Monday, July 30, 2007
Pemakaman Langit
Ini adalah novel dengan latar belakang negeri Tibet yang pertama kali aku baca. Membaca kisah yang memperkenalkan kita dengan detail dari kebudayaan lain yang masih asing buat kita sering kali menumbuhkan ketertarikan tersendiri sembari belajar dan menambah wawasan tentang budaya lain.
"Sky Burial" atau "Pemakaman Langit" ini adalah novel karya Xinran, penulis wanita dari China yang pernah menjadi wartawan dan penyiar radio, dan sekarang menetap di London. Ditulis pada tahun 2004. Versi bahasa Indonesia-nya diterjemahkan oleh: Ken Nadya, diterbitkan oleh Serambi Agustus 2007 dalam 286 halaman.
Dengan subjudul "Sebuah Kisah Cinta Heroik dari Tibet", novel ini memadukan kisah tentang perjalanan memperjuangkan cinta dengan latar belakang budaya masyarakat Tibet yang sangat unik.
Pencarian Cinta di Dinginnya Tibet
Mengambil setting awal di negeri China pada tahun 1958, saat China dan Tibet masih berada dalam perseteruan panas. Di kota Shuzou, Kejun dan Shu Wen adalah sepasang suami istri berprofesi dokter yang baru saja menikah. Setelah menikah Kejun dikirim sebagai dokter militer ke daerah konflik di Tibet. Dan saat umur pernikahan mereka barulah 3 bulan, Shu Wen menerima surat pemberitahuan bahwa Kejun telah tewas dalam sebuah insiden di Tibet.
Shu Wen yang begitu dalam mencintai Kejun sangat terpukul dengan pemberitahuan itu. Tanpa berpikir terlalu lama, ia memutuskan untuk mencari Kejun di Tibet. Ia belum percaya bahwa Kejun telah tewas. Bisa saja berita itu salah. Kalaupun Kejun memang sudah tewas, ia ingin melihat kuburnya dan mengetahui kisah lengkapnya bagaimana suami tercintanya itu tewas.
Shu Wen pun mendaftarkan diri menjadi dokter militer, mendaftar pada unit yang sama dengan unit suaminya dulu, dan kemudian meminta dikirim ke lokasi yang sama dengan suaminya. Dan Shu Wen pun meninggalkan orang tua dan keluarganya di Shuzou menempuh ribuan kilometer untuk mencari Kejun di Tibet.
Dalam konvoi besar truk militer, perjalanan Shuzou sudah terhambat ketika baru beberapa hari menelusuri Tibet. Pasukan Tibet yang bergerilya berhasil menguasai pasukan tentara Cina itu dan memaksa mereka kembali ke China. Shuzou memilih tinggal dan mengembara bersama Zhouma, seorang gadis Tibet yang ia selamatkan dari tentara cina yang ingin membunuhnya.
Zhouma kebetulan senasib dengan Shu Wen, ia terpisah dari Tiananmen, orang yang dicintainya setelah ia meninggalkan rumah dan harta bendanya. Berdua mereka mencari kekasih masing-masing tanpa tujuan yang pasti. Dalam pengembaraan itu mereka bergabung dengan satu keluarga nomaden.
Bersama keluarga Gela, Saiebao, Geer dan anak2 mereka Shu Wen meleburkan diri dalam kebudayaan nomaden orang Tibet, sembari ia pantang menyerah terus mencari petunjuk tentang keberadaan Kejun, cintanya yang terdalam...
Tibet dan Pemakaman Langit
Tidak dinyatakan secara tertulis, apakah ini kisah nyata atau bukan. Tapi sepertinya ini adalah kisah nyata. Dan jika memang benar begitu, perjalanan pencarian Shu Wen selama puluhan tahun hingga rambutnya beruban ini memang layak disebut 'heroik'. Yup, puluhan tahun. Shu Wen berangkat ke Tibet sekitar tahun 1958. Ia baru kembali ke Shuzou, dan bertemu dengan Xinrang penulis buku ini pada tahun 1994! Tiga puluh enam tahun ia menghabiskan usia mencari suaminya di Tibet, negeri di atap langit yang dingin dan sepi.
Penggambaran detil kehidupan keluarga nomaden Tibet di novel ini benar-benar membukakan mata. Sungguh tidak terbayangkan bagi orang2 yang sudah sangat terbiasa hidup bergantung pada teknologi modern untuk hidup mengikuti irama alam sebagaimana orang nomaden dari Tibet itu. Hidup di tenda, menggembalakan ternak, membuat mentega dan keju sendiri, mencari makan dengan berburu, dan berpindah tempat saat musim berganti. Dan itu dilakukan sepanjang hidup mereka.
Dan judul novel ini, adalah salah satu tata cara orang Tibet melakukan pemakaman keluarga mereka. Pemakaman Langit. Agak sedikit sadis dan mengerikan. Karena jenazah akan dipotong-potong, disayat-sayat untuk memisahkan tulang dari daging, lantas setiap tulang dimemarkan hingga hancur... kemudian diletakkan di sebuah lembah untuk menjadi santapan burung Nasar hingga tak bersisa... Menurut mereka itu bukanlah sesuatu yang kejam, tapi itu adalah salah satu cara untuk hidup dalam harmoni dengan alam.
Meskipun novel ini bukan semata-mata tentang pemakaman langit tersebut, tapi pemakaman langit itu menjadi satu kejadian yang sangat menyentuh.
Heroik Menggetarkan
Sebuah kisah perjalanan hidup yang.. ah.. tidak terbayangkan. Pengorbanan dan perjuangan demi mencari belahan jiwa yang bukan saja dramatis, tapi heroik. Puluhan tahun mengarungi sepinya dataran tinggi Tibet yang begitu luas, demi mencari secuil informasi tentang seseorang yang pernah menapakkan kaki disana. Bertahan dalam kesederhanaan hidup, yang bagi banyak orang mungkin terasa menyengsarakan, demi sepercik harapan. Karena dahsyatnya kekuatan cinta.
Hingga akhir novel ini, kegetiran akan terus melingkupi, bahkan mungkin sampai beberapa saat setelah selesai membacanya. Klimaksnya sangat menggetarkan, suatu pengorbanan yang sekali lagi tak terbayangkan.
Namun terus terang saja, novel ini sebenarnya bisa jauh lebih menggetarkan jika ditulis dengan lebih dramatis. Dengan cara penuturan yang lebih mendalam tentu akan lebih bisa menggerus emosi pembacanya. Plot ceritanya sendiri sudah sangat menyentuh dan mengharubiru, cuman kurang sentuhan disana sini. Aku membayangkan kalau saja yang menulis ini adalah Khaled Hosseini... waaaa... bakal mampus gw.. :D
"Sky Burial" atau "Pemakaman Langit" ini adalah novel karya Xinran, penulis wanita dari China yang pernah menjadi wartawan dan penyiar radio, dan sekarang menetap di London. Ditulis pada tahun 2004. Versi bahasa Indonesia-nya diterjemahkan oleh: Ken Nadya, diterbitkan oleh Serambi Agustus 2007 dalam 286 halaman.
Dengan subjudul "Sebuah Kisah Cinta Heroik dari Tibet", novel ini memadukan kisah tentang perjalanan memperjuangkan cinta dengan latar belakang budaya masyarakat Tibet yang sangat unik.
Pencarian Cinta di Dinginnya Tibet
Mengambil setting awal di negeri China pada tahun 1958, saat China dan Tibet masih berada dalam perseteruan panas. Di kota Shuzou, Kejun dan Shu Wen adalah sepasang suami istri berprofesi dokter yang baru saja menikah. Setelah menikah Kejun dikirim sebagai dokter militer ke daerah konflik di Tibet. Dan saat umur pernikahan mereka barulah 3 bulan, Shu Wen menerima surat pemberitahuan bahwa Kejun telah tewas dalam sebuah insiden di Tibet.
Shu Wen yang begitu dalam mencintai Kejun sangat terpukul dengan pemberitahuan itu. Tanpa berpikir terlalu lama, ia memutuskan untuk mencari Kejun di Tibet. Ia belum percaya bahwa Kejun telah tewas. Bisa saja berita itu salah. Kalaupun Kejun memang sudah tewas, ia ingin melihat kuburnya dan mengetahui kisah lengkapnya bagaimana suami tercintanya itu tewas.
Shu Wen pun mendaftarkan diri menjadi dokter militer, mendaftar pada unit yang sama dengan unit suaminya dulu, dan kemudian meminta dikirim ke lokasi yang sama dengan suaminya. Dan Shu Wen pun meninggalkan orang tua dan keluarganya di Shuzou menempuh ribuan kilometer untuk mencari Kejun di Tibet.
Dalam konvoi besar truk militer, perjalanan Shuzou sudah terhambat ketika baru beberapa hari menelusuri Tibet. Pasukan Tibet yang bergerilya berhasil menguasai pasukan tentara Cina itu dan memaksa mereka kembali ke China. Shuzou memilih tinggal dan mengembara bersama Zhouma, seorang gadis Tibet yang ia selamatkan dari tentara cina yang ingin membunuhnya.
Zhouma kebetulan senasib dengan Shu Wen, ia terpisah dari Tiananmen, orang yang dicintainya setelah ia meninggalkan rumah dan harta bendanya. Berdua mereka mencari kekasih masing-masing tanpa tujuan yang pasti. Dalam pengembaraan itu mereka bergabung dengan satu keluarga nomaden.
Bersama keluarga Gela, Saiebao, Geer dan anak2 mereka Shu Wen meleburkan diri dalam kebudayaan nomaden orang Tibet, sembari ia pantang menyerah terus mencari petunjuk tentang keberadaan Kejun, cintanya yang terdalam...
Tibet dan Pemakaman Langit
Tidak dinyatakan secara tertulis, apakah ini kisah nyata atau bukan. Tapi sepertinya ini adalah kisah nyata. Dan jika memang benar begitu, perjalanan pencarian Shu Wen selama puluhan tahun hingga rambutnya beruban ini memang layak disebut 'heroik'. Yup, puluhan tahun. Shu Wen berangkat ke Tibet sekitar tahun 1958. Ia baru kembali ke Shuzou, dan bertemu dengan Xinrang penulis buku ini pada tahun 1994! Tiga puluh enam tahun ia menghabiskan usia mencari suaminya di Tibet, negeri di atap langit yang dingin dan sepi.
Penggambaran detil kehidupan keluarga nomaden Tibet di novel ini benar-benar membukakan mata. Sungguh tidak terbayangkan bagi orang2 yang sudah sangat terbiasa hidup bergantung pada teknologi modern untuk hidup mengikuti irama alam sebagaimana orang nomaden dari Tibet itu. Hidup di tenda, menggembalakan ternak, membuat mentega dan keju sendiri, mencari makan dengan berburu, dan berpindah tempat saat musim berganti. Dan itu dilakukan sepanjang hidup mereka.
Dan judul novel ini, adalah salah satu tata cara orang Tibet melakukan pemakaman keluarga mereka. Pemakaman Langit. Agak sedikit sadis dan mengerikan. Karena jenazah akan dipotong-potong, disayat-sayat untuk memisahkan tulang dari daging, lantas setiap tulang dimemarkan hingga hancur... kemudian diletakkan di sebuah lembah untuk menjadi santapan burung Nasar hingga tak bersisa... Menurut mereka itu bukanlah sesuatu yang kejam, tapi itu adalah salah satu cara untuk hidup dalam harmoni dengan alam.
Meskipun novel ini bukan semata-mata tentang pemakaman langit tersebut, tapi pemakaman langit itu menjadi satu kejadian yang sangat menyentuh.
Heroik Menggetarkan
Sebuah kisah perjalanan hidup yang.. ah.. tidak terbayangkan. Pengorbanan dan perjuangan demi mencari belahan jiwa yang bukan saja dramatis, tapi heroik. Puluhan tahun mengarungi sepinya dataran tinggi Tibet yang begitu luas, demi mencari secuil informasi tentang seseorang yang pernah menapakkan kaki disana. Bertahan dalam kesederhanaan hidup, yang bagi banyak orang mungkin terasa menyengsarakan, demi sepercik harapan. Karena dahsyatnya kekuatan cinta.
Hingga akhir novel ini, kegetiran akan terus melingkupi, bahkan mungkin sampai beberapa saat setelah selesai membacanya. Klimaksnya sangat menggetarkan, suatu pengorbanan yang sekali lagi tak terbayangkan.
Namun terus terang saja, novel ini sebenarnya bisa jauh lebih menggetarkan jika ditulis dengan lebih dramatis. Dengan cara penuturan yang lebih mendalam tentu akan lebih bisa menggerus emosi pembacanya. Plot ceritanya sendiri sudah sangat menyentuh dan mengharubiru, cuman kurang sentuhan disana sini. Aku membayangkan kalau saja yang menulis ini adalah Khaled Hosseini... waaaa... bakal mampus gw.. :D
<< Home