Tuesday, October 16, 2007
Sang Musafir
Buku ini adalah buku pertama karya Mohamad Sobary yang aku baca. Sebelumnya sudah pernah diterbitkan sejumlah karya dari Kang Sejo, sapaan akrab Mohamad Sobary, ini antara lain "Kang Sejo Melihat Tuhan", "Kisah Karna dan Dendam Kita", "Singgasana dan Kutubusuk", dan beberapa lagi yang lain, yang semuanya belum pernah aku baca :) Novel "Sang Musafir" ini sendiri diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada Agustus 2007, dalam 272 halaman.
Kang Sejo awalnya berkarir sebagai seorang peneliti bidang Kebudayaan di LIPI. Dan tampaknya ia sangat menikmati profesinya sebagai peneliti yang banyak memberinya kebebasan. Kemudian seiring dengan semakin terbangunnya sosok Kang Sejo yang bersih dan berdedikasi, dan dengan semakin kuatnya lingkaran pergaulannya, pada tahun 2000 ia diminta untuk mengepalai sebuah institusi yang bukan sembarang institusi, Lembaga Kantor Berita Antara. Dengan harapan sebagai orang luar ia bisa memberi penyegaran dan membersihkan sampah2 di dalam lembaga tersebut.
Buku ini adalah potongan2 kisah dan kegelisahan Kang Sejo selama ia dipercaya untuk memimpin lembaga yang membawa nama negara tersebut. Sudah bisa ditebak, sebagian besar isinya adalah kegalauan Kang Sejo dalam menghadapi segala macam jenis budaya buruk yang telah berurat akar dalam lembaga milik negara… korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kang Sejo Menjadi Pejabat
Kang Sejo sebenarnya adalah anak seorang petani desa, yang diiringi tangis ibunya, nekat mengembara ke Jakarta untuk mematangkan diri, memetik tiap pengalaman menjadi guru yang akan memberi makna hidup lebih dalam. Bukan untuk semata-mata mencari kemegahan dunia melalui harta dan tahta. Setelah sekian lama menetap di Jakarta Kang Sejo tetaplah seorang anak petani, yang terbiasa hidup sederhana selaras dengan alam, hidupnya dilalui dengan menggelinding tanpa banyak tuntutan. Prinsip2 hidup dari budaya Jawa dan tuntunan Islam Sufi menjadi pedomannya dalam melangkah setiap saat.
Permintaan untuk memimpin sebuah lembaga ternama tentulah sangat mengejutkan Kang Sejo yang tidak ngoyo mengejar jabatan tersebut. Seorang sahabat yang telah menduduki posisi terhormat yang memintanya. Ini adalah permintaan ketiga darinya setelah dua jabatan yang lain pernah ditawarkan dan ditolak oleh Kang Sejo. Kang Sejo hampir menolak kembali tawaran tersebut, karena ia tidak mau terkekang birokrasi, merasa tidak bisa mengatur orang banyak, merasa kebebasannya sebagai peneliti yang bebas menulis akan tergadaikan, merasa ia dikorbankan untuk kepentingan sahabatnya tersebut. Tetapi akhirnya sebagai orang Jawa, Kang Sejo merasa tak enak untuk menolak ketiga kalinya. Ia pun menerima jabatan tersebut.
Dan berhadapanlah Kang Sejo dengan segala kerumitan sebuah lembaga yang korup dengan produktivitas rendah. Hari kedua ia duduk di kantor baru, ia sudah diminta menandatangani surat pinjaman sekian puluh juta atas nama dirinya yang tidak pernah ia minta dan terima. Di hari kedua itu pula ia sudah harus marah2 kepada semua anak buah yang baru dikenalnya.
Bergulirlah kemudian cerita-cerita tentang bagaimana Kang Sejo dengan gayanya yang lembut layaknya orang Jawa tetapi tetap tegas berusaha merubah perlahan-lahan budaya kerja di lingkungan yang ia pimpin. Ia merubahnya dengan memberi keteladanan. Mobil dinas Mercedes ia tolak, diganti dengan mobil Kijang itupun bukan dari tahun terbaru. Pintu ruangannya selalu ia buka agar setiap pegawainya dari semua tingkatan tidak segan2 jika ingin melaporkan sesuatu, atau sekedar mengeluh tentang situasi kantor.
Diseling pula dengan cerita dari kehidupan sehari-harinya seputar keluarganya. Tentang sikapnya yang tetap berusaha menjejak tanah meskipun mendapat rumah dinas yang jauh lebih megah dibanding rumah sebelumnya. Ia pun tetap menunduk dalam2 di hadapan orang tua dan mertuanya, serta tetap berusaha menjaga keakraban dengan semua saudaranya meskipun waktunya kini semakin sempit.
Segala segi dalam kehidupannya dituturkan di buku ini. Kadang kembali ke masa kecilnya di desa yang penuh dengan kesederhanaan tapi sarat keteladanan. Ada juga saat ia mengungkapkan kekagumannya kepada orang lain yang telah lebih mapan secara mental dan pemikiran. Ada pula penuturan menarik tentang petualangan rohaninya saat melakukan shalat malam di tengah taman di halaman rumahnya. Semua itu melingkupi rutinitas hidup utamanya yang harus menghadapi seabreg masalah di kantor yang dipimpinnya.
Bacaan yang Menyejukkan di Tengah Keruwetan
Membaca buku ini terasa begitu tenang dan menyejukkan. Mohamad Sobary menuliskannya dengan penuturan yang sangat 'njawani'. Tenang, sopan, nyaris tanpa emosi jika memang tidak perlu. Serasa seperti sedang mendengarkan kisah dan petuah dari seorang bapak yang telah mencapai suatu taraf kebijaksanaan setelah merasakan sekian banyak asam garam kehidupan. Dan jika kita melihat foto diri Mohamad Sobary pada halaman belakang, semua itu memang sangat klop. Sosok penulis ini sangat tenang dan kebapakan.
Ada sedikit emosi saat Kang Sejo kesal dengan perilaku korup di kantor yang dipimpinnya, tapi semuanya tetap terkendali dengan baik. Emosi itu dikeluarkan secukupnya tidak asal tabrak sana sini. Lonjakan emosi karena kesedihan atau kegembiraan pun dituturkan dengan tenang tanpa banyak kejutan. Semuanya mengalir dengan tenang dan terjaga. Sungguh sangat 'njawani'. Dan memang disini banyak panutan hidup yang dituturkan disini yang berdasarkan budaya Jawa yang diajarkan oleh mendiang Ayah Kang Sejo yang seorang petani desa. Dipadu pula dengan tuntutan ajaran agama Islam yang dianut dengan taat oleh Kang Sejo, dengan kecenderungan ke arah sufisme.
Novel atau Memoar?
Kalau boleh sedikit bertanya, aku sedikit ingin mempertanyakan tentang katagori buku ini. Aku tidak tahu apa definisi dan batasan sebuah "novel". Buku ini menurutku adalah sebuah memoar non fiksi, meskipun aku juga tidak tahu apa definisi "memoar" :D Tidak ada alur cerita utama yang dituturkan secara runtut dari awal hingga akhir. Masing masing bagian bercerita sendiri-sendiri meskipun tetap diikat oleh tokoh dan setting yang sama. Tidak ada pula ending yang memberikan konklusi dari kisah perjalanan tokohnya. Tapi entah kenapa pada sampul bukunya jelas jelas tercetak "Sang Musafir, novel, Mohamad Sobary". Mungkin memang aku yang terlalu awam akan dunia sastra :)
Tapi yang pasti bacaan ini sangat cocok untuk menentramkan hati, menawarkan sebuah contoh sikap saat mencari kita cara untuk bisa tenang saat menghadapi keruwetan hidup.
Kang Sejo awalnya berkarir sebagai seorang peneliti bidang Kebudayaan di LIPI. Dan tampaknya ia sangat menikmati profesinya sebagai peneliti yang banyak memberinya kebebasan. Kemudian seiring dengan semakin terbangunnya sosok Kang Sejo yang bersih dan berdedikasi, dan dengan semakin kuatnya lingkaran pergaulannya, pada tahun 2000 ia diminta untuk mengepalai sebuah institusi yang bukan sembarang institusi, Lembaga Kantor Berita Antara. Dengan harapan sebagai orang luar ia bisa memberi penyegaran dan membersihkan sampah2 di dalam lembaga tersebut.
Buku ini adalah potongan2 kisah dan kegelisahan Kang Sejo selama ia dipercaya untuk memimpin lembaga yang membawa nama negara tersebut. Sudah bisa ditebak, sebagian besar isinya adalah kegalauan Kang Sejo dalam menghadapi segala macam jenis budaya buruk yang telah berurat akar dalam lembaga milik negara… korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kang Sejo Menjadi Pejabat
Kang Sejo sebenarnya adalah anak seorang petani desa, yang diiringi tangis ibunya, nekat mengembara ke Jakarta untuk mematangkan diri, memetik tiap pengalaman menjadi guru yang akan memberi makna hidup lebih dalam. Bukan untuk semata-mata mencari kemegahan dunia melalui harta dan tahta. Setelah sekian lama menetap di Jakarta Kang Sejo tetaplah seorang anak petani, yang terbiasa hidup sederhana selaras dengan alam, hidupnya dilalui dengan menggelinding tanpa banyak tuntutan. Prinsip2 hidup dari budaya Jawa dan tuntunan Islam Sufi menjadi pedomannya dalam melangkah setiap saat.
Permintaan untuk memimpin sebuah lembaga ternama tentulah sangat mengejutkan Kang Sejo yang tidak ngoyo mengejar jabatan tersebut. Seorang sahabat yang telah menduduki posisi terhormat yang memintanya. Ini adalah permintaan ketiga darinya setelah dua jabatan yang lain pernah ditawarkan dan ditolak oleh Kang Sejo. Kang Sejo hampir menolak kembali tawaran tersebut, karena ia tidak mau terkekang birokrasi, merasa tidak bisa mengatur orang banyak, merasa kebebasannya sebagai peneliti yang bebas menulis akan tergadaikan, merasa ia dikorbankan untuk kepentingan sahabatnya tersebut. Tetapi akhirnya sebagai orang Jawa, Kang Sejo merasa tak enak untuk menolak ketiga kalinya. Ia pun menerima jabatan tersebut.
Dan berhadapanlah Kang Sejo dengan segala kerumitan sebuah lembaga yang korup dengan produktivitas rendah. Hari kedua ia duduk di kantor baru, ia sudah diminta menandatangani surat pinjaman sekian puluh juta atas nama dirinya yang tidak pernah ia minta dan terima. Di hari kedua itu pula ia sudah harus marah2 kepada semua anak buah yang baru dikenalnya.
Bergulirlah kemudian cerita-cerita tentang bagaimana Kang Sejo dengan gayanya yang lembut layaknya orang Jawa tetapi tetap tegas berusaha merubah perlahan-lahan budaya kerja di lingkungan yang ia pimpin. Ia merubahnya dengan memberi keteladanan. Mobil dinas Mercedes ia tolak, diganti dengan mobil Kijang itupun bukan dari tahun terbaru. Pintu ruangannya selalu ia buka agar setiap pegawainya dari semua tingkatan tidak segan2 jika ingin melaporkan sesuatu, atau sekedar mengeluh tentang situasi kantor.
Diseling pula dengan cerita dari kehidupan sehari-harinya seputar keluarganya. Tentang sikapnya yang tetap berusaha menjejak tanah meskipun mendapat rumah dinas yang jauh lebih megah dibanding rumah sebelumnya. Ia pun tetap menunduk dalam2 di hadapan orang tua dan mertuanya, serta tetap berusaha menjaga keakraban dengan semua saudaranya meskipun waktunya kini semakin sempit.
Segala segi dalam kehidupannya dituturkan di buku ini. Kadang kembali ke masa kecilnya di desa yang penuh dengan kesederhanaan tapi sarat keteladanan. Ada juga saat ia mengungkapkan kekagumannya kepada orang lain yang telah lebih mapan secara mental dan pemikiran. Ada pula penuturan menarik tentang petualangan rohaninya saat melakukan shalat malam di tengah taman di halaman rumahnya. Semua itu melingkupi rutinitas hidup utamanya yang harus menghadapi seabreg masalah di kantor yang dipimpinnya.
Bacaan yang Menyejukkan di Tengah Keruwetan
Membaca buku ini terasa begitu tenang dan menyejukkan. Mohamad Sobary menuliskannya dengan penuturan yang sangat 'njawani'. Tenang, sopan, nyaris tanpa emosi jika memang tidak perlu. Serasa seperti sedang mendengarkan kisah dan petuah dari seorang bapak yang telah mencapai suatu taraf kebijaksanaan setelah merasakan sekian banyak asam garam kehidupan. Dan jika kita melihat foto diri Mohamad Sobary pada halaman belakang, semua itu memang sangat klop. Sosok penulis ini sangat tenang dan kebapakan.
Ada sedikit emosi saat Kang Sejo kesal dengan perilaku korup di kantor yang dipimpinnya, tapi semuanya tetap terkendali dengan baik. Emosi itu dikeluarkan secukupnya tidak asal tabrak sana sini. Lonjakan emosi karena kesedihan atau kegembiraan pun dituturkan dengan tenang tanpa banyak kejutan. Semuanya mengalir dengan tenang dan terjaga. Sungguh sangat 'njawani'. Dan memang disini banyak panutan hidup yang dituturkan disini yang berdasarkan budaya Jawa yang diajarkan oleh mendiang Ayah Kang Sejo yang seorang petani desa. Dipadu pula dengan tuntutan ajaran agama Islam yang dianut dengan taat oleh Kang Sejo, dengan kecenderungan ke arah sufisme.
Novel atau Memoar?
Kalau boleh sedikit bertanya, aku sedikit ingin mempertanyakan tentang katagori buku ini. Aku tidak tahu apa definisi dan batasan sebuah "novel". Buku ini menurutku adalah sebuah memoar non fiksi, meskipun aku juga tidak tahu apa definisi "memoar" :D Tidak ada alur cerita utama yang dituturkan secara runtut dari awal hingga akhir. Masing masing bagian bercerita sendiri-sendiri meskipun tetap diikat oleh tokoh dan setting yang sama. Tidak ada pula ending yang memberikan konklusi dari kisah perjalanan tokohnya. Tapi entah kenapa pada sampul bukunya jelas jelas tercetak "Sang Musafir, novel, Mohamad Sobary". Mungkin memang aku yang terlalu awam akan dunia sastra :)
Tapi yang pasti bacaan ini sangat cocok untuk menentramkan hati, menawarkan sebuah contoh sikap saat mencari kita cara untuk bisa tenang saat menghadapi keruwetan hidup.
<< Home