Tuesday, September 04, 2007
Hubbu
Setelah novel "Glonggong" yang menjadi juara harapan pertama dari Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006 diterbitkan oleh Serambi, kini novel yang menjadi juara pertama dalam ajang yang sama diterbitkan oleh Gramedia. "Hubbu", yang berarti 'Cinta' dalam bahasa Arab, ditulis oleh Mashuri pendatang baru dalam dunia novel tapi telah cukup lama berkecimpung dalam puisi. Gramedia menerbitkannya pada Agustus 2007, dalam 237 halaman.
Dengan sampul yang cukup artistik menggambarkan dinding sebuah bangunan kuno dan sesosok tangan wanita tampak membuka satu sisi pintu. Tampak seolah ada seorang wanita sedang mengintip dan ragu-ragu untuk keluar, atau malah bisa juga ditafsirkan sedang mengajak kita untuk masuk ke dalam.
Menceritakan perjalanan hidup seorang keturunan kyai yang bimbang dan terombang-ambing dalam pilihan antara mengemban amanat meneruskan kepemimpinan pesantren ataukah menapaki kehidupan yang ia pilih sendiri. Novel ini unik dan kaya karena memadukan latar belakang pesantren, budaya jawa yang penuh mistik, serta kehidupan modern yang bebas.
Santri dalam Kebingungan Budaya
Dibuka dengan sebuah prolog, atau oleh penulis disebut sebagai prawayang, yang merupakan cuplikan dari sebuah kisah wayang. Sebuah lontar yang ditulis oleh Danareja untuk ayahnya Wisrawa raja Lokapala. Danareja merasa telah dipenggal kisah cintanya oleh ayahnya sendiri yang tega menyetubuhi Dewi Sukesi, calon istri Danareja. Itu terjadi karena Dewi Sukesi meminta Wisrawa membuka rahasia ilmu Sastra Gendra sebagai syarat ia mau menjadi menantu. Akibat dari diuarnya ilmu rahasia tersebut ternyata sangatlah fatal.
Kisah utama novel ini dimulai pada akhir tahun 1995 di Surabaya. Jarot alias Abdullah Sattar seorang mahasiswa Sastra Indonesia secara kebetulan mendapatkan sebuah buku yang didalamnya tertulis bait2 guritan (puisi berbahasa jawa) yang berjudul "Sastra Gendra". Munculnya guritan itu melayangkan pikiran Jarot ke perjalanan yang telah ia tapaki hingga saat itu.
Jarot adalah keturunan seorang kyai yang memiliki sebuah pondok pesantren di sebuah desa bernama Alas Abang. Sejak kecil Jarot telah digadang-gadang akan menjadi penerus Mbah Adnan, kakeknya, karena kakeknya dapat melihat keistimewaan dalam diri Jarot. Namun saat Mbah Adnan meninggal Jarot masih seorang anak kecil, maka sementara menunggu Jarot dewasa kepemimpinan pondok dipegang oleh paman Jarot.
Jarot memang memiliki keistimewaan. Ia mampu menghafal dengan sekali baca. Tapi kecerdasannya itu membuatnya cepat bosan dan mencari hal2 baru untuk dipelajari. Diam2 ia belajar budaya jawa dan mistiknya kepada Wak Tomo. Ketika ketahuan keluarganya marah besar, dan ia dilarang bertemu Wak Tomo lagi. Namun Jarot tetaplah seorang pemberontak. Saat SMA ia keluar dari pesantren tempat ia belajar, dan memutuskan hanya sekolah di SMA umum. Dan setamat SMA ia memutuskan untuk kuliah di Surabaya, jauh dari Alas Abang.
Dalam pergaulan kota besar, Jarot tetap berusaha menjaga akhlaqnya seperti yang ditanamkan kepadanya sejak kecil. Meskipun pada akhirnya perlahan seiring waktu, mulai terjadi kebocoran satu demi satu. Dan puncaknya adalah saat ia mendapati dirinya berada satu ranjang dengan seorang gadis.
Rasa bersalah Jarot akan tindakannya, membuat ia merasa tak punya muka di depan seluruh keluarganya di Alas Abang. Ia merasa tak layak untuk meneruskan kepemimpinan pondok, dan harus menghukum dirinya sendiri. Setelah lulus kuliah, ia pergi ke Ambon dan menikah disana tanpa pamit tanpa kabar ke Alas Abang.
Cerita novel ini kemudian melompat ke tahun 2040, dengan Aida sebagai tokoh utamanya. Aida adalah anak Jarot. Saat liburan semesternya ia memutuskan pergi ke Jawa untuk menelusuri masa lalu ayahnya yang tak pernah diungkapkan. Aida pergi ke Surabaya, menemui teman kuliah ayahnya, dan kemudian pergi ke Alas Abang tanah kelahiran ayahnya. Di Alas Abang Aida disambut dengan hangat, layaknya seorang anak hilang yang telah lama dinanti kedatangannya kembali. Dan disana Aida harus berhadapan dengan setumpuk kenyataan dari masa lalu ayahnya.
Penuh Eksperimen Penulisan
Meskipun ini merupakan novel debutan dari penulisnya, tapi berbagai eksperimen cara bertutur telah dipamerkan disini. Pembaca yang terbiasa dengan novel yang beralur linear mungkin akan kebingungan mengikutinya. Sementara mereka yang suka bertualangan dalam plot cerita yang penuh eksperimen, mungkin bisa menikmati sebagai sebuah pengalaman membaca yang menantang.
Plot cerita maju mundur mungkin sudah tidak terlalu aneh, karena sudah sering dipakai sebagai cara lain dalam menyusun cerita. Namun bukan itu yang membuat novel ini agak membingungkan. Penulis dalam novel ini dengan sangat bebas berganti-ganti penutur dan cara bertutur. Kadang ia menjadikan Jarot sebagai penutur pertama, kemudian pada sub bab berikutnya melompat dengan penutur orang ketiga, kemudian berganti tokoh Puteri yang menjadi 'aku'. Pembaca harus menebak-nebak sendiri setiap berganti bab, siapa sekarang yang menjadi 'aku'?. Dan puncak kebingungan akan terjadi pada bagian ketiga, ketika tiba-tiba saja penutur 'aku' adalah tokoh yang baru sama sekali.
Selain pergantian penutur, penulis juga bermain-main dengan cara berkisah. Pada satu saat, ia menggunakan buku harian untuk menceritakan kehidupan Jarot pada masa SMA. Pada bagian lain penulis menggunakan format wawancara resmi untuk sebuah tanya jawab. Dan karena hanya digunakan pada satu bagian saja maka tampak kalau pemakaian format bercerita itu hanya sebagai sebuah eksperimen untuk mewarnai karya ini.
Pengalaman Pribadi Penulis
Membaca profile penulisnya, sangat mungkin novel ini paling tidak terinspirasi oleh kisah hidup penulis sendiri. Penulis pernah menjadi santri di beberapa pesantren, pantaslah jika bisa menggambarkan kehidupan pesantren baik itu lingkungan maupun macam2 pelajarannya dengan cukup detail. Dan saat ini penulis banyak berkutat dalam dunia seni terutama dalam khasanah budaya Jawa, maka pantaslah juga jika cerita wayang dan segala macam pernik budaya jawa dapat disampaikan dengan fasih. Apakah segala pertentangan batin Jarot yang ia ciptakan sendiri akibat tarik menarik antara Islam - Jawa - Kebebasan Modern juga pengalaman pribadi penulis? :)
Latarbelakang penulis yang lebih banyak berkecimpung dalam dunia puisi cukup terasa dalam penulisan novelnya. Meskipun tidak sampai menjadikan novel ini sebagai prosa liris, tapi pada beberapa bagian memang terasa puitis. Tidak terlalu banyak dialog, lebih banyak berkisah tentang pergulatan batin tokoh yang sedang menjadi 'aku' pada saat itu. Sehingga emosi novel ini terasa seperti terpendam dalam pikiran masing2 tokohnya.
Pertanyaan demi Pertanyaan
Banyak hal yang dibiarkan menggantung tanpa penjelasan hingga akhir novel ini. Memang, perjalanan hidup Jarot akhirnya terungkap meskipun tidak cukup runtut, tapi tetap tidak jelas benar apa yang sebenarnya terjadi setelah Jarot pergi dari Surabaya. Dari sosok Aida, anaknya, tergambar bahwa Jarot tidak mengajarkan banyak kepada Aida tentang Islam maupun tentang budaya Jawa, dua hal yang sangat didalami oleh Jarot pada masa mudanya. Aida menjadi anak muda modern yang sama sekali awam terhadap akar budaya ayahnya. Agak mengherankan mengingat Jarot tadinya digambarkan sangat idealis.
Pemilihan judul "Hubbu" juga menjadi pertanyaan. Mengapa harus menggunakan bahasa Arab? Dalam novel ini memang tokohnya sedikit banyak mengerti bahasa arab, tapi kalimat berbahasa arab nyaris tidak pernah muncul kecuali satu dua saja dalam novel ini. Kedua kenapa harus berjudul "Hubbu" yang artinya "Cinta"? Padahal menurutku inti novel ini bukan tentang 'cinta', tapi tentang pergulatan Jarot dalam berbagai macam kutub budaya yang mempengaruhi dirinya.
Sempat timbul pertanyaan lain tentang setting waktu. Terasa aneh mengapa Aida harus hidup pada tahun 2040? Itu terasa dipaksakan ketika ternyata penulis tidak berhasil atau memang tidak berusaha membangun setting masa depan yang jauh lebih maju. 30 tahun dari sekarang, teknologi entahlah sudah seperti apa majunya. Penulis tetap terpaku pada teknologi saat ini, telepon genggam belum menjadi video call, internet masih menggunakan situs2 saat ini dan belum ada perpustakaan online yang super lengkap.
Saat dicermati lagi, terjawablah bahwa ada satu momen real yang ingin tetap dipertahankan oleh penulis. Momen nyata itu adalah pemuatan guritan "Sastra Gendra" karya Budi Palopo di majalah Jaya Baya pada tanggal 18 Oktober 1994. Tampaknya inilah batu pertama yang menjadi dasar penulisan novel ini untuk mundur ke masa silam maupun maju ke masa depan. Diskusi antara Jarot dan Budi Palopo tentang "Sastra Gendra" mestinya juga adalah sebuah wawancara nyata yang dilakukan oleh penulis. Pantaslah jika formatnya tetap dipertahankan dalam bentuk wawancara resmi agar seperti apa adanya, meskipun jadi terasa aneh.
Unik tapi Tidak Tuntas
Sebagai sebuah cerita, novel ini berkisah tentang banyak hal yang diramu dalam sebuah perpaduan yang cukup unik. Hanya sayangnya tidak diselesaikan dengan tuntas. Novel ini ditutup agak mengejutkan tapi tanpa emosi dan kemudian menyisakan banyak pertanyaan.
Yang jelas Ahmad Tohari, juri sayembara Novel DKJ 2006 menyatakan bahwa novel ini "sangat utuh dan padu ceritanya". Entahlah, aku bukan sastrawan kawakan yang bisa memahami novel ini hingga sederajad dengan pemahaman pak Ahmad Tohari :)
Dengan sampul yang cukup artistik menggambarkan dinding sebuah bangunan kuno dan sesosok tangan wanita tampak membuka satu sisi pintu. Tampak seolah ada seorang wanita sedang mengintip dan ragu-ragu untuk keluar, atau malah bisa juga ditafsirkan sedang mengajak kita untuk masuk ke dalam.
Menceritakan perjalanan hidup seorang keturunan kyai yang bimbang dan terombang-ambing dalam pilihan antara mengemban amanat meneruskan kepemimpinan pesantren ataukah menapaki kehidupan yang ia pilih sendiri. Novel ini unik dan kaya karena memadukan latar belakang pesantren, budaya jawa yang penuh mistik, serta kehidupan modern yang bebas.
Santri dalam Kebingungan Budaya
Dibuka dengan sebuah prolog, atau oleh penulis disebut sebagai prawayang, yang merupakan cuplikan dari sebuah kisah wayang. Sebuah lontar yang ditulis oleh Danareja untuk ayahnya Wisrawa raja Lokapala. Danareja merasa telah dipenggal kisah cintanya oleh ayahnya sendiri yang tega menyetubuhi Dewi Sukesi, calon istri Danareja. Itu terjadi karena Dewi Sukesi meminta Wisrawa membuka rahasia ilmu Sastra Gendra sebagai syarat ia mau menjadi menantu. Akibat dari diuarnya ilmu rahasia tersebut ternyata sangatlah fatal.
Kisah utama novel ini dimulai pada akhir tahun 1995 di Surabaya. Jarot alias Abdullah Sattar seorang mahasiswa Sastra Indonesia secara kebetulan mendapatkan sebuah buku yang didalamnya tertulis bait2 guritan (puisi berbahasa jawa) yang berjudul "Sastra Gendra". Munculnya guritan itu melayangkan pikiran Jarot ke perjalanan yang telah ia tapaki hingga saat itu.
Jarot adalah keturunan seorang kyai yang memiliki sebuah pondok pesantren di sebuah desa bernama Alas Abang. Sejak kecil Jarot telah digadang-gadang akan menjadi penerus Mbah Adnan, kakeknya, karena kakeknya dapat melihat keistimewaan dalam diri Jarot. Namun saat Mbah Adnan meninggal Jarot masih seorang anak kecil, maka sementara menunggu Jarot dewasa kepemimpinan pondok dipegang oleh paman Jarot.
Jarot memang memiliki keistimewaan. Ia mampu menghafal dengan sekali baca. Tapi kecerdasannya itu membuatnya cepat bosan dan mencari hal2 baru untuk dipelajari. Diam2 ia belajar budaya jawa dan mistiknya kepada Wak Tomo. Ketika ketahuan keluarganya marah besar, dan ia dilarang bertemu Wak Tomo lagi. Namun Jarot tetaplah seorang pemberontak. Saat SMA ia keluar dari pesantren tempat ia belajar, dan memutuskan hanya sekolah di SMA umum. Dan setamat SMA ia memutuskan untuk kuliah di Surabaya, jauh dari Alas Abang.
Dalam pergaulan kota besar, Jarot tetap berusaha menjaga akhlaqnya seperti yang ditanamkan kepadanya sejak kecil. Meskipun pada akhirnya perlahan seiring waktu, mulai terjadi kebocoran satu demi satu. Dan puncaknya adalah saat ia mendapati dirinya berada satu ranjang dengan seorang gadis.
Rasa bersalah Jarot akan tindakannya, membuat ia merasa tak punya muka di depan seluruh keluarganya di Alas Abang. Ia merasa tak layak untuk meneruskan kepemimpinan pondok, dan harus menghukum dirinya sendiri. Setelah lulus kuliah, ia pergi ke Ambon dan menikah disana tanpa pamit tanpa kabar ke Alas Abang.
Cerita novel ini kemudian melompat ke tahun 2040, dengan Aida sebagai tokoh utamanya. Aida adalah anak Jarot. Saat liburan semesternya ia memutuskan pergi ke Jawa untuk menelusuri masa lalu ayahnya yang tak pernah diungkapkan. Aida pergi ke Surabaya, menemui teman kuliah ayahnya, dan kemudian pergi ke Alas Abang tanah kelahiran ayahnya. Di Alas Abang Aida disambut dengan hangat, layaknya seorang anak hilang yang telah lama dinanti kedatangannya kembali. Dan disana Aida harus berhadapan dengan setumpuk kenyataan dari masa lalu ayahnya.
Penuh Eksperimen Penulisan
Meskipun ini merupakan novel debutan dari penulisnya, tapi berbagai eksperimen cara bertutur telah dipamerkan disini. Pembaca yang terbiasa dengan novel yang beralur linear mungkin akan kebingungan mengikutinya. Sementara mereka yang suka bertualangan dalam plot cerita yang penuh eksperimen, mungkin bisa menikmati sebagai sebuah pengalaman membaca yang menantang.
Plot cerita maju mundur mungkin sudah tidak terlalu aneh, karena sudah sering dipakai sebagai cara lain dalam menyusun cerita. Namun bukan itu yang membuat novel ini agak membingungkan. Penulis dalam novel ini dengan sangat bebas berganti-ganti penutur dan cara bertutur. Kadang ia menjadikan Jarot sebagai penutur pertama, kemudian pada sub bab berikutnya melompat dengan penutur orang ketiga, kemudian berganti tokoh Puteri yang menjadi 'aku'. Pembaca harus menebak-nebak sendiri setiap berganti bab, siapa sekarang yang menjadi 'aku'?. Dan puncak kebingungan akan terjadi pada bagian ketiga, ketika tiba-tiba saja penutur 'aku' adalah tokoh yang baru sama sekali.
Selain pergantian penutur, penulis juga bermain-main dengan cara berkisah. Pada satu saat, ia menggunakan buku harian untuk menceritakan kehidupan Jarot pada masa SMA. Pada bagian lain penulis menggunakan format wawancara resmi untuk sebuah tanya jawab. Dan karena hanya digunakan pada satu bagian saja maka tampak kalau pemakaian format bercerita itu hanya sebagai sebuah eksperimen untuk mewarnai karya ini.
Pengalaman Pribadi Penulis
Membaca profile penulisnya, sangat mungkin novel ini paling tidak terinspirasi oleh kisah hidup penulis sendiri. Penulis pernah menjadi santri di beberapa pesantren, pantaslah jika bisa menggambarkan kehidupan pesantren baik itu lingkungan maupun macam2 pelajarannya dengan cukup detail. Dan saat ini penulis banyak berkutat dalam dunia seni terutama dalam khasanah budaya Jawa, maka pantaslah juga jika cerita wayang dan segala macam pernik budaya jawa dapat disampaikan dengan fasih. Apakah segala pertentangan batin Jarot yang ia ciptakan sendiri akibat tarik menarik antara Islam - Jawa - Kebebasan Modern juga pengalaman pribadi penulis? :)
Latarbelakang penulis yang lebih banyak berkecimpung dalam dunia puisi cukup terasa dalam penulisan novelnya. Meskipun tidak sampai menjadikan novel ini sebagai prosa liris, tapi pada beberapa bagian memang terasa puitis. Tidak terlalu banyak dialog, lebih banyak berkisah tentang pergulatan batin tokoh yang sedang menjadi 'aku' pada saat itu. Sehingga emosi novel ini terasa seperti terpendam dalam pikiran masing2 tokohnya.
Pertanyaan demi Pertanyaan
Banyak hal yang dibiarkan menggantung tanpa penjelasan hingga akhir novel ini. Memang, perjalanan hidup Jarot akhirnya terungkap meskipun tidak cukup runtut, tapi tetap tidak jelas benar apa yang sebenarnya terjadi setelah Jarot pergi dari Surabaya. Dari sosok Aida, anaknya, tergambar bahwa Jarot tidak mengajarkan banyak kepada Aida tentang Islam maupun tentang budaya Jawa, dua hal yang sangat didalami oleh Jarot pada masa mudanya. Aida menjadi anak muda modern yang sama sekali awam terhadap akar budaya ayahnya. Agak mengherankan mengingat Jarot tadinya digambarkan sangat idealis.
Pemilihan judul "Hubbu" juga menjadi pertanyaan. Mengapa harus menggunakan bahasa Arab? Dalam novel ini memang tokohnya sedikit banyak mengerti bahasa arab, tapi kalimat berbahasa arab nyaris tidak pernah muncul kecuali satu dua saja dalam novel ini. Kedua kenapa harus berjudul "Hubbu" yang artinya "Cinta"? Padahal menurutku inti novel ini bukan tentang 'cinta', tapi tentang pergulatan Jarot dalam berbagai macam kutub budaya yang mempengaruhi dirinya.
Sempat timbul pertanyaan lain tentang setting waktu. Terasa aneh mengapa Aida harus hidup pada tahun 2040? Itu terasa dipaksakan ketika ternyata penulis tidak berhasil atau memang tidak berusaha membangun setting masa depan yang jauh lebih maju. 30 tahun dari sekarang, teknologi entahlah sudah seperti apa majunya. Penulis tetap terpaku pada teknologi saat ini, telepon genggam belum menjadi video call, internet masih menggunakan situs2 saat ini dan belum ada perpustakaan online yang super lengkap.
Saat dicermati lagi, terjawablah bahwa ada satu momen real yang ingin tetap dipertahankan oleh penulis. Momen nyata itu adalah pemuatan guritan "Sastra Gendra" karya Budi Palopo di majalah Jaya Baya pada tanggal 18 Oktober 1994. Tampaknya inilah batu pertama yang menjadi dasar penulisan novel ini untuk mundur ke masa silam maupun maju ke masa depan. Diskusi antara Jarot dan Budi Palopo tentang "Sastra Gendra" mestinya juga adalah sebuah wawancara nyata yang dilakukan oleh penulis. Pantaslah jika formatnya tetap dipertahankan dalam bentuk wawancara resmi agar seperti apa adanya, meskipun jadi terasa aneh.
Unik tapi Tidak Tuntas
Sebagai sebuah cerita, novel ini berkisah tentang banyak hal yang diramu dalam sebuah perpaduan yang cukup unik. Hanya sayangnya tidak diselesaikan dengan tuntas. Novel ini ditutup agak mengejutkan tapi tanpa emosi dan kemudian menyisakan banyak pertanyaan.
Yang jelas Ahmad Tohari, juri sayembara Novel DKJ 2006 menyatakan bahwa novel ini "sangat utuh dan padu ceritanya". Entahlah, aku bukan sastrawan kawakan yang bisa memahami novel ini hingga sederajad dengan pemahaman pak Ahmad Tohari :)
<< Home