaan, sudah selesai menterjemahkan novel ini... tinggal tunggu tanggal terbitnya saja :D
<< Home